Sabtu, 30 Oktober 2010

INTIMDAD AD DA'WAH (امتداد الدعوة)

Agar al-imtidadud da’awi (penyebaran pertumbuhan da’wah) semakin berpengaruh dalam perubahan, pembinaan, dan siyaghatu al-binaai al-ijtima’i (penataan struktur kemasyarakatan), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadu tanzhimi (penyebaran pertumbuhan struktur dakwah). Begitu pula agar struktur kemasyarakatan ini semakin dekat dengan siyaghatu al-binaai al-Islamiy (tatanan struktur masyarakat islami), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadud tanzhimi, memperluas dan memperlebar struktur kita.

Respon-respon structural itu harus ditindaklanjuti dengan al-imtidad at-tarbawi (pengembangan pembinaan). Hajman wa waznan, baik kapasitas ataupun bobotnya. Pengembangan tarbiyah yang sudah merupakan pekerjaan kita sehari-hari dan merupakan basis operasional, harus kita kembangkan kapasitas daya tampungnya. Sudah banyak yang menunggu untuk ditarbiyah. Sekarang tidak terbatas pada level mahasiswa, pemuda, atau akademisi. Para professional, pengusaha, praktisi bisnis, banyak yang menunggu untuk ditangani secara tarbawi. Sehingga kapasitas tarbiyah kita harus meningkat. Efeknya, tuntutan kepada pengembangan manhaj tarbiyah pun harus meningkat.

Pendekatan tarbiyah untuk pemuda dan mahasiswa berbeda dengan pendekatan tarbiyah kepada alim ulama dan mubaligh. Berbeda pula dengan para professional, praktisi bisnis, dan lain-lain. Oleh karena itu, fann at-tarbawi, penguasaan teknis operasional tarbiyah harus semakin meningkat. Agar kapasitas tarbiyah daya tampungnya semakin luas.

Untuk menjaga kapasitas, daya dan bobot tarbiyah, jangan sampai tarbiyah kita berkembang nuansanya menjadi ta’lim, apalagi tabligh. Karena ta’lim itu tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah, tashihul akhlaq, dan tashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujihnya harus sangat menyentuh mafatihul uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufus. Harus membuka kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih menggugah, lebih berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan talqinul ulum.

Lapisan pendukung dan simpatisan dakwah menunggu penanganan kita. Kalau mereka merasakannya sama dengan majelis ta’lim umum, bahkan naudzubillah dirasakan sama dengan dakwahtainment, maka itu tidak akan menghasilkan potensi dakwah. Ini harus ditata. Karena tarbiyah itu merupakan kerja pertama dan utama jama’ah dakwah kita untuk membangun potensi SDMnya.

Walaupun begitu, tarbiyah, sebagai upaya manusia, bisa saja—naudzubillah—terjadi infilath tarbawi/falatan tarbawi. Artinya hasil tarbiyah yang tidak terkontrol. Hasil kerja keras dan pengorbanan kita, bisa saja natijahnya jelek. Tidak saesuai dengan yang kita inginkan. Infilat tarbawi biasanya berbentuk:

1. Munculnya tasyaddud, sikap eksklusif, ekstrim, dan merasa benar sendiri. Ini harus dipantau. Padahal kita memiliki pandangan ijabiyah ru’yah (memandang sisi positif). Pada hakekatnya kebaikan itu ada di mana-mana. Cuma ada yang terkonsolidasi oleh kita dan ada yang belum.
2. Bersikap kamaliyat (perfeksionis). Seolah-olah tarbiyah itu targetnya menciptakan insan malaki, manusia berkualitas malaikat. Ini juga bentuk infilat tarbawi, bentuk penyimpangan.
3. Bentuk infilath tarbawi yang lain adalah juz’iyyah. Hanya menukik di sector tertentu saja. Misalnya ruhiyah saja, sementara fikriyah kurang berkembang. Sehingga pertumbuhan cara berfikirnya ketinggalan. Tidak mampu menghadapi komunikasi fikriyah seperti yang kita jumpai di lapangan setelah musyarokah ini. Atau hanya menukik di bidang fikriyah atau siyasah saja. Padahal yang kita harapkan adalah tarbiyah yang integral dan terpadu.

Selain imtidad tarbawi, pertumbuhan dakwah kita juga menuntut imtidad tsaqofy. Kita harus belajar dan belajar, terus menerus. Kita harus mau membaca dan membaca. Baik bacaan yang tertulis di buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, radio atau TV. Juga membaca kehidupan masyarakat. Ini semua penting. Sehingga tsaqofah kita berkembang, tidak ketinggalan di segala sector.

Kita bergaul dengan mereka yang beraneka ragam keyakinan, beraneka ragam latar belakang ideology, pendidikan, budaya, dan bahkan kepentingannya. Supaya kita tidak gagap, kekurangan modal ketika menghadapi mereka, maka tsaqofah kita harus ditingkatkan. Bagi yang masih mempunyai kesempatan belajar formal, silahkan tingkatkan. Apakah S1, S2, S3, kalau ada S4 kita masuki. Bagi yang pendidikan formalnya sudah tertib, maka informalnya harus iqro’, terus membaca. Memang kalau kita tidak pandai memenej waktu, tazwidul tsaqafah (pembekalan wawasan) ini akan merosot.

