Minggu, 14 Februari 2010

ORISINALITAS DAKWAH



Jika kita berbicara tentang ashalah dakwah, tentu saja ini sebuah masalah yang besar, karena terkait langsung dengan ashalah Islamiyah. Tidak mungkin dibicarakan dalam 1–2 halaman situs ini. Orisinalitas dakwah tidak memiliki mabadi (prinsip), kecuali mabadi imaniyah dan fikriyah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tulisan ini adalah upaya untuk menyegarkan pemahaman kita.

Ashalah dakwah islamiyah itulah yang dipakai gerakan Islam di mana-mana, tak ada perbedaannya. Betapa luasnya pembicaraan tentang ashalah dakwah seluas pembahasan tentang Islam. Salah satu keistimewaan dakwah ialah ruang lingkup yang tercakup dalam syumuliyah dan takamuliyah (universalitas dan integralitas) ajaran Islam, juga keterpaduan dari perjuangan, tatanan, serta sistem yang diterapkan.

Masalah syumuliyah dan takamuliyah itu lebih ke pendekatan prinsipil, tetapi dari pendekatan operasional terlihat kemampuan dakwah Islam kontemporer untuk mewarisi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai dakwah dari para Rasul dan Anbiya, para shahabat Nabi dan juga para salafus shalih. Kemampuan itu dalam bentuk tawazun (keseimbangan) dalam melakukan langkah-langkah ta’shiliyah (orisinalisasi) dan tathwiriyah (improvisasi), mutawazinah baina khuthuwat al ta’shiliyah wa khuthuwat al tathwiriyah.

Itulah salah satu tamayuz (keistimewaan) dakwah kontemporer yang sebenarnya merupakan tamayuz islami yang banyak diabaikan gerakan dakwah, meskipun kita respek dan mengakui eksistensi perjuangan mereka sekaligus mengakui keikhlasan dan pengorbanan mereka dalam berjuang. Tetapi, qudrah ad da’wah dalam menyeimbangkan ta’shiliyah dan tathwiriyah di zaman modern ini harus benar-benar dilaksanakan secara konsisten.

Sudah barang tentu, apabila kita membahas dakwah antara upaya orisinalisasi dan improvisasi perlu waktu yang panjang. Di sini saya hanya ingin menyampaikan sedikit sebagai dzikra (peringatan) dan sebagai resume terhadap perjalanan dakwah yang sudah kita lakukan.

Konsistensi kita dalam menjaga ta’shil dan tathwir sangat penting bagi keselamatan kita sendiri, baik secara pribadi maupun sebagai sebuah entitas gerakan dakwah. Sebab, tanpa adanya keseimbangan antara orisinalitas dan modernitas akan banyak sekali kemungkinan penyimpangan dakwah akibat mengabaikan prinsip keaslian dan pengembangannya. Kita mengetahui universalitas dan integralitas dakwah tergambar dari upaya membangun hablun minallah dan hablun minannas yang baik.

Kemampuan kita dalam menjaga keseimbangan dari aspek ta’shil bertitik berat pada utuhnya komitmen kita kepada Allah dan Rasul-Nya, al Kitab dan as Sunnah. Sementara konsistensi kita dalam membangun khuthuwat at tathwiriyah adalah menjaga hablun minannas dengan baik. Tanpa kedua aspek itu, maka akan terjadi inkhirafat (penyimpangan) yang menimbulkan bala dan malapetaka di dunia dan akhirat.

Kemampuan kita dalam mengelola dakwah dari sisi ta’shiliyah lebih dekat kepada konteks hubungan kita dengan Allah dari aspek moral, ma’nawiyah dan ruhiyah yang dibentengi dengan sehatnya aqidah kita dari kemusyrikan yang kecil maupun besar, dari kemusyrikan yang tampak maupun tersembunyi, yang menyelinap dalam pikiran kita. Dengan selalu memperhatikan khuthuwat ta’shiliyah kita memelihara keutuhan ruhiyah, fikriyah, dan manhajiyah secara baik.

Salah satu cara untuk mempertahankan kesadaran tentang pentingnya khuthuwat ta’shiliyah, dalam konteks pembinaan di masa tamhidiyah atau takwiniyah, adalah kesadaran akan posisi manusia (manzilat al insan) di hadapan Allah Ta’ala.

Pertama, posisi manusia sebagai makhluk penting disadari, betapapun tingginya ilmu dan jenjang keulamaan kita, betapapun terhormatnya jabatan kita di masyarakat atau negara. Menghidupkan kesadaran akan posisi sebagai makhluk penting dalam aspek ketergantungan kepada Sang Khaliq. Tidak satupun makhluk ciptaan yang tidak bergantung kepada Pencipta-nya.

Tidak ada satupun produk yang tidak memiliki ketergantungan pada pembuatnya. Produk keluaran pabrik saja, merek-merek mobil yang terkenal sekalipun tergantung dari produsen yang membuatnya, baik ketergantungan teoretis dengan petunjuk manualnya, maupun ketergantungan atas software atau hardware dalam beragam spare parts yang besar maupun kecil. Itu tampak sepele, namun sangat penting untuk menunjukkan kesadaran kita bahwa manzilah kita di hadapan Allah hanyalah makhluk. Itu merupakan modal dasar untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Kesadaran kedua dari manusia di hadapan Allah adalah sebagai hamba. Kesadaran ini penting dibangun sebagai apresiasi dari keinginan, kehendak, dan rencana yang sangat terkait dengan grand design yang sudah ditentukan Allah. Kesadaran sebagai makhluk bersifat mutlak, sedang kesadaran sebagai hamba bisa relatif, banyak yang menolak. Kita tidak mempunyai kehendak apapun, kecuali dengan apa yang dikehendaki Allah Ta’ala. Ayat al-Qur’an banyak menjelaskan sisi aqidah dengan memusatkan kesatuan kehendak, keinginan, dan rencana segala sesuatu sesuai dengan iradah-Nya. Itulah tugas manusia sebagai hamba-Nya.

Ketiga, kesadaran manusia sebagai junud (tentara) Allah. Sebagai prajurit kita harus merasakan adanya jalur komando dari Allah dan Rasul-Nya yang mutlak ditaati, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an. Itulah posisi kita sebagai prajurit yang senantiasa siap menerima komando. Insya Allah, jika ketiga jenis kesadaran itu dijaga dengan baik melalui upaya-upaya ta’shil yang mengarah pada ashalah islamiyah dan dakwah, maka gerakan akan senantiasa tumbuh.

Setelah kesadaran akan posisi manusia, maka selanjutnya kesadaran akan watak asli manusia (thabiat al insan). Humanity by nature, kata orang, kemanusiaan yang sesuai dengan tabiat yang telah ditentukan Allah. Kesadaran ini penting agar kita tidak terjebak pada persepsi-persepsi yang mungkin timbul dari rencana-rencana terhadap evaluasi tarbiyah, seolah-olah hal itu akan mengangkat dan melepaskan kita dari watak kemanusiaan. Kita dididik melalui proses tarbiyah untuk mengutuhkan kemanusiaan kita, bukan melepaskannya, baik menuju kemuliaan yang seringkali diidentikkan dengan watak malaikat. Kita tetap seorang manusia, namun ingin menjadi manusia seutuhnya. Yang penting bagaimana mengelola kelebihan dan kekurangan yang kita miliki.

Jangan digambarkan dari proses tarbiyah akan muncul insan yang kamil tanpa cacat. Kita adalah manusia sebagaimana Ibnu Adam lain yang memang diberi kehormatan, tetapi tetap saja bisa lupa dan sering berbuat salah. Manusia adalah makhluk yang sering berbuat salah. Kesadaran itu sangat penting agar dengan kelebihan dan kekurangan manusiawi kita bisa mengelolanya. Dengan demikian kita akan terjaga dari ghurur (arogansi) seperti Fir’aun yang merasa dirinya adalah Tuhan, atau juga terjaga dari keputusasaan yang melumpuhkan dakwah. Kita berjuang sesuai dengan fitrah, sesuai dengan tabiat insaniyah ataupun tabiat kauniyah yang terdapat dalam diri, masyarakat dan alam semesta.

Ketiga adalah kesadaran akan tugas kemanusiaan (risalat al insan) kita. Kita memiliki misi ibadah dan pengabdian. Segala gerak hidup: apa yang kita miliki, apa yang kita lakukan adalah ibadah. Sehingga, apapun yang kita miliki harus dikalkulasi, akankah meningkatkan ibadah kita kepada Allah atau tidak. Misi total kita adalah pengabdian kepada-Nya.

Keempat kesadaran akan misi khilafat al insan. Mengapa manusia diberi kemuliaan? Karena kita diberi tugas yang besar, yaitu menjalankan khilafah (pengayoman dan kepemimpinan) yang pada hakekatnya berlaku untuk semua orang, baik mu’minuhum wa kufrahum, mereka yang beriman dan amanah maupun tidak.

Kesadaran itu penting agar kita selalu merasa dalam tugas (on duty), tak ada perasaan mau cuti. Mungkin kita perlu rehat. Ya, rehat itu dalam rangka mengumpulkan potensi kita untuk melaksanakan tugas lainnya. Bukan berarti cuti secara total dengan tidak ada kaitannya terhadap misi dan wazhifah kita. Maka, dalam tarbiyah dikenal adanya program rihlah dan mukhayam dalam rangka membangun potensi agar langkah kita lebih kuat dan cepat dalam akselerasi perjuangan ini.

Jika kesadaran tentang manzilat al insan, thabiat al insan, risalat al insan, dan wazhifat al insan tadi selalu dijaga, maka proses ta’shiliyah akan senantiasa hidup. Upaya orisinalisasi harus terus dipertahankan, agar kita terhindar dari efek negatif, salah satunya berupa pelarutan.

Jika kita mengabaikan khuthuwat at ta’shiliyah, maka dakwah kita akan mengalami pencairan dan pelarutan. Biasanya sebelum larut akan mencair terlebih dulu, sebab madah jamidah (benda padat) itu sulit dalam pelarutan, tetapi madah ma’iyah (benda cair) paling mudah untuk melarut. Dalam dakwah jamahiriyah kita berinteraksi dengan segala jenis manusia. Banyak persentuhan dengan manusia dari segala jenis organisasi dan ideologi bisa menyebabkan tamayu’ al khuluqi (pencairan perilaku). Nau’udzubillah, hal itu akan berlanjut pada idzabah al khuluqiyah (pelarutan perilaku), jika kita tidak berpegang teguh pada ashalah.

