Rabu, 18 Januari 2012

MAKANAN HALAL & HARAM


Berikut jabaran hukum halal dan haram beberapa hewan yang ada disekitar kita 

1. Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabd a:

إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya[1]“.

Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing. [Al-Luqothot point ke-12]

2. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.
Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya. [Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)]

3. Monyet.
Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)”[2]. [Al-Luqothot point ke-13]

4. Gajah.
Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-. [Al-Luqothot point ke-14]

5. Musang (arab: tsa’lab)


Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]

6. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un)


Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima[3] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152).

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]

7. Kelinci.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
“Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”. [Al-Luqothot point ke-16]

8. Belalang.
Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:

غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 7 peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) [Al-Luqothot point ke-17]

9. Kadal padang pasir (arab: dhobbun[4]).


Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak:

كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)

Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:

لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
“Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.

Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97). [Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]

10. Landak.
Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10).

11. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.


Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan haditsAbu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:

نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).

Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.

Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. [Al-Luqothot point ke-19 s/d 23]

12. Yarbu’
Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71). [Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]

13. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.

Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
“Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)

Adapun tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek). [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]

14. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).
Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan. [Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]

15. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih”[5]. [Al-Luqothot point ke-31 s/d 34]

Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah penghalalan dan pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat. Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.

Adapun makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan, yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi semuanya, wallahul muwaffiq.

Referensi:
[1] Maksudnya diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk tukar-menukar harga.
[2] Al-Muhalla (7/429)
[3] Mereka adalah Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa`iy, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.
[4] Termasuk kekeliruan dari sebagian orang ketika menerjemahkan dhib’un dengan biawak, padahal keduanya berbeda. Biawak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan, wallahu a’lam.
[5] Al-Muhalla (7/405).

16. Ikan Hiu


Ikan hiu (Inggris : shark) dalam literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu. Dalam Kamus Al-Maurid, diterangkan bahwa shark (ikan hiu) adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti kebuasannya (al-qirsy samakun muftarisyun ba’dhuhu kabiirun yukhsya syarruhu).

Ikan hiu hukumnya mubah, karena termasuk binatang laut yang hukumnya halal menurut keumuman dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62). Dalil Al-Qur`an antara lain firman Allah SWT :

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimuc” (QS Al-Maidah [5] : 96).

Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan :

قوله تعالى أحل لكم صيد البحر هذا حكم بتحليل صيد البحر وهو كل ما صيد من حياته
“Firman Allah Ta’ala أحل لكم صيد البحر (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya…” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Imam Al-Qurthubi, 6/318).

Dalil hadis antara lain sabda Nabi SAW :

هو الطهور ماؤه الحل ميتته
“Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Malik, Ashhabus Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain) (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, no. 491).

Dalam kitab Aunul Ma’bud dijelaskan hadits di atas menunjukkan beberapa hukum, di antaranya :

أن جميع حيوانات البحر أي ما لا يعيش إلا بالبحر حلال
“Semua hewan-hewan laut, yaitu hewan yang tidak dapat hidup kecuali di laut, adalah halal.” (Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy Abu Ath-Thayyib, Aunul Ma’bud, Juz 1/107).

Jadi, semua hewan laut adalah halal berdasarkan keumuman dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini adalah ikan hiu.

Memang ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mengharamkan ikan hiu, Karena ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya’duw bi-naabihi). (Abul ‘Ala` Al-Mubarakfuri,Tuhfatul Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad,Manarus Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring. Diriwayatkan oleh Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA, bahwasanya :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ االسِّبَاعِ
“Nabi SAW telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” (HR Muslim, no. 3571)

Namun Al-Muhib Ath-Thabari memfatwakan bahwa al-qirsyu (ikan hiu) adalah halal, mengikuti fatwa Ibnul Atsir dalam kitabnya An-Nihayah. Menurut Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini pengarang kitabMughni Al-Muhtaj pendapat yang menghalalkan ini adalah zhahir (jelas). (Asy-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus Sabiil mengatakan, pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah (wal asyhar annahu mubaah). (Ibrahim bin Muhammad; Manarus Sabiil, 2/368).

Yang lebih rajih menurut kami, adalah pendapat yang menyatakan ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di atas. Adapun dalil hadits Abu Tsala’bah Al-Khusyani di atas yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan ikan hiu, tidak dapat diterima. Karena hadits tersebut hanya berlaku untuk binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayaman al-barr), tidak mencakup binatang bertaring dari hewan-hewan laut (hayawan al-bahr). Hal ini dikarenakan telah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang laut secara umum, termasuk ikan hiu.