Imtidad tsaqofiy—hazman waznan—harus ditingkatkan. Apalagi ajaran Islam mengajarkan bahwa thalabul ‘ilmi itu minal mahdi ilal lahdi. Menuntut ilmu itu dari bauaian hingga liang kubur. Uthlubul ‘ilma walau bi shin. Walaupun di Cina. Padahal waktu itu dakwah Islam belum sampai ke Cina. Tapi kata Rasul carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina.

Jama’ah kita ini, di mana pun, terkenal sebagai madrasah, di mana di dalamnya selalu belajar dan meningkatkan diri, sudah menjadi shibghoh yaumiyah, warna keseharian kita.

Imtidad fanni, penguasaan teknik operasional sesuai bidang dan tugas kerja kita, baik kerja tanzhimiyah atau kerja professional. Penguasaan teknis secara lebih mengerucut sesuai dengan latar belakang tugas kita semakin penting.

Berikutnya adalah imtidad idari. Organisasi kita semakin besar, memerlukan manajerial yang tangguh. Sesuai dengan karakter organisasi jama’ah kita, adalah bukan karakter birokrasi, tapi karakter mutathowwi’in (sukarela). Oleh karena itu kita harus membagi pendelegasian wewenang, tugas-tugas secara lebih merata dan lebih meluas. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandang birokrasi—perusahaan atau pemerintahan—organisasi kita amat bengkak. Karena kita ini tidak ada keterkaitan antara penugasan dengan standar gaji. Kalau pun ada, itu sifatnya hanya ta’awun. Itu pun jauh dari standar untuk ma’isyah. Karena kaitannya bukan ma’isyah, tapi lebih kepada muwasholah (penyambung) saja.

Karakter organisasi yang mutathowwi’in, sukarelawan ini, tugasnya harus terbagi. Kewenangan didelegasikan d I dalam bidang-bidang. Kalau ada pos-pos yang kurang berjalan, kita tingkatkan agar lebih mampu berjalan dan memikul tugas secara lebih baik. Bukan dengan cara ditekel/diambil. Kita berusaha untuk meningkatkan para penjaga pos agar bertugas secara bertahap. Agar terbagi secara baik, terlaksana melalui proses ta’awanu ‘alal birri wat taqwa. Ini karena tanzhim kita adalah tanzhim mutatowwi’in, bukan birokrasi.

Karakter organisasi lain, yang terkenal sibuk dan bekerja adalah ketua dan sekretaris. Di organisasi kemasyarakatan itu hal biasa. Mudah-mudahan, insya Allah, itu tidak akan merembes kepada kita. Kita sudah terbagi, semua bekerja, yang penting adalah tanasuq dzaatii. Singkronisasi antar komponen organisasi dalam bidang tertentu, dan singkronisasi antara bidang dengan bidang yang lain. Setiap potensi kader harus termanfaatkan. Dengan begitu semakin meningkat kapasitas, bobot, dan kompetensinya.

Selanjutnya al-imtidad al-iqtishodiy (perkembangan ekonomi). Sampai sekarang pembiayaan dakwah kita masih dalam level konvensional melalui tadhiyyah dari ikhwan dan akhwat, dari ta’awun ikhowi yang luar biasa. Tentu berkahnya tidak diragukan. Tapi kalau diakaitkan dengan tugas berat ke depan, pengembangan ekonomi dakwah harus semakin professional. Basis ta’awun dan tadhiyyah harus selalu terpelihara, karena itu adalah modal awal. Tapi kalau modal awal itu tidak berkembang menjadi professional, maka akan banyak pembiayaan-pembiayaan dakwah yang tidak tertangani secara konvensional.

Sudah barang tentu, Allahu Ghaniyyun Karim. Semua sumber kekuatan, termasuk sumber ekonomi adalah dari Allah SWT. Tapi Allah memerintahkan kita bekerja. Rasulullah SAW pernah melihat seseorang yang setiap hari nongkrong terus di masjid. Beliau bertanya, “Siapa yang member nafkah dia?”. Sahabat menjawab, “Saudaranya”. Kata Rasulullah: “Saudaranya itu lebih baik dari dia”.

Umar bin Khattab juga melihat fenomena serupa. Ada orang terus menerus berdo’a di masjid. Kata beliau, “Alaa ta’khudzu fa’san, litahtathibu?” Mengapa kamu tidak ambil kampak, agar kamu mencari kayu. “Fa innas samaa la tumthiru dzahaban wa la fidhdhoh”, sesungguhnya langit tidak akan pernah hujan emas atau perak. Allah akan menurunkan rizki—apalagi rizki untuk dakwah, yang penting kita tampil di hadapan Allah dengan kerja keras.