Akibat dari tamayu’ dan idzabah ini sudah jelas, indikatornya yang paling menonjol adalah tasahul (menggampangkan atau menyepelekan) segala pelanggaran. Kita memang harus toleran atas efek negatif tarbiyah manusia, tetapi bukan mengampangkan, karena itu harus ditindaklajuti dengan ilaj tarbawi (terapi edukatif) atau ilaj ijtimai (sosial), ilaj tanzhimi (organisasional) atau ilaj iqtishodi (finansial), semuanya bisa kita lakukan tergantung masalah yang terjadi.

Semua kondisi direspon dan diantisipasi agar tidak membesar. Sudah tentu kita sebagai dai harus memperhatikan diri sendiri dan orang lain yang berada di bawah pengawasan kita. Penyimpangan berawal dari tasahul lama-lama menjadi idzabiyah, segalanya serba boleh (permisif), dalilnya gampang dicari. Akhirnya menjadi dalil tunggal, yakni kedaruratan. Yang paling harus kita waspadai adalah awal pelarutan sebagaimana tadi diungkapkan.

Dalam merespon tugas yang semakin berkembang mungkin terjadi tamayu’ wa idzabiyah dalam ubudiyah mahdlah, karena terlalu sibuk sehingga dalam sebulan penuh tercatat: shaum (puasa) nol, tahajud nihil. Dalam baramij tarbiyah semua program itu ada, tetapi sifatnya sebagai stimulan (ayyam al bid, usbu’ ruhi dan sebagainya). Buah stimulasi adalah munculnya iradah dzatiyah atau tarbiyah dzatiyah dengan amal dzati di luar program itu. Harus diwaspadai agar tamayu’ khuluqi dan idzabah ubudiyah ini tidak timbul. Bila dibiarkan akan berlanjut pada idzabah fikriyah (ideologis) dan kacau balau. Kita akan mengambil fikrah dari kiri-kanan dan meninggalkan manhaj yang benar.

Apabila sudah terkena idzabah khuluqiyah, ta’abudiyah, dan fikriyah, maka akan timbul idzabah aqidiyah. Mulanya mengakui kesejajaran aneka ragam keyakinan, misalnya di kalangan internal Islam (antara ajaran Syiah dan Sunnah) adalah sama. Kemudian berkembang keluar dengan menyamakan ajaran lain seperti komunisme, sosialisme, dan Islam sama saja untuk manusia juga. Kebenaran yang mutlak hanya dalam Islam, pemahaman seperti itu menjadi luntur.

Memang semua ajaran ada kebenarannya, tetapi tidak semuanya benar, yang jelas banyak kesalahannya. Jika lemah dalam langkah-langkah ashalah, maka akan terjadi idzabiyah dan tamayu’ di berbagai sektor. Jika hal itu terjadi pada suatu golongan, maka sudah tentu terjadi kehancuran dunia dan akhirat.

Bila ta’shiliyah tidak diimbangi dengan tathwiriyah akan menimbulkan tajamud. Mungkin akan merasa bahwa dirinya sajalah yang akan masuk surga dan yang lain adalah al ma’un, kufr dan sebagainya. Golongan itu tidak dapat memanfaatkan pengalaman dan potensi orang lain. Ketika terjadi mutajamid ruhi, maka pemikiran akan sulit menerima masukan dari orang lain. Bila terjadi tajamud aqidi, maka akan terasa dengan aqidah semata semuanya akan beres, tetapi aqidah bukan segala-galanya.

Memperhatikan idealitas, rasionalitas dan realitas. Mereka yang mengabaikan ketiga hal itu terkena wahm. Memperhatikan realitas saja akan melahirkan sikap pragmatis, memperhatikan idealitas saja akan menghasilkan perfeksionis, tetapi tak bisa melaksanakan. Sementara memperhatikan rasionalitas saja akan melahirkan sikap teoretis belaka.

Kita harus mampu mengkomunikasikan rencana dakwah kita dengan baik. Kemampuan mengkomunikasikan ini intinya ada pada qudrah mukhatabah, yakni qawlan sadida atau kalimat yang tepat. Bisa bersikap tegas, lembut, sindiran dan lain-lain. Patokannya adalah “khatibunnas ala qadri uqulihim” (sesuai kemampuan intelektual), “khatibunnas ala lughatihim” (memperhatikan budaya dan bahasa kaumnya), karena manusia adalah anak lingkungannya.

Sebagai dai kita harus memiliki qawlan sadida, baik melalui pendekatan intelektual, sosial maupun budaya. Yang pertama adalah mengakui keberadaannya, kemudian mencari cara yang tepat untuk mendekatinya. Dalam Al-Qur’an ada seruan: “Ya ayyuhannas…ya ayyuhalladzina amanu…” dan sebagainya. Dengan pemilihan kata yang tepat, maka “yuslih lakum amalakum”. Menghasilkan kebaikan bagi diri sendiri maupun orang lain. Lebih besar dari itu semua adalah ampunan dari Allah.

(Ust. Hilmi Aminuddin)

Sabtu, 13 Februari 2010

Dakwah Adalah Cinta (Komitmen Seorang Du'at)




Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu.
Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yg kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh rentamu. Tubuh yg luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.

Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Allah. Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yg bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.

Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang
bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat. Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.

Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”. Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada. Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.

Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman.. Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yg takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “ Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta…Mengajak kita untuk terus berlari…

Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.



by Hendro susanto

Kamis, 11 Februari 2010

MADRASAH TELADAN --- buku Yusuf Qardhawi


Tidaklah engkau memperhatikan tanah yang gersang lagi tandus lalu Allah menurunkan hujan menyiraminya, maka ia menjadi subur dan menumbuhkan berbagai macam tanaman yang indah ?

Demikianlah keadaan umat Islam pada pertengahan abad ke empat belas Hijriah dan sebelum lahir gerakan Ikhwanul Muslimin. Kekhalifahan sebagai manifestasi tertinggi bagi masyarakat di bawah naungan panji akidah Islamiyah hancur berantakan. Negara-negara Islam pecah berkeping-keping, diperebutkan oleh negara-negara penjajah seperti Inggeris, Perancis dan lain-lainnya, sampai-sampai Belanda yang penduduknya hanya beberapa juta jiwa dapat menguasai Indonesia yang penduduknya kira-kira seratus juta jiwa. Hukum-hukum Islam tidak dipakai lagi dan Al Qur’an mulai ditinggalkan orang. Hukum positif/konvensional (hasil rumusan manusia), kebiasaan Barat dan peradaban asing menguasai kehidupan kaum muslimin terutama kaum terpelajarnya. Ini adalah sebagai akibat penjajahan kafir memegang kendali pendidikan, pengarahan dan penanaman pengaruh. Maka lahirlah generasi-generasi yang memakai nama Islam dan mempunyai pemikiran Eropa.

Kerusakan yang dibawa oleh penjajahan ini menjadi satu dengan kerusakan warisan masa kemunduran dan keterbelakangan, sehingga keadaan bertambah gawat dan penyakit bertambah parah.

Allah yang menjamin akan memelihara kemurnian Al-Qur’an, kelanggengan Islam dan keunggulannya terhadap seluruh agama lain, menghendaki pembaharuan angkatan muda pemeluk agama ini dan mengembalikan semangat hidup ke dalam tubuh umat Islam. Seruan Ikhwanul Muslimin, yang didirikan oleh Hasan Al-Banna, selama lima puluh tahun telah meninggalkan atsar “bekas” dan pengaruh di berbagai tempat; di dunia Islam dan di luarnya.

Saya -DR. Yusuf Al-Qardhawi- menulis buku ini bukanlah untuk menguraikan sejarah gerakan Ikhwanul Muslimin dan betapa besar pengaruhnya dalam kehidupan Mesir, negara-negara Arab dan dunia Islam. Karena ini adalah tugas yang sangat berat untuk dilakukan oleh seseorang sebagai perorangan, bagaimanapun besar kemampuannya dan cukup fasilitasnya. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh umat, yang sampai sekarang belum tampak usahanya ke arah itu, meskipun pukulan yang bertubi-tubi terhadap gerakan itu dalam setiap masa dapat dijadikan sebagian alasan, tetapi hal itu bukan satu-satunya alasan, bagi tidak adanya usaha ke arah itu.

Apa yang saya uraikan dalam buku ini adalah mengenai satu sisi dari sekian banyaknya sisi gerakan yang besar ini, yaitu sisi pendidikan seperti yang dipahami dari ajaran Islam oleh Ikhwanul Muslimin dan seperti yang mereka terapkan.

Di sini saya tidak mengemukakan hal itu secara mendetail dan menyeluruh, tetapi membatasi diri pada menunjukkan ciri-ciri dan sifat-sifat yang cukup untuk menjelaskan bagaimana pemikiran gerakan itu tentang pendidikan dan usaha-usahanya dalam menerapkannya serta menjadikannya kenyataan yang hidup yang tampak dalam sikap dan tingkah laku manusia.

Jelas bagi orang yang mengadakan studi atau peninjauan, bahwa gerakan Ikhwanul Muslimin sejak permulaannya telah membangun Madrasah Teladan bagi pendidikan Islam yang benar-benar berhasil. Masalah penting yang telah diwujudkannya ialah membentuk generasi muslim yang baru, yang memahami Islam dengan tepat dan bekerja untuk dirinya dan keluarganya serta berjuang menegakkan agama Allah, merealisir ajarannya dan mempersatukan umatnya.

Faktor-faktor Yang Mendukung Keberhasilan

l. Iman yang tak tergoyahkan bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk merubah masyarakat, membentuk pemimpin dan mewujudkan cita-cita. Pemimpin gerakan itu, Hasan Al-Banna, menyadari bahwa pendidikan itu jalannya panjang dan kesulitannya banyak. Hanya sedikit orang yang sabar menempuh jalannya yang panjang dan kesulitannya yang banyak, yaitu orang yang berkemauan keras. Tetapi Hasan Al Banna yakin pula bahwa pendidikan itu satu-satunya jalan yang dapat menyampaikannya kepada tujuan dan tidak ada jalan lain lagi. Itulah jalan yang ditempuh oleh Nabi SAW untuk membentuk generasi teladan yang diridhai Allah, yang tidak pernah disaksikan bandingannya oleh dunia. Mereka inilah yang melaksanakan pendidikan bagi berbagai bangsa dan mengarahkannya kepada kebenaran dan kebaikan.

2. Rencana pendidikan mempunyai tujuan tertentu, langkah-langkah yang jelas, sumber yang terang, bagian-bagian yang saling mendukung, dengan sistem beraneka ragam dan ditegakkan atas filsafat yang jelas, digali dari ajaran Islam bukan dari ajaran lainnya.