Hukum bolehnya ikan hiu ini kami anggap lebih rajih, karena didasarkan suatu kaidah dalam ushul fikih (qaidah ushuliyah), bahwa semua dalil hendaknya diamalkan, bukan ditanggalkan (tidak diamalkan). Imam Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan :

الأصل في الدليل هوالإعمال لا الإهمال
“Prinsip asal mengenai dalil adalah wajib diamalkan, bukan diabaikan (tidak diamalkan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/240).

Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan hukum halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meski pun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring, tidak mencakup binatang laut yang bertaring. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.

Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani di atas secara umum, hingga mencakup pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian, tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua bnatang laut, tidak diamalkan.

Padahal, mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada satu dalil, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah ushul fikih (qaidah ushuliyah) :

إعمال دليلين أولى من إهمال أحدهما بالكلية
“Mengamalkan dua dalil lebih utama dari mengabaikan salah satu dalil secara menyeluruh.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/240).

Berdasarkan itu, maka pendapat yang menghalalkan ikan hiu adalah lebih kuat (rajih), karena berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada, sebagaimana dijelaskan di atas. Kesimpulannya, ikan hiu adalah halal. Wallahu a’lam. (www.konsultasi-islam.com)


17. Tupai
Tupai bahasa Arabnya adalah As Sanjab. Untuk menentukan halal-haramnya, maka dibutuhkan dalil dari Al Quran dan As Sunnah. Jika tidak ada satu pun dalil yang mengharamkannya maka kembali ke hukum asal yakni halal. Hal ini sesuai kaidah Al Ashlu fil As-yaa al Ibahah Illa maa warada ‘anisy syaari’ tahrimuhu, hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil dari pembuat syariat yang mengharamkannya.

Kaidah ini dibuat oleh para Ahli ushul, berdasarkan ayat-ayat berikut:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)

Berkata Imam Asy Syaukani dalam Fathul Qadirnya:

قال ابن كيسان: “خلق لكم” أي من أجلكم، وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر، وفي التأكيد بقوله: “جميعاً” أقوى دلالة على هذا
Berkata Ibnu Kaisan (yakni Thawus, pen): (Menjadikan untuk kalian) yaitu karena kalian. Di dalamnya ada dalil bahwa hukum asal dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah sampai tegaknya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara hewan-hewan atau selainnya, dari apa-apa yang dengannya membawa manfaat, bukan kerusakan. Hal ini dikuatkan lagi dengan firmanNya: (jami’an) “Semua”, yang memberikan korelasi yang lebih kuat dalam hal ini. “ 1)

Ayat lainnya:
Yang menciptakan tiap-tiap sesuatu Dengan sebaik-baiknya, dan dimulakanNya kejadian manusia berasal dari tanah (QS. As Sajdah (32): 7)

Dalam Fathul Qadir disebut: أعطى كل شيء خلقه, yakni Dia memberikan kepada segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. 2)

Dalil dari As Sunnah:
الحلال ما احل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه وهو مما عفو عنه (رواه الترمذى)
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” 3)

Ada kaidah lain, yang diterangkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” 4)

Karena itulah hukum memakan Tupai adalah kembali ke hukum asal segala sesuatu yakni halal, selama tidak membahayakan kesehatan. Sebab, memang tak ada dalil baik dari Al Quran dan As Sunnah tentang pengharamannya, atau makruhnya. Tertulis dalam kitab Hasyiah Al Jumal, kitab fiqih bermadzhab Syafi’i:

وَيَحِلُّ أَيْضًا السِّنْجَابُ وَهُوَ حَيَوَانٌ عَلَى حَدِّ الْيَرْبُوعِ يُتَّخَذُ مِنْ جِلْدِهِ الْفِرَاءُ
“Dan dihalalkan pula Tupai, dia adalah hewan sejenis kangguru, yang bisa diambil kulitnya untuk pakaian berbulu ..”.5) Wallahu A’lam

______________________
1) Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, juz. 1, Hal. 64. Asy Syamilah
2) Ibid, Juz.2, Hal. 6
3) HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, dihasankan oleh At Tirmidzi. Ibnu Taimiyah menjadikannya hujjah dalam Majmu’ al Fatawanya. Namun didhaifkan oleh Syaikh Al Albany dalam Tamamul Minah.
4) Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3.
5) Imam Zakariya Al Anshari, Hasyiah Al Jumal, Juz. 22, Hal. 246. Asy Syamilah

18. Biawak
Biawak dalam bahasa Arab disebut waral. Binatang ini adalah jenis binatang melata, termasuk golongan kadal besar dan sangat dikenal di negeri ini. Hidupnya di tepi sungai dan berdiam dalam lubang di tanah, bisa berenang di air serta memanjat pohon. Binatang ini tergolong hewan pemangsa dengan gigi taringnya yang memangsa ular, ayam dan lainnya. [1] Ada biawak yang lebih besar dan lebih buas, disebut komodo.