Sudah tentu ini untuk para ikhwan dan akhwat yang mempunyai bakat di bidangnya. Kalau tidak mempunyai bakat jangan di dorong-dorong. Karena ada dua kerugiannya: bisnis rusak, dakwah rusak.

Disinilah kemudian peran takaful-ta’awun. Kita bakatnya berbeda-beda. Ada yang tumbuh dengan bakat ekonomi, bakat politik, bakat budaya, bakat kerja di charity. Dari semua bakat yang tumbuh ini terjadi ta’awun dan takaful, saling menopang.

Rasa berbagi dari ikhwah yang sukses ekonominya kepada ikhwan yang menekuni bidang lain harus ditumbuh suburkan. Supoaya tidak aka nada komentar dari masyarakat, “Kasihan itu ustadz, dibiarin sama ikhwannya” Walaupun ikhwan akhwat itu ikhlas, tekun menekuni bidangnya walaupun tidak berefek secara ekonomi. Tapi masyarakat yang akan berkomentar. Banyakl komentar itu dating kepada saya. Biasanya selagi masih dapat saya tangani, saya akan tangani sendiri. Kalau tidak, biasanya saya transfer ke ikhwan lain. Tapi kita tentu tidak harus menunggu komentar dari masyarakat. Maka, ikhwah harus mempunyai semangat berbagi. Alhamdulillah, beberapa ikhwah yang ekonominya baik, mempunyai daftar kafalah untuk ikhwah lain. Kalau kebiasaan ini ditumbuh suburkan, Insya Allah semakin berkah dakwah kita.

Perkembangan ekonomi ini, baik kapasitas atau bobotnya harus meningkat. Dari dulu sering saya komentari, Alhamdulillah pertumbuhan ekonomi di liqo’at/halaqoh itu berkah. Tapi pasar itu lebih luas dari halaqoh. Ketika dating ke halaqoh ada yang bawa jilbab, yang ini bawa barang lainnya, insya Allah berkah. Tapi untuk ekonomi dakwah itu kurang. Salah satu yang dibangun Rasulullah SAW setelah hijrah itu adalah pasar. Maka semuanya harus seimbang anatara pertumbuhan tanzhimi, tarbawi, tsaqofi, fanni, idari, dan iqtishady.

Berikutnya adalah factor ijtima’i. Komunikasi social kita harus diperluas. Dalam hal komunikasi social, tidak perlu memakai taqwim nukhbawi (ukuran kader). Kita perluas komunikasi social kita, lintas partai, jama’ah, agama, dan etnis. Kita lakukan komunikasi secara luas. Karena keragaman atau pluralitas itu adalah fitrah. Rasulullah SAW juga mengembangkan hubungan secara luas. Bahkan ada komunikasi social yang jarang terungkap dari sirah nabawiyah, yang disampaikan Abu Bakar Shiddiq. Ketika menjadi khalifah pertama, beliau sangat memperhatikan kebijakan dan kebiasaan Rasulullah SAW.

Salah satunya, ternyata Rasulullah SAW melakukan komunikasi yang sangat baik dan akrab dengan seorang Yahudi yang buta matanya. Setiap pagi Rasulullah SAW datang mengantar roti dan susu. Orang Yahudi ini sudah tua dan giginya ompong. Kalau diberi roti yang kering dan ada air, roti itu dicelupkan. Kalau tidak ada, dikunyahkan Rasulullah, setelah itu disuapkan kepada orang Yahudi itu. Peristiwa itu hanya diketahui Abu Bakar.

Begitu Rasulullah wafat, Abu Bakar menggantikannya. Karena Yahudi ini buta, ia tidak tahu pada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menyuapkan roti, Yahudi itu berkata, “Siapa kamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya biasa datang setiap pagi”—maksudnya menemani Rasulullah. Orang Yahudi berkata, “Tapi rasanya tidak begini, dia lebih halus dan lebih hangat”. Abu Bakar pun menangis.Ini adalah komunikasi lintas agama, dan itu merupakan bentuk riil dari rahmatan lil alamin. Sampai orang Yahudi pun menikmati Islam dalam keyahudiannya. Orang Kristen menikmati Islam dalam kekristenannya.

Walaupun entitas non muslim minoritas di Indonesia, tetap harus terjangkau oleh komunikasi social. Di lingkungan umat Islam diperkokoh. Jangan terhambat oleh beda yayasan, beda organisasi, beda partai. Kita harus terbuka. Kalau mereka mulutnya usil kepada kita, kita maafkan. Karena kita kader dakwah. Kadang-kadang ada organisasi yang terkontaminasi oleh kepentingan partai tertentu, lalu usil kepada kita. Maka kita harus lebih dewasa meresponnya. Tidak perlu terprovokasi oleh sifat-sifat yang kita yakini bukan sifat asli dari organisasi itu. Sekedar terkontaminasi, terkotori oleh kepentingan partai tertentu. Kita jangan mudah terpancing untuk kemudian ketus atau menjadi cuek kepda organisasi itu. Mereka tetap ikhwan kita, saudara kita seiman.