3. Suasana kebersamaan yang positif, yang dibina oleh jamaah. Hal itu akan membantu setiap anggotanya untuk hidup secara Islam, melalui sugesti, contoh teladan, persamaan perasaan dan tindakan. Manusia menjadi lemah bila menyendiri dan menjadi kuat dengan jamaahnya. Jamaah merupakan kekuatan untuk menegakkan kebaikan dan ketaatan serta merupakan perisai terhadap kejahatan dan maksiat. Dalam hadits tersebut :

يَد الله مع الجماعة

“Pertolongan Allah diberikan kepada jamaah “

وإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية

“Serigala hanya memakan kambing yang tersisih dari kawanannya “

3. Pemimpin yang mendidik dengan bakat, ilmu dan pengalamannya yang dianugerahkan kepadanya kekuatan iman yang luar biasa, membekas pada setiap hati orang yang berhubungan dengannya, melimpah dari hatinya ke hati orang-orang di sekitarnya. Dia seperti dinamo yang dari kekuatannya hati mereka diisi dengan “kekuatan.” Kata-kata bila keluar dari hati langsung masuk ke hati para pendengarnya tanpa permisi, tetapi bila keluar hanya dari lidah maka pengaruhnya tidak akan melampaui telinga. Orang yang memiliki hati yang hiduplah yang dapat mempengaruhi pendengar dan pengikutnya. Sedangkan orang yang mempunyai hati yang mati tidaklah mampu menghidupkan hati orang lain. Sebab “orang yang tidak memiliki sesuatu tidak dapat memberikannya kepada orang lain dan wanita yang tidur tidak sama dengan wanita yang kehilangan anak”.

4. Adalah sejumlah pendidik yang ikhlas, kuat dan terpercaya yang meyakini jalan yang dibentangkan oleh pimpinan. Mereka mempunyai pengaruh terhadap murid-muridnya dan mereka ini menjadi pendidik-pendidik bagi generasi sesudahnya, demikianlah seterusnya.

Dengan para pendidik di sini tidaklah saya maksudkan alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Pendidikan atau penggondol ijazah Majester (MA) dan Doktor dalam pendidikan. Yang saya maksudkan ialah orang yang memiliki “bobot” iman yang tinggi, kekuatan jiwa, keberanian hati, kekerasan kemauan, kelapangan dada dan kesanggupan mempengaruhi orang lain. Mungkin mereka seorang insinyur atau pegawai rendahan atau pedagang atau buruh, diantara orang-orang yang tidak mempelajari dasar-dasar pendidik an atau sistemnya.

Cara pelaksanaan yang bermacam-macam, yang bersifat pribadi, yang bersifat kelompok, yang bersifat teoritis, yang bersifat praktis, yang bersifat pemikiran, yang bersifat perasaan, yang berbentuk perintah dan yang berbentuk larangan, semua itu dilaksanakan dalam bentuk pelajaran, ceramah, seminar, diskusi dan pendekatan pribadi, begitu pula syair-syair yang dihafal, bacaan-bacaan yang diulang-ulang, nyanyian-nyanyian dengan kata-kata, irama dan lagunya mempunyai pengaruh tertentu …… pertemuan-pertemuan bergilir dari kelompok-kelompok di rumah-rumah dengan acara membaca Al-Qur’an, memperluas ilmu pengetahuan, ibadah dan memperkuat tali persaudaraan, semuanya itu dinamakan kelompok “keluarga” yang menanamkan perasaan cinta dan kasih sayang di antara anggota-anggota keluarga itu. Di samping itu ada pertemuan-pertemuan lain dalam lingkungan jamaah yang diadakan pada waktu malam. Tujuannya mencerdaskan akal dengan ilmu pengetahuan, membersihkan hati dengan ibadah dan menyehatkan badan dengan olahraga.

Pertemuan ini dinamakan “kutaibah” (regu) yang menanamkan pengertian jihad. Selain itu masih ada sistem-sistem lain yang semuanya bertujuan membentuk manusia muslim yang sempurna.

Setiap pendidikan disesuaikan sistemnya dengan tujuan yang hendak dicapai, sampai-sampai dalam pemeliharaan hewan; Pemeliharaan sapi perahan untuk mendapatkan susu, berbeda dengan pemeliharaan sapi untuk memperoleh daging, begitu pula berbeda dengan pemeliharaan sapi untuk keperluan mengolah tanah.

Begitu pula manusia dan pendidikan. Pendidikan manusia sebagai individualis berbeda dengan pendidikan manusia komunis, keduanya berbeda dengan pendidikan manusia borjuis atau kepitalis dan semuanya berbeda dengan pendidikan manusia muslim. Pendidikan Muslim yang bersifat tradisional berbeda dengan pendidikan muslim yang kreatif (ijabi) …. Pendidikan muslim dalam masyarakat yang diatur oleh Al-Qur’an dan di dalamnya dominan ajaran-ajaran Islam berbeda dengan pendidikan muslim dalam masyarakat yang di dalamnya ide jahiliyah dan ide Islam saling bertarung, begitu pula kekafiran dan keimanan, keingkaran dan ketaatan saling berebut pengaruh di dalamnya.

Memang, pendidikan muslim yang memandang cukup mengambil dari Islam ibadahnya saja seperti shalat, puasa dzikir dan doa sedang apabila dikemukakan kepadanya keadaan Islam dan kaum muslimin maka ia hanya sanggup mengatakan : apa daya kita, sudah demikian ketentuan Allah, tidaklah sama dengan pendidikan muslim yang dadanya, bergejolak karena gairah terhadap Islam bagai gejolak air mendidih di atas tungku dan hatinya lebur karena prihatin terhadap keadaan kaum muslimin bagai leburnya garam di dalam air, kemudian keprihatinan dan kegairahan itu menjelma menjadi kekuatan yang mendorongnya berusaha mengadakan perubahan dan perbaikan.

Inilah muslim yang dicita-citakan, yang tidak menyerah pada kenyataan bahkan bekerja dan berusaha merubahnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah. Dia tidak mencari-cari alasan dengan dalih qadha dan qadar dan takdir-Nya yang tidak bisa ditampik. Dia adalah muslim yang bekerja untuk menegakkan agama, membangun umat dan menghidupkan kebudayaan dan peradaban.

“Itulah suatu risalah yang jangkauan waktunya sampai ke akhir zaman, jangkauan ruangnya meliputi seluruh umat manusia dan jangkauan kedalamannya mencakup segala urusan dunia dan akhirat.” [1])

Itulah umat yang telah diistimewakan Allah dengan mengaruniakan kepadanya sebaik-baik Kitab yang diturunkan-Nya (Al-Qur’an) dan sebesar-besar Nabi yang diutus-Nya (Muhammad SAW). Allah telah melahirkannya sebagai umat terbaik bagi manusia, menjadikannya umat pertengahan dalam segala hal dan menjadikannya umat yang patut menjadi guru dan saksi atas kebenaran Islam terhadap manusia seluruhnya.

Itulah kebudayaan yang berdasarkan Ketuhanan, manusiawi, universal dan bermoral, yang mempersatukan ilmu dengan iman, materi dengan ruh, memperhatikan keseimbangan antara dunia dan akhirat dan memelihara harkat dan kemuliaan manusia.

Pendidikan muslim seperti inilah yang menjadi tujuan pertama bagi gerakan Ikhwanul Muslimin, karena itulah satu-satunya dasar perubahan serta tumpuan kebaikan dan perbaikan. Tidak ada cita-cita untuk memulai kehidupan Islam yang baru atau mendirikan negara Islam atau menyesuaikan undang-undang Islam dengan undang-undang lainnya.

Pendidikan Islam menurut pengertian Ikhwanul Muslimin dan penerapannya mempunyai ciri-ciri khas yang menonjol. yang terpenting ialah :

1. Tekanan pada segi Ketuhanan

2. Sempurna dan lengkap

3. Keserasian dan keseimbangan

4. Bersifat kreatif dan konstruktif

5. Persaudaraan dan kesetia-kawanan

6. Beridentitas dan berdikari.

Di sini kami akan berusaha membicarakan masing-masing ciri itu secara khusus sejauh tempat mengizinkan dan kepada Allah kami mohonkan taufik-Nya.

DR. YUSUF AL-QARDHAWI

1. KETUHANAN

Segi Ketuhanan atau keimanan dalam pendidikan Islam seperti dipahami dan diterapkan oleh Ikhwanul Muslimin adalah segi yang paling penting dan paling mendalam pengaruhnya. Yang demikian itu karena tujuan pertama dari pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang beriman kepada Allah.

Iman menurut pengertian Islam bukanlah hanya kata-kata yang diucapkan atau semboyan yang dipertahankan, tetapi ia adalah suatu hakikat yang meresap ke dalam akal, menggugah perasaan dan menggerakkan kemauan, apa yang diyakini dalam hati dibuktikan kebenarannya dengan amal perbuatan.

Allah SWT berfirman:

إنما المؤمنون الذين أمنوا بالله ورسوله ثم لم يرتابوا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم فى سبيل الله أولئك هم الصادقون

“Sesungguhnya orang-orang yang sebenarnya beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ra,gu dan meraka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yarg benar. “(Al-Hujurat : 15)

Iman dalam Islam bukanlah semata-mata pengetahuan seperti pengetahuan para teolog dan filosof, bukan pula semata-mata perasaan jiwa yang menerawang seperti perasaan orang sufi dan bukan pula semata-mata ketekunan beribadah seperti ketekunan orang-orang zahid. Iman adalah kesatuan dari semua ini, tidak menyimpang dari kebenaran, tidak lalai dan tidak pula berlebih-lebihan, disertai kreatifitas menyebarkan kebenaran. dan kebaikan dan membimbing manusia ke jalan yang benar.

Ikhwanul Muslimin dalam pendidikan berusaha menyatukan apa yang dipisah-pisahkan oleh para teolog, kaum sufi dan para fuqaha dari unsur-unsur iman yang benar. Mereka berusaha memperbaiki apa yang telah dirusakkan oleh kaum muslimin pada masa-masa terakhir, yaitu pengertian iman yang benar. Lalu mereka kembali kepada sumber yang bening, mengambil dari padanya hakikat iman yang harus ditanamkan dalam diri setiap anggota gerakan. Yaitu iman yang bersumberkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan cabang-cabangnya yang sampai enam puluh atau tujuh puluh lebih itu dan oleh Baihaqi telah disusun dalam sebuah kitab bernama “Syu’abul Iman.” [2])

Itulah iman para sahabat dan tabi’in, yang meliputi keyakinan hati, pengakuan lisan dan amal perbuatan, Iman yang mewarnai kehidupan mereka di mesjid, di rumah dan dalam masyarakat, dalam keadaan sendirian dan di depan umum, di waktu malam dan siang, dalam pekerjaan dunia dan dalam amal akhirat. Demikianlah ciri keluasan dan kedalaman iman dalam pendidikan Ikhwanul Muslimin.