Dengan demikian, biawak haram dimakan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Seluruh binatang pemangsa dengan gigi taringnya maka haram memakannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Terdapat hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta lainnya.

Jangan disangka bahwa biawak (waral) adalah dhab (hewan mirip biawak) yang halal.Dhab dihalalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, sebagaimana dalam hadits Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu:

“Ia masuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ke rumah Maimunah, lalu disajikan daging dhab panggang. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menjulurkan tangannya (untuk mengambilnya). Berkatalah sebagian wanita (yang ada di dalam rumah), ‘Beritahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam apa yang akan dimakannya.’ Mereka lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, itu adalah daging dhab.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pun menarik kembali tangannya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah binatang ini haram?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi binatang ini tidak ada di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik padanya’.” Khalid berkata, “Aku pun mencuilnya dan memakannya sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerhatikanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya) [2]

Dhab adalah golongan kadal besar yang serupa dengan biawak dan sama-sama berdiam di dalam lubang di tanah. Berikut ini keterangan ahli bahasa Arab tentang dhab sekaligus perbandingannya dengan biawak.

- Binatang ini adalah jenis melata yang tergolong kadal besar [3], seperti halnya biawak.
- Bentuknya mirip biawak. [4]
- Banyak ditemukan di gurun pasir (sahara) Arab. [5] Lain halnya dengan biawak yang hidupnya di tepi-tepi sungai.
- Panjang tubuhnya lebih pendek dari biawak. [6]
- Ekornya bersisik kasar seperti ekor buaya dengan bentuk yang lebar dan maksimal panjangnya hanya sejengkal. Berbeda halnya dengan ekor biawak yang tidak bersisik kasar dan berukuran panjang seperti ekor ular. [7]
- Makanannya adalah rumput, belalang kecil (dabah), dan jenis belalang lainnya yang disebut jundub (jamaknya janaadib). Adapun biawak adalah predator (hewan pemangsa hewan lain) yang memangsa ular dan lainnya. [8]  Wallahu a’lam.


19. Katak
Katak haram menurut pendapat yang rajih (kuat). Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad, yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz).

Dalilnya adalah hadits ‘Abdurrahman bin ‘Utsman al-Qurasyi radhiyallahu ‘anhu:
"Seorang tabib bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tentang katak untuk dijadikan obat. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam melarang membunuhnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani) [9]

Kata al-Lajnah, “Ini adalah dalil haramnya makan katak. Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam membunuh makhluk hidup tidak lepas dari dua kemungkinan:

- kehormatan makhluk itu seperti manusia; atau,
- keharaman memakannya, seperti katak.

Karena katak bukan makhluk terhormat, maka larangan membunuhnya tertuju kepada faktor haramnya dimakan.”

Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Fath Dzil Jalali wal Ikram [10], “Larangan membunuh suatu jenis binatang mengandung larangan memakannya karena tidak mungkin memakannya melainkan setelah disembelih atau dibunuh.” Ya, seandainya boleh memakannya, tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang membunuhnya.

Dengan demikian, tampaklah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa katak halal dengan alasan katak termasuk binatang air. Sebab, memakannya berkonsekuensi membunuhnya, dan ini haram.

20. Tupai 

Alhamdulillah. Istilah tupai dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut semua celurut pohon dan bajing karena keduanya sangat mirip. Tupai/bajing keumumannya berdiam di pohon. Ada juga jenis yang berdiam di tanah. Makanannya adalah buah-buahan dan serangga. [12]

Hewan kecil ini dijadikan permisalan dalam kepandaian melompat, ekornya panjang dengan bulu yang lebat dan terangkat ke atas. [13]

Berdasarkan keterangan ini, tupai/bajing tidak tergolong predator (hewan pemangsa hewan lain). Dengan demikian, pendapat yang mengharamkannya dengan alasan tergolong predator dengan gigi taringnya adalah pendapat yang lemah.

Di antara yang menghalalkan tupai/bajing adalahal-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu. Pendapat ini juga yang dirajihkan oleh an-Nawawi rahimahullahu.

Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan ada kemungkinan halal dengan alasan bahwa binatang yang diragukan antara halal dan haramnya maka didominankan sisi kehalalannya, karena hukum asalnya halal dan keumuman nash-nash menuntut demikian.