Alaqoh ijtima’i diperluas. Agar kehadiran kita diterima secara baik oleh seluruh komponen masyarakat, lintas partai, agama, dan organisasi. Kalaupun masih ada resistensi, itu bagian kecil dan biasanya berwarna ideologis politik.

Dalam berkomunikasi, prinsipnya, “sayyidul qaumi khadimuhum”, selalu berkhidmat. Dalam Islam, khidmat itu sampai ke tingkat “tabassumuka fi wajhika li akhika laka shadaqah”. Murah senyum, ramah, santun, itu merupakan modal dasar bagi komunikasi social kita.

Ini bagian dari tanhidiyah kita menuju mihwar daulah. Agar tingkat resistensi kehadiran kita di tengah-tengah pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kecil. Karena masyarakat melihat realitas fenomena kesantunan, keramahan, dan keterbukaan kita dalam komunikasi, insya Allah resistensi itu semakin mengecil, ia akan selalu ada, tapi akan bisa kita kurangi.

Berikutnya. Imtidad siyasi. Ruang lingkup komunikasi politik harus diperluas. Kemampuan berkomunikasi politik sangat besar pengaruhnya. Komunikasi politik itu mencari kemungkinan-kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. Mencari titik temu bersama. Kita kelola dengan baik, supaya tidak ada benturan yang tidak perlu. Kita memerlukan peluang dan ruang pertumbuhan. Untuk menjamin keamanan, ruang dan peluang pertumbuhan, kita harus mengurangi komplikasi-komplikasi politik dengan pihak manapun agar kita mencapai posisi yang aman, bahkan sampai ke posisi dominan. Peluang-peluang kita terbuka banyak. Itu harus kita manfaatkan untuk lebih mengokohkan dakwah dan memperbesar dakwah.

Terakhir, imtidad i’lami. Pertumbuhan di sektor media massa. Memang beberapa factor yang mencuat dan dianggap kendala adalah pembiayaan. Tapi ‘ala kulli hal, masalah i’lam (media) ini perlu dikemas secara baik. i’lam yang paling mendasar dalam gerakan dakwah ini adalah performance dari setiap diri kita. Setiap kita harus memancarkan sum’ah thayyibah (aroma yang baik) bagi jama’ahnya. Itulah modal dasar i’lam.

Di tahun 50-an Sayyid Qutb pernah didatangi banyak aktivis Islam. Mereka mengeluh tentang i’lam. Ada yang berbicara kurang modal, ada yang berbicara masalah keamanan. Ada yang mengeluh majalah-majalahnya sering dibredel, diberangus, dicabut izinnya, atau kantornya digerebek. Sayyid Qutb berkata, “I’lam asasi adalah anfusuhum”. Media utama adalah diri kader itu sendiri.

Mrengelola i’lam ini terkadang gamang. Apakah ini tidak termasuk riya, apa tidak merusak zuhud kita, merusak tawadhu kita?

Kalau kita mengumumkan hal-hal yang terkait dengan pribadi, milik kita atau orang lain secara pribadi, itu baru bermasalah. Tapi kalau terkait dengan kepentingan public, yang kita kerjakan, itu justru diperlukan. Untuk merangsang orang lain mengikuti, membantu, dan mendukungnya. Sikap-sikap kita yang membela umat harus ditampilkan. Bahkan itu bisa wajib, karena mendukung eksisistensi dakwah kita, pertumbuhan dakwah kita.

Faktor-faktor tadi secara simultan bergerak, tumbuh, mutawazin, berkembang. Insya Allah dakwah ini bukan hanya berkembang, tapi pengaruhnya, suaranya mudah didengar. Komentarnya mudah diikuti. Kritiknya mudah diterima. Karena kapasitas dan bobot tanzhimi, tarbawi, tsaqofy, fanni, idari, iqtishady, ijtima’i, siyasi, dan i’lami terkelola, terkemas secara baik, simultan dan seimbang.

Insya Allah ini akan menjadi modal agar dakwah dan jama’ah kita berpengaruh. Jika berbicara didengar, Jika bertindak terasa.

Insya Allah jama’ah dakwah kita semakin berbobot. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan taufiq, ri’ayah, inayah. Memberikan tamkin kepada kita. Sehingga semakin mendekatkan diri kita kepada ridha Allah sampai pada li i’lai kalimatillahi hiyal ‘ulya.

TAMAYYUZ


Ikhwan wa akhwat fillah, saat ini gerakan dakwah kita memiliki rakizah siyasiah, yakni stressing atau titik tekan pada bidang politik. Hal ini perlu saya garis bawahi, mengingat ada beberapa hal yang kadang-kadang menyebabkan kita mengalami keterjebakan situasional. Misalnya ada yang mengatakan atau menganggap kita masuk ke dalam mihwar siyasi (era politik).