Iman yang mempunyai ciri-ciri khas dengan daya geraknya, daya dorongnya dan gerak aktifnya bagaikan obor yang menyala-nyala, arus yang bergelora, sinar yang menerangi dan api yang membakar.

Tiang pendidikan berdasar Ketuhanan adalah hati yang hidup yang berhubungan dengan Allah SWT, meyakini pertemuan dengan-Nya dan hisab-Nya, mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya. Hakikat manusia bukanlah terletak pada bentuk fisiknya yang terdiri dari sel-sel dan jaringan, tulang dan otot-otot. Tetapi hakikatnya itu terletak pada jiwa yang bersemi pada fisik itu yang menggerakkannya, menyuruh dan melarangnya. Hakikat itu adalah segumpal darah (mudgah), bila ia baik maka baiklah tubuh seluruhnya dan bila ia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya, hakikat itu adalah hati. Hati, ruh atau fuad atau apapun namanya adalah suatu wujud yang sadar yang menghubungkan manusia dengan rahasia hidup dan rahasia wujud dan mengangkatnya dari alam bumi ke alam yang tinggi, dari makhluk kepada Khalik dan dari alam fana ke alam yang kekal.

Hati yang hiduplah yang menjadi penilaian Allah SWT , menjadi tajalli-Nya dan pancaran nur-Nya.

إن الله لا ينظر إلى صوركم ولكن ينظر إلى قلوبكم

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk (tubuh) mu, tetapi Dia melihat kepada hatimu. ” (Al-Hadits)

Hati adalah satu-satunya pegangan yang dapat ditunjukkan oleh seorang hamba kepada Tuhannya pada hari kiamat sebagai sarana bagi keselamatannya. Allah SWT berfirman :

يوم لا ينفع مال ولا بنون إلا من أتى الله بقلب سليم

“Pada hari harta dan anak-anak tidak berguna Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih “(Asy-Syu ara’; 88-89).

Tanpa hati yang dilimpahi iman dan disinari keyakinan ini manusia adalah mayat, meskipun menurut statistik ia masih hidup. Allah SWT berfirman :

أومن كان ميتا فأحيينه وجعلنا له نورا يمشى به فى الناس كمن مثله فى الظلمات ليس بخارج منها, كذلك زين للكافرين ما كانوا يعملون

“Apakah orang-orang yang sudah mati [3]) kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang berada dalam gelap-gulita yang tidak dapat keluar dari padanya?” (Al An’am:122 ).

Karena itu pendidikan Ikhwanul Muslimin bertujuan menghidupkan hati supaya ia tidak mati, memperbaikinya sehingga ia tidak rusak dan memperhalusnya sehingga ia tidak menjadi kasar dan keras. Sebab kekasaran hati dan kejumudan [4]) mata merupakan siksaan yang dimohonkan perlindungan Allah dari bahayanya. Karena Allah mencela Bani Israil dalam firman-Nya :

فبما نقضهم ميثاقهم لعناهم وجعلنا قلوبهم قسية

“Karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. “(Al Maidah 13)

Dalam ayat lain Allah berfirman mengenai mereka :

ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي كالحجارة أو أشد قسوة

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi ” (Al Baqarah 74)

Kemudian Allah mengingatkan orang beriman dalam firman-Nya :

الم يأن للذين أمنوا أن تخشع قلوبهم لذكر الله وما نزل من الحق ولا يكونوا كالذين أوتوا الكتاب من قبل فطال عليهم الأمد فقست قلوبهم

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras.” (Al Hadid 16).

Nabi SAW selalu berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat dan dari hati yang tidak khusyu’.

Surat-surat ustadz Hasan Al-Banna kepada kami, begitu pula tulisan-tulisannya dan pidato-pidatonya dalam kesempatan-kesempatan umum dan khusus senantiasa mengetuk hati manusia sehingga terbuka untuk mengenal Allah, mengharapkan karunia-Nya dan takut kepada-Nya, bertaubat dan bertawakal kepada-Nya serta yakin akan rahmat yang tersedia di sisi-Nya, cinta dan ridha terhadap-Nya, merasa tenteram dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan dengan mengingat-Nya. Allah SWT berfirman :

ألا بذكر الله تطمئن القلوب

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram ” (Ar-Ra du: 28).

Dengan demikian hati seorang mukmin menganggap mudah segala kesulitan, memandang manis apa yang pahit, menganggap enteng segala penderitaan, kesukaran dan kesulitan, bahkan semuanya itu enak rasanya selama ia tetap berjuang karena Allah dan untuk meninggikan agama, ibarat seorang yang dimabuk cinta merasa lezat semua kesulitan perjalanan sampai ia lupa akan haus dan lapar, karena tujuannya adalah bertemu dengan kekasihnya, seperti yang disenandungkan oleh Ibnul Qaiyim :

لها أحاديث من ذكراك تشغلها ☼ عن الطعام وتلهيها عن الزاد

إذا اشتكت من كلال السير أوعدها ☼ روح القدوم فتحيا عند ميعاد

“Ingatannya kepada anda membuat ia lupa membawa makanan dan menyiapkan perbekalan kelelahan perjalanan menjadi sirna karena harapan akan berjumpa.”

Hati manusia sama dengan tubuhnya, memerlukan tiga perkara :

1. Pemeliharaan supaya ia selamat

2. Makanan supaya ia hidup dan

3. Pengobatan supaya ia sehat.

Hal pertama yang wajib dipelihara supaya hati bebas dari padanya dan diberi injeksi supaya kebal terhadapnya ialah sifat cinta kepada dunia sebagai pokok setiap kesalahan dan sumber setiap penyakit. Sedang suntikan untuk mencegahnya ialah yakin kepada akhirat, ingat kepada balasan Allah dan membanding-bandingkan antara keremehan apa yang ada pada kita dengan kebesaran apa yang ada di sisi Allah, jika boleh membandingkan antara yang fana dan yang baka. Allah SWT berfirman :

ما عندكم ينفد وما عند الله باق

“Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal “(An-Nahl 96).

Untuk mengetahui perbandingan dan kelebihan ini dengan jelas dan nyata, cukuplah seorang mukmin membaca ayat :

زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام والحرث, ذلك متاع الحيوة الدنيا والله عنده حسن المأب. قل أؤنبئكم بخير من ذلكم للذين اتقوا عند ربهم جنت تجرى من تحتها الأنهار خالدين فيها وأزواج مطهرة ورضوان من الله والله بصير بالعباد

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak [5]) dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga). Katakanlah : Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian ? Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Al1ah) pada sisi Tuhan mereka ada syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (ada pula) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Allah Maha Melihat akan hamba-hambaNya. “(Ali Imran 14-15).

Di belakang keinginan kebendaan ini keinginan perut dan seks, cinta harta dan anak-anak, ada yang lebih berbahaya yaitu keinginan hati dan hawa nafsu. Hawa Nafsu adalah seburuk-buruk “tuhan” yang disembah di bumi. Allah SWT berfirman.

ومن أضل ممن التبع هوىه بغير هدى من الله

“Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun “(Al Qashash 50).

Nafsu kemegahan, nafsu kekuasaan, bertuhankan makhluk Allah, memperturutkan hawa nafsu dan keinginan, mengharapkan tepuk tangan orang banyak dan pujian kaum elite dan sebagainya adalah racun yang membunuh yang membuat hati buta dan tuli, merusak dan membunuhya. Inilah yang dinamakan oleh Imam Gazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumiddin “al-muhlikat” (yang mencelakakan) berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi :

ثلاث مهلكات شح مطاع , وهوى متبع , وإعجاب المرء بنفسه.

“Ada tiga perkara yang mencelakakan : kekeliruan yang diikuti, hawa nafsu yang diperuntukkan dan kekaguman manusia terhadap dirinya.”

Tetapi sayang kebanyakan manusia tidak mengacuhkan hal-hal maknawi yang mencelakakan pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok ini. Mereka mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada perbuatan-perbuatan lahir yang mencelakakan seperti mencuri, berzina dan minum minuman keras. Memang semua perbuatan itu termasuk perbuatan yang mencelakakan, tetapi lebih kecil kemudharatannya dan lebih ringan bahayanya.

Sebenarnya di balik semua perkara lahir yang mencelakakan ini terdapat penyakit kejiwaan, yang diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh sebagian yang lain. Karena itu sejak semula Dakwah Islamiyah mengutamakan pembebasan jiwa dari pengaruh-pengaruh dunia dan mengarahkannya kepada Allah sebelum kepada segala sesuatu yang lain. Dakwah Islamiyah mengalihkan jiwa manusia dari setiap keuntungan dan kesenangan duniawi yang tidak bernilai di sisi Allah kepada pemusatan perhatian kepada Tuhan dengan sepenuh kekuatan dan menyiapkan ke arah itu pikiran dan perasaan, serta menyiapkan pula suasana dan sarananya.

Segi keimanan atau Ketuhanan ini mendapat tempat yang luas dan perhatian yang besar dalam sistem pendidikan Ikhwanul Muslimin. Dakwah hanyalah dakwah kepada Tuhan sebelum segala sesuatu yang lain. Dakwah Ketuhanan hanya mengarahkan pandangan kepada Allah saja dan menjadikan ridha-Nya sebagai tujuan akhir.

إذا صح منك الود فالكل هين ☼ وكل الذى فوق التراب تراب

“Bila cintamu benar maka semuanya menjadi mudah, setiap yang ada di atas tanah adalah tanah “

Allah SWT tidak melihat kepada bentuk (lahir) tetapi kepada hati dan tidak memberi balasan berdasarkan volume amal yang tampak, tetapi berdasarkan keikhlasan yang berada di baliknya. Allah SWT tidak menerima, kecuali amal yang ikhlas karena-Nya. Dialah Yang Paling tidak menghargai syirik, sedang riya’ adalah syirik yang tersembunyi. Sebab itu Dia tidak menyukai amal yang berbau syirik dan hati yang musyrik. Amal yang berbau syirik dan hati yang syirik tidaklah diterima-Nya.

فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.“(Al Kahfi 110).