Jadi, hewan ini halal, insya Allah. [14]


Catatan kaki:
[1] Lihat Lisanul ‘Arab, al-Mu’jam al-Wasith, dan Tajul ‘Arus.
[2] Al-Imam Muslim meriwayatkannya dari musnad Ibnu ‘Abbas bahwa dia dan Khalid masuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam …. dst.
Lihat tentang dhab pada kitab Fathul Bari (9/”Kitab adz-Dzaba’ih wash-Shaid Bab adh-Dhabb”), ash-Shahihah (5/505-507), dan Fatawa al-Lajnah (22/311).
[3] Lihat al-Mu’jam al-Wasith.
[4] Lihat Lisanul ‘Arab, al-Mu’jam al-Wasith, dan Tajul ‘Arus.
[5] Lihat al-Mu’jam al-Wasith.
[6] Lihat al-Mu’jam al-Wasith.
[7] Lihat Lisanul ‘Arab, al-Mu’jam al-Wasith, dan Tajul ‘Arus.
[8] Lihat Lisanul ‘Arab.
[9] Lihat kitab Takhrij al-Misykah (no. 4545) dan Shahih al-Jami’ (no. 6971).
[10] Pada syarah hadits Ibnu ‘Abbas tentang larangan membunuh empat binatang.
[11] Lihat kitab al-Mughni (2/345-346), Fatawa al-Lajnah (22/322-324), dan Fath Dzil Jalali wal Ikram (syarah hadits ‘Abdurrahman bin ‘Utsman al-Qurasyi).
[12] Lihat Ensiklopedi Indonesia seri Fauna/Mamalia 1.
[13] Lihat Ensiklopedi Indonesia seri Fauna/Mamalia 1.
[14] Lihat kitab al-Majmu’ (9/13) dan al-Mughni (13/326, terbitan Dar ‘Alam al-Kutub).
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 71/VI/1432 H/2011, hal. 77-79.Baca juga: Mengenal Dhabb, Binatang Reptil yang Sering Disebut-sebut dalam Hadits


21. Kuda
al-Syeikh ‘Athiah Saqr – Ketua Badan Fatwa al-Azhar yang lalu – berkata:

أكل لحم الخيل حلال لحديث البخاري ومسلم عن جابر قال :”نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية وأرخص في الخيل” ، ووردت عدة أحاديث صحيحة تدل على أن الصحابة كانوا يأكلون لحوم الخيل ، منها حديث أسماء بنت أبى بكر رضي الله عنهما، في البخاري ومسلم ، قالت : نحرنا فرسا على عهد رسول اللّه صلى الله عليه وسلم فأكلناها . وفى رواية : ونحن بالمدينة
Maksudnya: “Halal memakan daging kuda berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim daripada Jabir bin Abdillah yang berkata: “Pada hari Khaibar, Rasulullah S.A.W. melarang kami dari memakan daging kaldai liar, dan meringankan (mengharuskan) memakan daging kuda.” Selain itu terdapat beberapa hadith sahih yang lain menunjukkan para sahabat pernah memakan daging kuda, antaranya hadith yang diriwayatkan daripada Asma’ binti Abu Bakr r.’anha oleh al-Bukhari dan Muslim, katanya: “Kami menyembelih dan memakan daging kuda di zaman Rasulullah S.A.W.” di dalam riwayat yang lain disebut: “(ketika itu) kami di Madinah.”

Berdasarkan hadith ini beberapa ulama menghalalkan daging kuda, mereka terdiri daripada Syuraih al-Qadhi, al-Hasan al-Basri, ‘Ato, Said bin Jubair, al-Laith bin Saad, Sufyan al-Thauriy, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Abu Thur dan lain-lainnya.

Namun terdapat segelintir kecil dari kalangan ulama yang menganggap makruh memakan daging kuda, mereka ialah Imam Abu Hanifah, Imam al-Auza’ie, Imam Malik dan selainnya. Dalil mereka ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasaie, Ibnu Majah yang menyatakan Nabi S.A.W. pernah melarang memakan daging kuda, Baghal (kacukan kudan dan kaldai) dan keldai, kerana firman Allah S.W.T.:

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً
Maksudnya: “Dan kuda, baghal, dan kaldai itu agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan…” (al-Nahl: 8)

Namun al-Imam al-Syafie dan ulama lain yang bersependapat dengannya berpendapat, ayat al-Quran ini bukan membicarakan tentang pengharaman dan penghalalan, sebaliknya Allah S.W.T. hendak memperkenalkan kepada hamba-hambaNya nikmat-nikmat yang dikurniakannya kepada mereka. Disamping itu Allah S.W.T. mahu memperingatkan mereka akan kesempurnaan kehendak dan kebijaksanaannya.