Padahal dalam manhaj kita, hanya dikenal mahawir arba’ah atau empat era yang di dalamnya tidak ada mihwar siyasi (era politik) sebagaimana halnya tidak ada mihwar tarbawi (era pembinaan). Keempat mihwar dakwah tersebut ialah mihwar tanzhimi (structural), mihwar sya’bi (masyarakat), mihwar muassasi (kelembagaan) dan mihwar daulah (negara). Di setiap mihwar dari empat mihwar dakwah tersebut terkandung amal siyasi (aktivitas politik) dengan tingkat persentase yang berbeda-beda, karena amal siyasi adalah bagian tidak terpisahkan dari amal da’wi (aktivitas dakwah) kita.
Ikhwah dan akhwat fillah, seringkali dalam menghadapi situasi, kondisi-kondisi, aksi-aksi dan tantangan-tantangan tertentu kita lupa untuk merujuk atau kembali ke manhaj (pedoman). Padahal penguasaan kita akan manhaj, insya Allah cukup baik, apakah itu di ruang lingkup manhaj asasi, yakni Alquran dan Sunah ataupun di ruang lingkup produk ijtihad jama’ah kita yang tentunya juga bersumber dari Alquran dan Sunah. Langkah-langkah perjuangan dalam bentuk manhaj amali (pedoman aktivitas) tersebut cukup untuk dapat merespon dan mengantisipasi segala perkembangan. Hanya saja kita seringkali lupa merujuk ke manhaj tersebut. Boleh jadi karena keterdesakan kita di lapangan atau kesibukan yang demikian padat.

Agar lebih jelas, saya ingin sedikit mengulang penjelasan-penjelasan tentang stressing di masing-masing mihwar. Pada mihwar tanzhimi, rakizatul amal (stressing kerja) kita berupa bina syakhshiyah islamiah dan syakhshiyah da’iyah atau mewujudkan sosok pribadi islami dan pribadi da’iah. Juga bagaimana kita berusaha mengokohkan mishdaqiyah syakhsyiah islamiyah dan mishdaqiyah syakhshiyah da’iyah atau kredibilitas pribadi islami dan kredibilitas pribadi da’iyah.

Di era atau mihwar tanzhimi tersebut yang selalu kita ukur dan evaluasi adalah tingkat pertumbuhan kader dalam arti pertumbuhan dan perkembangan kader-kader kita secara internal. Bahkan ketika kita mengukur, mengevaluasi diri dari segi eksternal, yang kita lihat pun sejauh mana pertumbuhan calon kader yang dapat direkrut menjadi kader. Jadi di masa itu orientasinya adalah perekrutan, pembinaan, pertumbuhan dan perkembangan kader-kader dakwah.

Kemudian dakwah kita berkembang dan memasuki mihwar atau era sya’bi. Di era ini kita mulai ber-sya’biah atau mensosialisasikan siri, kader-kader dan program-program dakwah kita di masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai di mihwar ini adalah mishdaqiyah syakhshiyah ijtima’iyah atau kredibilitas sebagai pribadi yang diterima di masyarakat. Kita berupaya keras agar kader-kader kita memiliki kredibilitas tersebut. Di mihwar sya’bi ini kita bukan hanya menerapkan tolak ukur kuantitas berupa pertumbuhan dan perkembangan kader, melainkan juga sejauh mana kader-kader yang kita miliki memberi pengaruh di masyarakat.

Ikhwah dan akhwat fillah, di mihwar tanzhimi kita sudah mulai melaksanakan program-program yang merupakan mukadimah atau pengkondisian ke arah mihwar sya’bi. Begitu pula di mihwar sya’bi, kita sudah melakukan langkah-langkah pendahuluan yang sekaligus merupakan kondisioning untuk menuju mihwar muassasi.

Alhamdulillah, Allah Ta’ala memberikan peluang yang mempercepat masuknya kita ke mihwar muassasi. Kita memang sudah membuat langkah-langkah mukadimah menuju mihwar muassasi berupa pendirian yayasan, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan lain sebagainya. Namun perubahan-perubahan cepat yang terjadi yang antara lain dipicu dan dipacu oleh globalisasi ekonomi, politik dan lain-lain serta krisis ekonomi—dan tentu saja sebab utamanya adalah tadbirullah (rekayasa Allah), membuat peluang untuk memunculkan diri dalam bentuk kelembagaan formal terbuka lebar. Maka mulailah kita memasuki mihwar muassasi dengan menampilkan diri sebagai Hizbul ‘Adalah (Partai Keadilan). Kita menyebutnya mihwar muassasi dan bukan mihwar siyasi, walaupun memang dalam mihwar muassasi sebagaimana halnya di mihwar tanzhimi dan sya’bi terkandung aspek-aspek siyasi. Dan karena di mihwar muassasi ini sudah menyentuh aspek kelembagaan politik, maka persentase amal siyasinya pun meningkat.