Tidaklah heran kalau pendidikan Ikhwanul Muslimin bersemboyankan : “Allahu Akbar wa lillahil hamd” dan menjadikan ucapan pertama yang diajarkan kepada para pengikutnya dan ditanamkan dalam akal dan perasaan mereka adalah tujuannya dan pengertiannya yang agung “Allah adalah tujuan kami.”

Misi pendidikan Hasan Al-Banna menjadikan sebagai prinsip kedua dari prinsip-prinsip “bai’at” sesudah “memahami” apa yang dimaksud dengan Islam dalam batas-batas “dua puluh dasar” yang terkenal itu. Ikhlas ditafsirkannya dengan kata-kata : “Seorang muslim dengan perkataan, perbuatan dan perjuangannya tidak lain ditujunya hanyalah Allah serta mengharap ridha dan balasan-Nya yang baik, tanpa melihat kepada keuntungan, kesenangan, kemegahan, kepayahan, kemajuan atau kemunduran.” Dengan demikian ia menjadi seorang pejuang pemikiran dan akidah, bukan pejuang karena sesuatu maksud tertentu atau manfaat. Allah SWT berfirman :

قل إن صلاتى ونسكى ومحياي ومماتى لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت

“Katakanlah : Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. “(Al An’am : 162-163).

Orang-orang yang mengenal penyakit-penyakit hati dan jiwa mengetahui bahwa sesuatu yang paling berbahaya yang dihadapi oleh mereka yang bergerak di bidang dakwah ialah terpengaruh dengan hawa nafsu, mengharapkan berdiri di baris depan. menginginkan popularitas dan kepemimpinan. Karena itu Rasulullah memperingatkan agar kita jangan terjerumus ke dalam jurang cinta kemegahan dan harta dan ke dalam syirik yang tersembunyi, yaitu riya’. Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan nada tinggi memanggil orang-orang ikhlas yang mengerjakan apa yang mereka kerjakan “karena mengharap ridha Allah,” tidak menghendaki balasan dan ucapan terima kasih dari seseorang. Rasulullah memuji orang muslim yang kreatif lagi pendiam, yang melaksanakan kewajibannya sedang ia tidak dikenal dan tidak mendapat pujian di kalangan masyarakat. Beliau bersabda :

رب أشعث أغير ذى طهرين لايؤبه له لو أقسم على الله لأبره

“Kadang-kadang orang yang berambut kusut-masai, dekil, berpakaian kumal tak diindahkan orang, sekiranya ia bersumpah dengan nama Allah tentulah Allah mengabulkannya. “

طوبى لعبد أخذ بعنان فرسه فى سبيل الله. أشعث رأسه مغبرة قدماه, إن كان فى الحراسة كان فى الحراسة. وإن كان فى السافة كان فى السافة

“Mujurlah seorang hamba yang memegang kekang kudanya fi sabilillah, kusut-masai rambutnya, berdebu kakinya, jika dalam penjagaan ia tetap dalam penjagaan dan jika dalam penyerangan ia tetap dalam penyerangan “

Semoga Allah memberi rahmat kepada Khalid bin Walid, Saifullah, yang sebagai panglima ia telah memimpin dengan sebaik-baiknya dan sebagai perajurit telah pula melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Ikhwanul Muslimin benar-benar menekankan pengertian-pengertian ini dalam pendidikannya dan sama sekali melarang penonjolan diri, yang membawa kepada patahnya tulang punggung.

Di antara hasil pendidikan ini lahirlah banyak perajurit yang tak dikenal dalam jamaah itu, atau seperti yang dinamakan oleh Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmizi :

الأبرار الأتقياء الأخفياء ألذين إن غابوا لم يفتقدوا وإن حضروا لم يعرفوا

“Orang-orang baik yang bertakwa yang tak dikenal, bila mereka tidak hadir tidak dicari-cari dan jika mereka hadir maka mereka tidak dikenal orang.

Begitu pula di kalangan mereka kita temukan pendukung-pendukung seperti kaum Anshar yang kelihatan banyak ketika keadaan sulit dan kelihatan sedikit ketika memperebutkan keuntungan.

Betapa banyak orang yang mengorbankan harta dan jiwa mereka tanpa disebut-sebut namanya atau dipukul genderang menyambut kehadirannya. Berapa banyak pemuda yang berjuang di Palestina dan Kanal Suez yang menunjukkan kepahlawanan yang mengagumkan, tanpa mengharapkan balasan atau ucapan terima kasih dari seseorang dan tanpa meminta disebut-sebut jasanya, karena takut akan lenyap nilai amalnya disebabkan rasa takabur dan sombong.

Kemudian usaha diarahkan kepada memberi santapan hati setelah memeliharanya dari bermacam-macam penyakit. Santapan hati hanya sempurna dengan adanya hubungan yang terus-menerus dengan Allah SWT, ingat dan bersyukur kepada-Nya serta melaksanakan ibadat dengan sebaik-baiknya.

Di antara nilai-nilai pokok yang dilaksanakan oleh pendidikan Ketuhanan Ikhwanul Muslimin adalah ibadat kepada Allah. Itulah tujuan pertama dari penciptaan manusia. Allah SWT berfirman :

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadat kepada-Ku. “(Adz-Dzariyat: 56).

Ibadah – dengan pengertian umum – ialah suatu nama yang mencakup segala apa yang disukai dan diridhai oleh Allah, berupa perkataan dan perbuatan. Tetapi yang kami maksudkan di sini adalah ibadat dalam pengertian khusus, yaitu beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan syiar-syiar-Nya, berdzikir dan bersyukur kepada-Nya.

Di antara unsur-unsur pokok yang ditekankan oleh Ikhwanul Muslimin dalam ibadah adalah :

1. Tetap mengikuti Sunnah dan menjauhi bid’ah, sebab setiap bid’ah adalah sesat. Dalam hal ini Asy-syaikh Sayid Sabiq telah menyusun kitabnya Fiqhus Sunnah dan Hasan Al-Banna telah memberikan pengantar dan memujinya. Sebelum itu beberapa bagian dari padanya telah disiarkan dalam majalah mingguan Ikhwanul Muslimin. Kitab itu bertumpu pada dalil-dalil syari’at dan merupakan fikih Ikhwanul Muslimin.

2. Mengutamakan ibadat-ibadat fardu, sebab Allah tidak menerima ibadat sunat sebelum ditunaikan yang fardhu. Dalam sebuah Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tersebut :

ما تقرب إلي عبدى بشيئ أحب إلي من أداء ما افترضته عليه

“Tidak ada satupun taqarub hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Ku-sukai daripada menunaikan apa yang Aku fardhukan kepadanya “

Sebab itu bagaimanapun, meninggalkan yang fardu tidak dapat dibenarkan.

3. Menggemarkan salat jamaah, meskipun madzhab-madzhab berbeda pendapat mengenai hukumnya, ada yang mengatakan fardhu ‘ain, ada yang mengatakan fardhu kifayah dan ada yang mengatakan sunat muakkad. Sebab itu ketika Ikhwanul Muslimin berangkat ke Kamp Tursina, mereka segera membangun sebuah mesjid di setiap bagiannya. Mereka berkumpul padanya mengerjakan setiap shalat, seperti mengerjakan shalat Jum’at. Saya senantiasa ingat ucapan Syaikh Muhammad Al-Gazali yang mengatakan bahwa dia (Hasan Al-Banna) mengimami kami pada setiap shalat dan membaca qunut pada raka’at akhir dengan berdoa :

اللهم فك بقدرتك أسرنا, واجبر برحمتك كسرنا, وتول بعنايتك أمرنا, اللهم استر عوراتنا وأمن روعاتنا

“Ya Tuhan Kami, dengan kekuatan-Mu bebaskanlah kami dari keadaan tertawan ini, dengan rahmat-Mu tutupilah kekurangan kami, dengan pengawasan-Mu kendalikanlah urusan kami. Ya Tuhan kami, tutupilah kekurangan kami dan tenteramkanlah hati kami…”

4. Menggemarkan amalan sunat. Dalam Hadits Qudsi di atas antara lain tersebut :

وما يزال عبدى يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه

“Senantiasa hamba-Ku bertaqarub kepada-Ku dengan amal-amal sunat, sehingga Aku mencintainya “

Berapa banyak yang timbul di pangkuan dakwah ini orang-orang yang banyak berpuasa dan beribadat malam hari (qiyamul lail), seperti tersebut dalam firman Allah :

تتجافى جنوبهم عن المضاجع يدعون ربهم خوفا وطمعا

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, [6]) sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap. “(AS-Sajdah: 16).

Orang-orang menyifatkan mereka seperti menyifatkan para sahabat dan tabi’in, bahwa mereka :

“ahli ibadah ketika malam tiba dan waktu siang menjadi pasukan berkuda.”

Penyair mereka mengungkapkan dalam syair yang berjudul “Huwa al-Haq” atau syair yang berjudul “Al-Karaib” yang dihafal oleh seluruh anggota, sebagai berikut :

رقاق إذا ما الدجى زارنا ☼ غمرنا محاريبنا بالحزن

وجند شداد فمن رامنا ☼ لبأس رأى أسدا لا تهن

“Kami adalah lemah lembut bila malam tiba,

Kami kerumuni mihrab kami dengan rasa sedih,

Kami adalah prajurit-prajurit perkasa di medan laga,

Musuh memandang kami tak terkalahkan bagaikan singa “

Dalam hal ini Ustadz Hasan menyusun sebuah risalah. namanya “Al-Munajah.” Di dalamnya diterangkan keutamaan tahajjud dan shalat di waktu sahur, kedudukan do’a dan istighfar dengan mengemukakan ayat-ayat, hadits-hadits dan amalan para sahabat (atsar). Beliau selalu mengungkapkan kenikmatan beribadat di tengah malam dan berdiri menghadap Allah ketika manusia lelap dalam tidurnya. Berjaga untuk perbuatan taat ketika manusia tenggelam dalam keisengan hiburan dan menangis takut kepada Allah yang menjadi tertawaan mereka yang melampaui batas. Hal ini diungkapkan sesuai dengan kata-kata penyair dalam munajat kepada Tuhannya :

سهر العيون لغير وجهك باطل ☼ وبكائهن لغير فقدك ضائع

“Bertanggang malam bukan untuk mengingat Tuhan adalah batal, Menangis bukan karena kehilangan keridhaan-Mu adalah sia-sia”.

Kata penyair lain:

إن قلبا أنت ساكنه ☼ غير محتاج إلى السرج

وجهك المأمول حجتنا ☼ يوم يأتى الناس بالحج

“Hati yang selalu mengingat-Mu,

Tidak membutuhkan obor dan lampu.