Manakala hadith yang dijadikan sandaran oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan ulama yang bersependapat dengan mereka adalah hadith- hadith yang tidak sahih. Imam Ahmad berkata:


ليس له إسناد جيد وفيه رجلان لا يعرفان ، ولا ندع الأحاديث الصحيحة لهذا الحديث
Maksudnya: “Tidak ada bagi hadith ini (larangan memakan daging kuda) sanad yang baik, padanya juga ada dua lelaki yang tidak dikenali, lalu kita tidak boleh meninggalkan hadith-hadith yang sahih kerana ada hadith ini (yang tidak sahih).”

Kesimpulan: HALAL memakan daging kuda, dan inilah pandangan kebanyakan mazhab.

21. Keledai dan Bagal 


Driwayatkan dari Ibnu Umar r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang memakan bawang putih dan keledai jinak pada hari penaklukan Khaibar, (HR Bukhari [4215] dan Muslim [561]).

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a, bahwasanya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah dan memakan keledai jinak pada hari penaklukan Khaibar,” (HR Bukhari [4219] dan Muslim [1941]).

Diriwayatkan dari Jabir r.a, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah saw. pernah melarang memakan daging keledai dan membolehkan makan daging kuda,” (HR Bukhari [4219] dan Muslim [1941]).

Dalam riwayat lain tercantum, “Pada hari penaklukan Khaibar mereka menyembelih kuda, bighal (kuda poni) dan keledai. Lalu Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai dan bighal, namun beliau tidak melarang memakan daging kuda,” (Shahih, HR Abu Dawud [IX/3789] dan Ibnu Hibban [5272]).

Diriwayatkan dari Anas r.a, ia berkata, “Kami memasuki Khaibar pada pagi hari. Waktu itu pendududknya sedang keluar ke halaman rumah dan ketika melihat Nabi saw. mereka berkata, ‘Demi Allah, itu Muhammad! itu Muhammad dan bala tentranya!’ Kemudian Nabi saw. bersbda, ‘Allahu Akbar, hancurlah Khaibar. Apabila kami turun di halaman mereka, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu’.“

Waktu itu kami makan daging keledai kemudian datang penyeru Nabi saw. mengumumkan, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang kalian daging keledai karena daging keledai itu najis,” (HR Bukhari [4198] dan Muslim [1940]).



Kandungan Bab:
Haram Memakan daging keledai jinak berdasarkan hadits Rasulullah saw. yang sudah mencapai derajat mutawatir. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat Rasulullah saw. dan tabi’in.
Ada banyak sebab mengapa daging keledai diharamkan. Namun sebab-sebab tersebut tidak dapat dijadikan sebab hukum, karena Rasulullah saw. sendiri sudah memberikan komentar yang jelas bahwa daging keledai kampung itu najis. Hal itu dikuatkan lagi dengan dibalikkannya periuk (yang digunakan untuk memasak daging tersebut) lalu mencucinya. Walaupun sebab sudah tidak ada, namun sebab asalnya masih tetap ada yaitu karena daging itu najis,wallahua’lam.
Hukum memakan daging bighal disamakan dengan hukum memakan daging keledai. Yaitu haram memakan dagingnya.
Daging kuda boleh dimakan berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Asma’ dan Jabir bin Abdullah r.a.

21. Burung ‘Ushfuur (Sparrow)

عن عبد الله بن عمرو رضى الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما من إنسان يقتل عصفورا فما فوقها بغير حقها إلا سأله الله عز وجل عنها يوم القيامة قيل يا رسول الله وما حقها قال حقها أن يذبحها فيأكلها ولا يقطع رأسها فيرمي به
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ta’alaa ‘anhumaa, dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Tidak ada seorang pun yang membunuh seekor burung ‘ushfuur atau yang lebih dari itu tanpa haknya, kecuali Allah ‘azza wa jalla akan bertanya kepadanya pada hari kiamat tentang apa yang diperbuatnya itu”. Dikatakan kepada beliau : “Wahai Rasulullah, apa haknya ?”. Beliau menjawab : “Agar menyembelihnya, lalu memakannya, dan ia tidak memotong kepalanya lalu membuangnya begitu saja” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/233, dan ia berkata : ‘Sanadnya shahih’].

SUMBER 
Abu Muawiah Hafidzahullah
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=307
copas blognya dr.abu hana : http://kaahil.wordpress.com/
Al-Ath’imah wa Ahkamis Shoyd wadz Dzaba`ih, karya Syaikh Al-Fauzan, cet. I th. 1408 H/1988 M, penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Ar-Riyadh.
Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbut: Dar Ihya`ut Turots Al-Araby.
Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah .
Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat, karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.

My Blog List