Upaya memantapkan langkah-langkah secara struktural dan operasional di mihwar muassasi ini juga akan menyentuh sektor amal siyasi. Sekali lagi saya tegaskan bahwa amal siyasi merupakan sektor. Sebab bila kita mengatakan mihwar kini sebagai mihwar siyasi berarti kita terjebak ke dalam amal juz’i dan sekaligus harakah juz’iah, seperti halnya kita tidak bisa mengatakan sebagai mihwar tarbawi agar tidak terjebak juga pada ke-juz’iyah-an atau keparsialan. Jadi setiap mihwar memiliki beragam amal sesuai dengan ke-syumuliah-an dan ke-takamuliah-an amal Islam.

Ikhwah dan akhwat fillah, karena itu di setiap mihwar dibutuhkan adanya ke-tawazun-an antar amal. Ke-tawazun-an adalah proporsionalitas dalam pemberian peran-peran, pendayagunaan dan pengerahan potensi-potensi SDM. Kata proporsionalitas menunjukkan adanya ketepatan atau akurasi penyaluran potensi sesuai dengan tuntutan medan dan situasi-kondisi serta aksi-aksi yang kita lakukan.

Oleh karena itu, ikhwah dan akhwat fillah, betapa pun kita dituntut untuk merespon situasi dan kondisi saat ini dengan proporsionalitas yang menuntut porsi lebih di bidang politik, tetap saja kita tidak boleh mengabaikan amal tarbawi (pembinaan), amal tsaqafi (penambahan wawasan), amal khairi (sosial), amal ijtima’i (kemasyarakatan) dan lain-lain. Masalah stressing atau penekanan di sektor tertentu pada moment tertentu adalah hal yang biasa. Misalnya di bulan Ramadhan kita meliburkan halaqah-halaqah tarbawi internal, karena kita ingin merespon amal khairi dan taabbudi (ibadah) di bulan mulia tersebut. Kita berkonsentrasi meningkatkan tadayyun sya’bi (keberagamaan masyarakat) karena terdapat katsafah furshah (peluang yang luas) di bulan Ramadhan.

Jadi bila kini menjelang pemilu kita merespon tuntutan amal siyasi yang membesar, itu merupakan masalah proporsionalitas tanpa harus mengabaikan bidang-bidang lain. Sehingga memadatnya aktivitas politik kita menjelang pemilu tidak berarti kita terjebak dalam mihwar politik. Mihwar kita adalah mihwar muassasi, artinya secara kelembagaan kita mulai menampilkan diri seluruh batang tubuh ke permukaan dengan nama Hizbul ‘Adalah.

Ikhwah dan akhwat fillah, mihwar muassasi ini akan terus berkembang ditandai dengan bertambahnya muassasah atau lembaga infrastruktur sosial politik kemasyarakatan baik yang kita bangun sendiri atau yang kita warnai (muassasah yang dibangun oleh ikhwah seperjuangan dalam Islam, yaitu ormas atau parpol lain), dan nantinya juga kita bisa melebarkan sayap dengan memasuki secara langsung lembaga-lembaga suprastruktur dan infrastruktur kenegaraan. Hal ini merupakan bagian dari mihwar muassasi dan merupakan langkah-langkah awal yang akan menjembatani masuknya kita, Insya Allah, mustaqbalan (di masa mendatang) ke dalam mihwar daulah.

Hal penting yang harus kita perhatikan di dalam mihwar muassasi ialah bahwa kita bukan sekadar memunculkan diri dalam bentuk kelembagaan partai, melainkan juga mengupayakan bagaimana aqidah, fikrah dan manhaj kita mewarnai infrastruktur sosial politik di masyarakat atau infrastruktur kenegaraan dan kemudian akhirnya supra struktur kenegaraan. Lembaga infrastruktur dan suprastruktur negara akan kita masuki jika tingkat proporsi penyebaran SDM dan pengaruh kita di ruang lingkup kelembagaan infrastruktur kemasyarakatan atau sosial politik sudah memadai. Barulah kemudian kita melangkah ke dalam mihwar daulah.

Dalam hal ini ingin saya ingatkan bahwa setiap mihwar memiliki perimbangan proporsi amal yang berbeda-beda dan dapat berubah-ubah. Hendaknya hal ini tetap dalam ruang lingkup ke-tawazun-an dan keterpaduan amal islami.

Tamayyuz
Langkah-langkah amal kita harus mutamayyiz. Kita bergaul bersama, berpacu, namun nahnu mutamayyyizun (kita berbeda). Kata tamayyuz mengandung pengertian keberbedaan yang mengandung keistimewaan. Jadi bukan asal beda, melainkan mutamayyiz ’an ghairina, berbeda yang mengandung keistimewaan dari yang lainnya. Kita mengetahui slogan yang dikumandangkan oleh Syahid Sayyid Quthb, yaitu yakhtalithun walakin yatamayyazun, kita berbaur, bergaul, bersilaturahmi, ber-tawashau bil haq, ber-tawashau bis shabri, tawashau bil marhamah dengan seluruh lapisan umat, namun nahnu mutamayyizun, kita berbeda. Tamayyuz—kespesifikan ini penting agar menjadi arahan yang memudahkan masyarakat untuk mendukung kita.