Wajah-Mu yang selalu menjadi idaman itulah alasan kami,

Pada hari ketika manusia mengemukakan alasan (pada hari kiamat)

Makna-makna ini mempunyai pengaruh yang kuat dan mendalam dalam jiwa dan hati anggota Ikhwanul Muslimin. Maka lahirlah generasi Ketuhanan yang berjaga malam untuk beribadat kepada Allah dan menahan haus di waktu siang karena Allah. Sejuknya musim dingin tidak menghalanginya untuk beribadat di malam hari dan teriknya musim panas tidak menghalanginya untuk berpuasa. Karena dalam beribadat kepada Tuhan ia menemukan kesenangan, dalam ta’at kepada-Nya ia merasakan kelezatan dan dalam berdiri di hadapan-Nya ia memperoleh kebahagiaan, seperti yang diungkapkan oleh seorang saleh masa lalu dengan katanya : “Sekiranya raja-raja mengetahui semua ini tentulah mereka memerangi kami dengan pedang untuk memperoleh kebahagiaan itu. “

Saya selalu mengingat saf-saf orang yang sembahyang tahajud di Kamp Tursina, ketika sebagian anggota Ikhwanul Muslimin sedang melewati akhir malam dan berseru dengan suara yang mengesankan :

يا نائما مستغرقا فى المنام ☼ قم فاذكر الحي الذى لاينام

مولاك يدعوك إلى ذكره ☼ وأنت مشغول بطيب المنام

“Wahai anda yang lelap tenggelam di peraduannya,

Bangunlah, ingatlah Yang Hidup, Yang Tidak Pernah Tidur,

Tuhanmu memanggilmu untuk ingat kepadanya,

Sedang anda terlena oleh kenyenyakan tidur. “

Maka bangunlah semua orang yang tidur, yang merasa berat menjadi ringan dan yang merasa malas menjadi cekatan untuk mengharapkan karunia Allah pada bagian malam yang berkah ini, mudah-mudahan berkah “al-mustaghfirina bil ashari” [7]) melimpah kepadanya.

Pendidikan malam dengan adanya shalat, do’a dan membaca Qur-an disertai keteguhan jiwa dan kekuatan hati, itulah yang menghasilkan seorang muslim yang mampu memikul beban risalah yang menyambut warisan kenabian dengan kekuatan dan amanah seperti telah dipikul oleh Nabi SAW, yang semenjak di Mekah Allah telah memerintahkannya dengan apa yang tersebut dalam firman-Nya :

يا أيها المزمل, قم اليل إلا قليلا, نصفه أو انقص منه قليلا, أو زد عليه ورتل القرأن ترتيلا, إنا سنلقى عليك قولا ثقيلا

“Hai orang yang berselimut, Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (dari padanya). (Yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebihi dari seperdua itu, dan bacalah Al-Qur’an dengan bacaan yang perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat (Al-Qur’an).” (Al-Muzammil 1-5).

Pendidikan ini – pendidikan malam dan pendidikan Al Qur’an – menciptakan pemuda-pemuda pecinta Tuhan, yang menghidupkan kembali perjalanan hidup Salaf [8]). Di antara mereka kita melihat orang-orang yang menetapi puasa Senin dan Kamis sepanjang hidupnya, – semoga Allah mengaruniai kita berkat keikhlasan mereka. Demikian pula orang yang tetap berada di atas Sunnah ini di waktu ia berada di medan jihad. Nabi SAW bersabda yang artinya : “Barangsiapa berpuasa satu hari fi sabilillah, maka Allah akan menjauhkan mukanya dari api neraka pada hari itu sejauh tujuh puluh kharif [9]) “(Hadits riwayat Bukhari dan lainnya).

Seorang anggota yang ikut berperang terkena tembakan pada hari ia sedang berpuasa. Pada saat ia sedang sakarat dibawakan kepadanya segelas air, lalu ia berkata : “Biarkanlah saya, saya ingin menemui Tuhan dalam keadaan berpuasa.”

5. Menggemarkan berdzikir kepada Allah. Allah SWT berfirman :

يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا. وسبحوه بكرة وأصيلا.

“Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. “(Al-Ahzab 41-42).

Sebaik-baik dzikir adalah membaca Al-Qur’an, Kalam Ilahi, untuk setiap huruf pembacanya memperoleh sepuluh kebaikan. Di antara pesan gerakan itu ialah setiap anggota harus melakukan wirid harian yaitu membaca ayat-ayat dari Al-Qur’an, membacanya dengan baik berdasarkan hukum tajwid dan dengan memahami maknanya. Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi bisa terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, tentu Al-Qur’anlah bacaan itu.

Macam-macam dzikir dan bacaannya adalah banyak di antaranya: tasbih, tahmid, tahlil. takbir, do’a. Istighfar dan salawat kepada Nabi SAW.

Pendidikan Ikhwanul Muslimin sangat bergairah menetapi dzikir yang diterima dari Nabi (yang ma’tsur), karena beberapa hal :

- Lafadz-Lafadz yang ma’tsur tidak dapat ditandingi oleh Lafadz-Lafadz lain dari segi kandungan isinya dan uslubnya (susunan kata-katanya). Ia merupakan ayat daripada ayat-ayat Allah disebabkan lengkapnya, fasihnya, jelasnya, kuat pengaruhnya dan ini merupakan berkah kenabian.

- Ucapan orang yang tidak ma’tsur, kadang-kadang mengandung unsur berlebih-lebihan atau kekurangan. Dengan demikian tidak terlepas dari kata orang begini dan kata orang begitu. Padahal Nabi memperingatkan : “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan ambillah apa yang tidak meragukanmu. “

- Dalam membaca dzikir yang ma’tsur, ada dua pahala : pahala dzikir dan pahala mengikuti Nabi. Tidaklah pantas menyia-nyiakan pahala mengikuti Nabi ini tanpa alasan.

Karena itu Imam Hasan Al Banna menyusun suatu risalah berisi kumpulan dzikir dan do’a yang berasal dari Sunnah Nabi. Risalah itu dinamakannya Al Ma’tsurat menurut pola seperti Al Adzkar susunan Imam An-Nawawi dan Al Kalimuth-thayyibah susunan Syekh Ibnu Taimiyah.

Hampir tidak ada anggota Ikhwanul Muslimin yang tidak memiliki Risalah ini dan sedikit di antara mereka yang tidak menghapalnya dan mengulang-ulangi dzikirnya pagi dan petang. Di antara anggota ada yang membuat cara tersendiri untuk mengingatkannya akan do’a itu dalam setiap kesempatan. Di kamar tidur digantungkan papan tulis yang berisi do’a waktu tidur dan waktu bangun. Di kamar makan digantungkan do’a makan dan minum, dekat pintu do’a masuk dan keluar, dalam kendaraan do’a bepergian dan demikianlah seterusnya.

Di antara metode yang diciptakan oleh Ikhwanul Muslimin untuk membangkitkan perasaan keagamaan, menumbuhkan sikap mawas diri dan mengalahkan nafsu lawwamah [10]) atas nafsu ammarah [11]) adalah apa yang dinamakan Jadwal al Muhasabah (Jadwal Introspeksi), yaitu suatu jadwal yang dicetak, berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan oleh seseorang kepada dirinya dan ia harus menjawabnya dengan ya atau tidak, supaya mengetahui sejauh mana ia melaksanakan atau mengabaikan kewajibannya. Yang demikian itu ketika ia hendak tidur, supaya diketahuinya hasil pekerjaannya hari itu. Introspeksi hanya dilakukan sendiri, tidak memerlukan pengawas selain Allah SWT. Di antara pertanyaan-pertanyaan itu adalah :

Apakah engkau telah menunaikan shalat pada waktunya?

Apakah engkau telah menunaikannya secara berjama’ah?

Apakah engkau telah membaca wirid harianmu dari Al Quran?

Apakah engkau telah membaca do’a-do’amu yang ma’tsur?

Apakah engkau ada menjenguk saudaramu karena Allah?

Dan sebagainya, dan sebagainya . . .

Di antara hasil pendidikan iman kepada Tuhan ini, Ikhwanul Muslimin telah memberi sumbangan bagi tanah airnya dan usaha dakwahnya tanpa menyebut-nyebut jasanya, bahkan Allah memberi kepada mereka kenikmatan iman, sehingga meskipun mereka mendapat siksaan dan ujian yang terus-menerus pada masa Kerajaan dan pada masa kekuasaan Jamal Abdul Nasir (1948, 1954, 1965) namun tidaklah mereka menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah kepada musuh. Di antara mereka ada yang dijadikan sasaran gigitan anjing, ada yang diseterika punggungnya dengan besi panas, ada yang robek-robek badannya karena dicambuk, ada yang menjalani hukuman penjara dua puluh tahun pada masa revolusi, ada yang terang-terangan ditembak mati seperti yang terjadi pada penyembelihan di Leman Thurah dan ada yang dibunuh secara sembunyi dengan pukulan dan siksaan, dan jumlah berpuluh-puluh, semuanya harus disingkapkan tabirnya agar mereka dikenal dalam sejarah. Di antara mereka ada yang dihukum gantung sampai mati tanpa hak. Bukan karena ia kafir sesudah Islam, bukan karena ia berzina sesudah ihshon [12]) dan bukan pula karena ia membunuh orang. Dosanya hanya karena ia mengatakan : “Tuhanku adalah Allah dan pedomanku adalah Al-Qur’an.”

Tidaklah aneh kalau suatu waktu manusia berbuat dosa. Tetapi yang aneh kalau ia terus-menerus berbuat dosa dan tidak bertaubat. Adam telah berbuat dosa, lalu Allah menerima taubatnya dan mengampuninya. Allah SWT berfirman :

وعصى أدم ربه فغوى, ثم اجتبىه ربه فتاب عليه وهدى

“Adam durhaka kepada Tuhannya, maka sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan mengampuninya. ” (Thaha : 121 – 122).

Tetapi iblis sangat besar dosanya, maka Allah tidak mengampuninya karena ia tidak bertaubat dari dosanya dan tidak merendahkan diri kepada Tuhannya, bahkan enggan dan angkuh untuk tunduk kepada perintah-Nya (supaya sujud kepada Adam), dengan mengatakan :

أنا خير منه خلقتنى من نار وخلقته من طين

“Saya lebih baik dari padanya (Adam), Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah. “(Al A’raf. 12)

Padahal Adam dan isterinya berkata :

ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخسرين

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, tentulah kami termasuk orang-orang yang merugi. “(Al-A’raf: 23).