Pertama-tama tamayyuz kita adalah dalam ruang lingkup SDM. Kita harus mutamayyiz fii rijal. Kita harus sanggup menampilkan tamayyuz fii rijal, keistimewaan SDM atau personil.

Ikhwah dan akhwat fillah, dalam memasuki mihwar muassasi yang kedudukannya merupakan langkah-langkah mukadimah menuju mihwar daulah, rijalud da’wah atau SDM dakwah kita seyogianya sekaligus juga memiliki bobot dan bakat yang akan dikembangkan menjadi rijalud daulah atau sosok negarawan yang memiliki visi kenegaraan yang baik.

Kita sudah memiliki kader-kader yang berbasis akidah, fikrah dan minhaj yang baik. Kini tinggal berupaya bagaimana kita mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan diri secara atraktif. Bukan berarti kita riya, melainkan semata-mata dalam kerangka ‘isyhadu bi anna muslimin”, saksikan kami ini orang-orang Islam. Kita mencoba memperjelas, mengedepankan tampilan produk islamisasi rijal kita.

Paling tidak ada lima kespesifikan, keunikan atau keistimewaan yang—Alhamdulillah—dimiliki oleh jamaah kita, yaitu:

1. Mutamayyiz fii rijal (keistimewaan SDM)
2. Mutamayyiz fi adaa (keistimewaan penunaian tugas)
3. Mutamayyiz fii intaj (keistimewaan sentuhan produk)
4. Mutamayyiz fii khidmah (keistimewaan pelayanan)
5. Mutamayyiz fii muamalah (keistimewaan bermasyarakat)

Keistimewaan yang pertama ialah mutamayyyiz fii rijal atau keistimewaan personil dakwah. Keistimewaan personil dakwah atau SDM ini dilandasi oleh tamayyuz fii aqidah, fikrah, minhaj dan akhlaq. Modal utama berupa keistimewaan dalam akidah, fikrah, minhaj dan akhlak sangat berdayaguna dalam membangun mishdaqiyah syakhshiayah da’iyah (kredibilitas pribadi muslim dan da’iyah).

Namun keistimewaan SDM ini harus ditunjang oleh tamayyuz fii adaa atau keistimewaan dalam penunaian tugas. Jadi kita harus mutamayyiz fii adaa. Dalam menunaikan tugas, kita memiliki modal berupa motivasi yang tinggi yang dibangun oleh aqidah kita. Kemudian idealisme yang besar yang dibangun oleh fikrah kita dan langkah-langkah kerja yang tertib teratur yang dibangun oleh manhajiah kita.

Kesemuanya itu menjadi modal dalam menunaikan ruhul badzli wa tadhhiyah karena dilandasi niat yang khalishan li wajhillah ta’ala. Ruhul badzli wa tadhhiyah adalah modal motivasi, militansi dan vitalitas stamina yang dibangun oleh akidah, fikrah, akhlak dan semangat ibadah kita. Kesemuanya itu menjadi modal utama dalam tamayyuz fii adaa yang kemudian ditopang pula oleh kemampuan dalam takhtit, perencanaan/programming dan idariah/manajemen.

Kelengkapan modal tersebut membuat kita mutamayyiz fi adaa, istimewa dalam penunaian tugas. Kita tidak menjadi orang-orang yang menunaikan tugas secara infiradiyah, sekenanya, seketemunya dan seadanya di lapangan, melainkan benar-benar mutamayyiz fii adaa karena di back up oleh faktor-faktor mental, moral dan ideal serta faktor-faktor konsepsional, berupa perencanaan dan manajemen yang baik. Jika kita berhasil menampilkan adaa’ul wazhaif (penunaian tugas secara baik), insya Allah keistimewaan kita akan muncul di tengah masyarakat.

Apalagi bila diikuti dengan keistimewaan produk-produk yang kita hasilkan yang menimbulkan kesan dan pengaruh yang kuat di masyarakat karena mau tidak mau masyarakat memang menilai dan mengukur masalah produktivitas.

Karena itu, keistimewaan yang ketiga yang harus kita miliki adalah tamayyuz fii intaj. Program-program yang kita gulirkan harus terasa hasilnya di masyarakat. Sudah tentu yang dimaksudkan terasa, tidak selalu harus dalam bentuk produk materi. Bahkan sebagian besar yang kita miliki bukan berupa produk materi, melainkan pendekatan ilmi, shihhi, ijtima’i, ma’nawi dan sebagainya

Ikhwah dan akhwat fillah, sudah sewajarnyalah masyarakat mengharap dan menunggu-nunggu produk-produk nyata yang dihasilkan oleh parpol-parpol dan kelompok-kelompok organisasi yang menjamur belakangan ini. Oleh karena itu kita harus mampu menyajikan produk yang mutamayyiz kepada masyarakat jika ingin mendapatkan sambutan publik yang baik.
Tamayyuz dalam produk bukan diukur dari segi kuantitasnya, melainkan dari segi kualitas sentuhannya yang terasa di hati masyarakat.

Ikhwah dan akhwat fillah, tamayyuz yang berikutnya yang juga harus kita miliki ialah tamayyuz fii khidmatan lis muslimin (keistimewaan dalam pelayanan kepada muslimin), khidmatan lin naas (pelayanan kepada manusia), sehingga kita akan tampil mutamayyiz fii khidmah (istimewa dalam pelayanan). Ada pepatah Arab berbunyi, “An-naas yuwalluna man yakhdimuhum,” (manusia akan memberikan wala atau loyalitas kepada orang-orang yang melayaninya). Karenanya ada juga pepatah lain, “Sayyidul qaum khaadimuhum” (Pemimpin suatu kaum [bangsa] adalah pelayan bagi kaum tersebut).

Bila kita tampil sebagai lembaga yang paling piawai memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka ia pun akan mendapatkan sambutan lebih dibanding dengan yang lain. Pelayanan kepada masyarakat tidak harus selalu diartikan pelayanan fisik, materi yang bersifat langsung, simbolik, atraktif dan promotif, misalnya pemimpin datang memberikan bantuan materi kepada bawahannya. Hal itu hanya merupakan sebagian kecil dari ruang lingkup pelayanan kepada masyarakat. Memang hal itupun perlu juga sekali-kali kita lakukan, namun yang lebih penting adalah bagaimana kerja keras kita, mengupayakan terjaminnya kemaslahatan masyarakat dalam dua hal yang digariskan Allah dalam Q.S. Quraisy: (1) Terjaminnya masyarakat dari kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang asasi أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ (terbebasnya dari kelaparan) dan (2) Kebutuhan akan rasa aman atau terbebas dari ketakutan, ketidakpastian, intimidasi, kediktatoran dan kezhaliman (وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ).
Kedua hal tersebut juga berkaitan dengan لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ atau masalah qalb (hati) dan وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ atau berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasadiyah. Ruang lingkup pelayanan kita harus meliputi kedua aspek tersebut.

Dalam masalah pelayanan ini, hal yang perlu saya garis bawahi bahwa itu meliputi garis vertikal ke atas, yakni upaya kita mempengaruhi decision making dalam hal politik, hukum dan perundang-undangan dengan cara aktif memberikan usulan, kritik dan koreksi. Kemudian juga meliputi garis vertikal ke bawah, yakni upaya kita menggulirkan produk-produk dalam ruang lingkup ijtima’iyah, khairiyah, ilmiyah, tsaqafiyah, shihhiyah dan fanniyah di tengah masyarakat.

Produk-produk dalam ruang lingkup vertikal ke bawah akan menjadi basis dari upaya meluncurkan produk siyasah wal qanun ke atas. Dan produk siyasah wal qanun ke atas akan memayungi dan melindungi segala aktivitas pelayanan kita ke bawah. Artinya segala aktivitas kita yang menyebar di masyarakat perlu mendapat perlindungan politik dan hukum. Sebaliknya segala aktivitas yang berkaitan dengan masalah politik dan hukum perlu mendapatkan basis berupa produk dan kerja nyata kita di bidang ijtima’iyah, khairiyah, ilmiyah, fanniyah, iqtishadiyah dan sebagainya.

Akhirnya, ikhwah dan akhwat fillah, tamayyuz kelima yang harus kita miliki adalah tamayyuz fii muamalah. Cara agar kita tampil beda dan istimewa dalam bermuamalah (bergaul) adalah bila kita bermuamalah bil ihsan. Allah berfirman,

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلاَّ الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).

Dalam hadits juga disebutkan bahwa Allah menyuruh kita berbuat ihsan dalam segala urusan. Yang dimaksud dengan ihsan adalah kebaikan-kebaikan, apakah berupa kebaikan materi, sulukiyah, maupun sikap dan perilaku. Dalam menyalurkan kebaikan-kebaikan tersebut hendaknya kita membingkainya dengan akhlaqul karimah. Sebab betapa pun besar kebaikan yang diberikan, jika cara memberikannya tidak disertai dengan adab dan kesantunan, maka ia akan lebih dirasakan sebagai penghinaan dan bukan kebaikan.

Inti muamalah adalah bagaimana kita menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat dengan dibingkai akhlaqul karimah. Maka masyarakat pun akan melihat bahwa kita mutamayyiz fii muamalah, istimewa dalam berinteraksi di masyarakat. Sebab upaya menanamkan pengaruh di masyarakat, pada hakikatnya adalah bagaimana kita merebut hati orang. Selain berupaya membuka hati mereka melalui program-program yang kita selenggarakan dengan baik, juga harus dengan kekuatan ta’abudi dan taqarrub kita kepada Allah, karena miftahul qulub, kunci hati ada di tangan Allah. Dengan kekuatan ikhtiar dan doa kita berharap kepada semoga Allah membukakan hati-hati mereka.

Wallahu a’lam

Oleh Ust Hilmi Aminudin (intimagazine.wordpress.com)

My Blog List