Dosa Adam dan isterinya adalah akibat kealpaan yang tak disengaja dan nafsu yang menggoda tetapi diiringi dengan taubat yang sebenar-benarnya, lalu Allah menerima taubatnya. Sedang dosa iblis adalah akibat dari sikap membangkang terhadap Allah, menolak perintah-perintah-Nya dan merasa angkuh untuk ta’at kepada-Nya, lalu Allah mengucilkannya sebagai makhluk terhina dan terusir dan kena laknat sampai hari kiamat.

Anggota-anggota Ikhwanul Muslimin adalah manusia turunan Adam juga. Sebab itu tidak aneh kalau di antara mereka ada yang melakukan kesalahan, yang menyalahi apa yang diperintahkan kepada mereka atau mengerjakan apa yang dilarang Allah. Akan tetapi sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat lagi beristighfar. Inilah obat yang dibutuhkan oleh hati supaya ia kembali sehat. Tidak ada jalan kepada taubat dan istighfar yang benar, kecuali dengan merasa diri berdosa, takut kepada siksaan Tuhan, tunduk kepada-Nya dengan ketundukan yang benar dan pengakuan yang tulus.

Beserta semua itu Ikhwanul Muslimin memasrahkan semua bencana yang menimpanya dan segala pengorbanan yang diberikannya kepada Allah SWT. Mereka telah menjual diri dan harta mereka kepada Allah dan Allah telah membeli yang demikian itu dari mereka dengan sorga. Mereka, insya Allah, tidak akan menolak jual beli ini dan tidak akan menerima selain sorga sebagai balasannya.

Karena itu Ikhwanul Muslimin tidak memikirkan balasan dendam terhadap orang yang memenjarakannya, menyiksanya, menyita hartanya, melaparkan keluarganya dan membunuh mereka secara diam-diam atau terang-terangan. Tidak pernah ada seorang dari mereka yang terdengar menculik orang yang menganiaya mereka dan menembak matanya yang kiri atau yang kanan. Padahal jika mereka mau mereka sanggup berbuat demikian, karena di kalangan mereka ada prajurit-prajurit berpengalaman yang menggentarkan pasukan Yahudi dan menjadikan pasukan Inggris tidak enak tidur, karena pendidikan mereka tidak membenarkan mereka berbuat demikian, bahkan lawan-lawannya diserahkan kepada Allah, dan Dia-lah yang akan menghukum mereka seorang demi seorang di dunia ini sebelum di akhirat. Hukuman yang ada di sisi Allah lebih berat dan lebih menghinakan, sedang tujuan mereka adalah lebih agung dan lebih mendalam daripada pembalasan dendam terhadap pribadi-pribadi, kecil atau besar.

Ikhwanul Muslimin sudah ditakdirkan dapat melihat dengan mata kepala mereka sendiri nasib kebanyakan musuh mereka yang begitu kejam terhadap mereka. Di antaranya ada yang menjadi hina dan tersia-sia, menjadi gila, penyakitan dan terbunuh, sehingga Ustadz Al-Hadhliby yang sudah tua sempat melihat mereka yang pernah memenjarakannya masuk penjara bersamanya dan kawan-kawannya. Bedanya mereka masuk penjara dengan menangis seperti anak-anak, sementara anggota Ikhwanul Muslimin menerima kenyataan itu dengan senyuman kepahlawanan.

Ini tidaklah berarti semua anggota Ikhwanul Muslimin berada pada tingkat keimanan yang murni seperti ini. Tetapi aku katakan dengan benar bahwa sifat Ketuhanan yang bersinar itulah yang menonjol pada mereka dan menguasai mereka. Keta’atan adalah kaidah mereka, sedangkan maksiat hampir tidak terjadi. Mereka disibukkan oleh cita-cita besar dari keinginan-keinginan kecil, oleh harapan hari akhirat dari keinginan-keinginan duniawi dan oleh kepentingan umum dari keuntungan pribadi. Barangsiapa di antara mereka pada suatu sa’at tergoda oleh syaitan, maka ia segera insaf dan sadar, lalu kembali ke jalan Tuhannya dengan penuh sesalan lalu bertaubat. Saya masih ingat seorang pemuda yang masih remaja dikuasai oleh garizahnya pada sa’at ia lemah dan hatinya lengah, lalu terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Kemudian ia sadar bahwa dirinya telah menjadi kotor setelah tadinya suci, menyeleweng setelah tadinya menempuh jalan yang lurus, sesat setelah tadinya benar dan merasakan betapa pahitnya maksiat setelah ia merasa manisnya ta’at. Sebab itu ia mengurung diri berari-hari di rumahnya menangisi nasibnya dan berbalik ke kiri dan ke kanan di atas dipannya yang dirasakannya sebagai bara yang menyala. Dia merasa sedih sekali, bumi yang luas dirasanya sempit. Karena itu ia tidak berani menatap wajah orang lain dan tidak keluar dari kamarnya, karena malu kepada Tuhan dan kepada dirinya sendiri, menjauhkan diri dari kawan-kawannya, padahal tidak ada seorang pun selain saya yang mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Hal itu tentu akan berlangsung terus, sekiranya saya tidak menyuratinya memberikan kepadanya harapan dengan bertaubat dan memohon ampunan Allah. Saya sebutkan kepadanya Hadits Rasulullah :

من سرته حسنته وسائته سيئته فهو مؤمن

“Barangsiapa yang gembira karena kebaikan dan sedih karena kejahatan yang diperbuatnya, maka ia adalah seorang mukmin.”

Perkataan Ali bin Abu Thalib :

سيئة تسوؤك خير من حسنة تعجبك

“Kejahatan yang membuat engkau sedih lebih baik dari kebaikan yang membuat engkau takabur. “

Dan ucapan Ibnu Athaillah :

ربما فتح لك باب الطاعة وما فتح لك باب القبول, وربما قدر عليك المعصية فكانت سببا فى الوصول, معصية أورثت ذلا وانكسارا خير من طاعة أورثت عجبا واستكبارا

“Kadang-kadang dibuka bagimu pintu ta’at dan tidak dibuka bagimu pintu penerimaan. Kadang-kadang ditakdirkan bagi engkau perbuatan maksiat, tetapi hal itu merupakan jalan bagimu untuk sampai (kepada kebaikan). Perbuatan maksiat yang menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal lebih baik daripada perbuatan ta’at yang menimbulkan perasaan takabur dan angkuh. “

_______________________________________

Footnote:

[1] Ucapan Hasan albana

[2] Cabang-cabang iman (pent.)

[3] Maksudnya ialah orang yang telah mati hatinya yakni orang-orang kafir dan sebagainya.

[4] Tidak meneteskan air mata melihat bencana yang menimpa sesama. (Pent.)

[5] Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.

[6] Maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur, untuk mengerjakan shalat malam

[7] Orang-orang yang memohon ampunan pada pertiga malam yang akhir.

[8] Orang-orang muslim sebelum abad ke empat Hijriah.

[9] Kharif adalah jarak antara musim dingin dan musim panas (pent.).

[10] Nafsu Lawwamah ialah nafsu yang memiliki sebagian keutamaan, lalu mencela tuannya (yang memilikinya) bila melakukan sesuatu yang tidak baik.

[11] Nafsu Ammarah ialah nafsu yang menyuruh tuannya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik.

[12] Sesudah ihshon : sesudah kawin secara shah.

PERAN NAQIB dalam KANCAH POLITIK (Daurah An Naqib fi Mihwar Mu’assasy)


Seperti yang kita pahami bahwa perubahan menuju perbaikan diri dan masyarakat melalui lembaga-lembaga strategis menjadi bagian dari kerja dakwah pada mihwar mu’assasi ini. Melalui pemberdayaan lembaga tersebut berikut instrumentnya dapat mengokohkan dakwah dan perluasannya.

Imam Hasan Al Banna dalam Muktamar Keenam menjelaskan tentang berbagai media dan sarana untuk menjadi wasilah bagi tegaknya dakwah: “Bahwa sarana dan cara yang kita pakai secara umum adalah memberikan kemantapan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai sarana. Sehingga bisa mudah dipahami oleh masyarakat umum lalu menjadi opini publik. Kemudian menyeleksi pribadi-pribadi yang baik untuk menjadi pendukung dakwah yang kokoh. Juga perjuangan secara konstitusional agar dakwah ini memiliki suara di lembaga pemerintahan dan didukung oleh kekuatan eksekutif. Dengan dasar ini calon-calon ikhwah akan menjadi khatibul jamahiri dan apabila datang waktu yang tepat akan tampil mewakili umat di Parlemen. Percayalah akan pertolongan Allah SWT. selama tujuan kita adalah meraih keridhaan-Nya”.

Ini akan sangat membutuhkan peran dan potensi dari seluruh kader yang dapat digunakan sebagai mediator untuk mewujudkan amaliyah tersebut. Sehingga seluruh potensinya tidak ada yang nganggur. Bahkan bila demikian, tidak boleh ada kader yang tidak menjadi bagian dari kerja besar ini. Kader yang beragam perannya harus menjadi batu bata dari tugas ini. Salah satu peran yang sangat signifikan dalam mengusung tugas perubahan ini adalah peran naqib. Posisi dan perannya teramat penting. Karena naqib merupakan tulang punggung yang amat strategis dalam perjalanan tarbiyah ini. Ia menjadi simpul perubahan yang asasi. Minimal dalam komunitas terkecil di masyarakat ini melalui tarbiyah atau pembinaan kader.

Posisi dan peran inilah yang digerakkan generasi terdahulu untuk memperluas manuver dakwah demi perubahan masyarakat. Mereka menjadi titik tolaknya. Sebab pribadinya merupakan parameter perubahan. Komunitas suatu masyarakat akan mudah diarahkan bila parameternya jelas dan benar. Dapat menjadi cerminan dalam merealisasikan perubahan diri untuk selanjutnya menjadi perubah masyarakat. Karena itu Allah SWT. telah mengingatkan akan peran ini. Sebagaimana umat terdahulu yang menjadikan naqib sebagai munthalaqnya.

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”. ( Al-Maidah: 12)

Demikian pula saat perjalanan dakwah Rasulullah SAW. di masa-masa pertumbuhan. Beliau mengangkat sahabat yang memiliki kapasitas untuk mengemban amanah dakwah ini menjadi naqib. Dari para naqib yang ditunjuk, umat dapat belajar dan berkoordinasi merefleksikan amal Islam sehari-hari. Mereka menjadi ukuran sejauh mana tingkat dan kualitas suatu masyarakat yang akan diajak kepada perubahan. Begitu pula saat orang-orang Madinah menjumpai Rasulullah SAW. kemudian beliau mengelompokannya lalu menetapkan pemimpinnya sebagai naqib yang menjadi pengarah bagi kabilahnya.

Ternyata peran naqib yang dijalankan oleh para sahabat Anshor itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Itu dapat terlihat pada antusiasme masyarakat Madinah yang menyambut seruan Islam dan mereka menjadi pengikut setia Nabi Sang Junjungan. Perkembangan ajaran Islam dan entitas muslim sangat pesat di sana. Sehingga mereka siap untuk menerima kedatangan Rasulullah SAW. sebagai pemimpin mereka di dunia dan di akhirat. Kemudian beliau membinanya hingga terjadilah perubahan budaya dan perabadan umat manusia di antara kegelapan perilaku insaniyah waktu itu.

Menjalankan peran naqib seperti kaum muslimin di masa lalu memang tidaklah semudah membicarakannya. Karena banyak unsur yang terkait. Namun kita tidak dibenarkan bersikap pesimis lantaran tidak mudahnya merealisasikan peran tersebut. Akan tetapi upaya untuk bisa mencontoh sedikit demi sedikit hingga akhirnya sempurna harus tetap terkobar. Dalam kaedah ushul fiqhpun disebutkan bahwa

Maala yudraku kulluhu la yutroku kulluhu

“bila tidak dapat menjangkau seluruhnya maka janganlah meninggalkan keseluruhannya”.

Oleh karena itu para naqib kiranya dapat memahami peran yang mampu dilaksanakan agar cita-cita yang didambakan dapat terwujud. Seperti kondisi yang pernah dibangun generasi masa lalu.

Adapun peran yang perlu dijalankan oleh para naqib untuk mencapai perubahan diri dan masyarakat pada mihwar mu’assasi ini diantaranya sebagai berikut:

A. Raf’u Mustawal Afrad (Meningkatkan level personal)

Sesungguhnya Allah SWT. telah menyerahkan urusan umat ini kepada naqib. Kemashlahatan mereka di hari ini dan masa mendatang merupakan amanah Allah yang harus ditunaikan. Naqib bertanggung jawab di hadapan Allah SWT. pada akhirat kelak.

Jika generasi hari ini adalah kekuatan bagi naqib maka generasi esok merupakan tanaman. Alangkah mulianya seseorang jika bersikap amanah, bertanggung jawab dan mau memikirkan binaannya. Sebagaimana yang diingatkan Rasulullah SAW.

“Bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya”. (Bukhari dan Muslim).

Karena naqib sebagai murabbi dalam lingkaran pembinaannya maka meningkatkan level personal dalam pembinaannya ini menjadi peran yang mesti dijalankan dengan baik.

Pertama, Tahqiq Ma’any Tawazun
yakni untuk merealisasikan aspek-aspek tawazun dalam diri kader yang dibinanya. Baik secara Ma’nawi, Nafsi dan Amaly. Sehingga kader yang dibinanya dapat mempresentasikan ajaran Islam yang syamil secara ruhani, pemikiran, jiwa dan amal dalam kesehariannya.

Kedua, Izharul Azmi, yaitu memunculkan azam yang kuat dan tawakkal pada Allah SWT. membuat mereka selalu memiliki tekad yang tak pernah kendur dalam memperjuangkan Islam.

Ketiga, Tarqiyatu as Syaja’ah wal Buthulah, adalah meningkatkan sifat syaja’ah dan kepahlawanan dalam diri mereka. Berani untuk menyatakan kebenaran dan patriotis dalam membelanya.

Keempat, Mas’uliyatud Da’wah
yaitu memunculkan rasa mas’uliyyah (tanggungjawab) pada binaanya terhadap kerja da’wah agar medreka dapat menjadi pelopor dakwah sehingga dakwah berkesinambungan dan melahirkan generasinya yang lebih baik.

Sasaran utama untuk meningkatkan personal yang dibina oleh para naqib adalah untuk mempuyai sikap puas dan tenang pada manhaj dakwah dan structural. Sasaran inilah yang perlu diperhatikan oleh para naqib dalam menjalankan tugas mulianya ini. Dalam diri naqib hanya rasa cinta pada kader yang dibinanya agar selalu bisa lebih baik sehingga selalu gembira dan senang dalam menjalani tugasnya.

Imam Muhammad ibnu Ahmad yang dikenal dengan julukan Ibnu Razquwaih menyatakan pada murid-muridnya yang ia cintai. Karena ia ingin murid-murid lebih baik kualitas dan kepribadiannya dari yang kemarin. ‘Demi Allah, aku menyukai kehidupan di dunia bukan karena usaha dan bukan pula karena perniagaan, akan tetapi karena dzikir pada Allah bersama kalian dan membacakan hadits kepada kalian sehingga kalian lebih baik’.

Kiranya para naqib perlu merenungi ungkapan Sang Syeikh ini agar amanah ini dapat tertunaikan di pundak kita sehingga ia menjadi amal perberat timbangan kebaikan kita di akhirat nanti. Sekaligus mampu mengimplementasikan firman Allah SWT. bahwa pemimpin dan pengarah yang baik laksana pohon yang mengakar dan berdiri tegak memberikan buah yang tak pernah henti.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Al Fath: 29)

B. Tathwir Qudrah Al Ahliyyah (Pengembangan kemampuan keahlian atau ekspert)


Begitu beratnya tugas naqib maka ia perlu meningkatkan kemampuan dirinya. Sehingga tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan secara bertanggung jawab. Kemampuan itu adalah:

Pertama, Wudhuhut-tashawwur,

yakni memperoleh kejelasan wawasan dan pandangan tentang dakwah dan arah gerak dakwah pada mihwar mu’assasy ini sehingga naqib tidak bingung atau ragu dalam menjalankan tugas dakwahnya. Kejelasan wawasan juga dapat mengusir keragu-raguan sikap baik dirinya maupun orang lain.

Jiwa yang yakin akan dapat mempengaruhi orang lain pada fikrahnya terutama kader yang ia bina sehingga mereka berada dalam barisan dakwah di belakang naqibnya. Agar tidak ada lagi tasykik (keraguan) tentang langkah dakwah dan program yang sedang dicanangkan lalu dapat ikut terlibat di dalamnya.

Kedua, Tarqiyyatudz Dzaka’,

yaitu meningkatkan kecerdasan yang paripurna agar naqib dapat menjadi referensi dan rujukan masalah sekaligus mampu memberikan solusinya. Kecerdasan naqib selayaknya selalu meningkat dari hari perhari karena naqib sebagai orang yang akan mengarahkan binaannya. Naqib yang cerdas dapat memberikan nilai lebih pada binaannya sehingga muncul kepuasan tarbawi yang mereka ikuti.

Ketiga, Al Qudrah ‘alal Ibda’ wal ibtikar,

Yakni kemampuan kreasi dan inovasi. Dalam mengelola tarbiyah untuk ikut terlibat dalam kerja dakwah di mihwar mu’assasi ini naqib tidak boleh kehabisan kreasi apalgi mati kreasinya. Karena musuh-musuh dakwah pun penuh kreasinya. Untuk menandingi mereka tentu bukan dengan kemampuan material yang kita punya. Melainkan dengan mengembang kemampuan kreatifitas yang kita miliki. Kreatifitas yang hidup membuat peluang-peluang besar bagi dakwah dan pelakunya. Seorang punjangga memaparkan

“siapapun tidak akan mampu mematikan lawannya selama kreatifitas mereka tetap hidup”.

Keempat, Quwwatul Mubadarah
Cepat tanggap terhadap sesuatu.

Naqib yang cepat tanggap mengindikasikan kepeduliannya amat besar. Baik tanggap terhadap siatuasi, para binaannya mapun tugas yang diamanahkan kepadanya.

Upaya ini untuk menjaga asset dakwah yang amat mahal. Ia menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi kadernya.. kekuatan rasanya begitu besar sehingga ia ingin dapat memberikan hal lebih pada binaannya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. (At Taubah: 125)

Bila demikian -naqib meningkatkan kemampuan dan keahliannya- maka keahlian dan kafa’ahnya semakin kuat dan berarti. Hal ini akan sangat berguna untuk kelanggengan dakwah dan kekokohannya. Keahlian yang seperti itu amat diperlukan untuk menjadi pintu-pintu masuknya dakwah di seluruh elemen masyarakat saat ini. Sehingga instrument dalam masyarakat dapat menerima dan berhimpun didalamnya.

Keahlian apapun dalam ajaran Islam amat dihargai. Ia tidak boleh diabaikan atau melupakan kemampuan yang dimiliki seorang muslim. Apalagi hingga mencampakkan begitu saja keahliannya. Sang Nabi Junjungan telah mengingatkatkan,

“Barang siapa yang telah memiliki keahlian melempar kemudian melupakannya maka ia bukanlah golonganku”. (Muslim)

Naqib untuk merealisasikan perannya mesti menjaga cita-citanya agar selalu hidup. Sekalipun cita-cita itu belum terwujud pada saat menjalankannya. Sebab cita-cita tersebut kadang lebih cepat atau lambat. Seperti guratan seorang pujangga,

‘Peliharalah cita-citamu, karena sesungguhnya cita-citamu mendahului segala sesuatu. Barang siapa yang baik cita-citanya dan dia jujur padanya niscaya pekerjaan yang dilakukannya akan melahirkan hasil yang baik pula’.

Iqbalpun dalam untaian bait syairnya memaparkan,

‘Cita-cita orang yang merdeka dapat menghidupkan yang telah hancur, dan tiupan orang-orang yang bertaqwa dapat menghidupkan umat. Dan semua penyakit itu bersumber dari pudarnya cita-cita’.

Untaian syair tersebut mengumpamakan bahwa naqib sebagai nadinya kader dakwah ini. Oleh karena itu seyogyanya para naqib tetap menjaga kesehatan nadinya agar tidak pernah berhenti dan diam.

C. Tathwirul Qudrah At-Tanzhimiyyah (Pengembangan kemampuan struktural)


Naqib adalah amanah struktural karenanya ia menjadi orang yang terdepan dalam pengembangan struktural. Agar tidak mengalami ashirul marhalah dalam perjalanan dakwah ini maka naqib mesti memahami prasyarat untuk dapat menjalakan peran tersebut. Yaitu:

Pertama, Isti’abuts-Tsawabit wal mutaghayyirat.

Menguasai hal-hal yang permanent dan berubah-ubah pada jalan dakwah ini. Dari situ ia tahu mana-mana yang memang sudah baku dalam dakwah ini dan mana-mana yang berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisinya sehingga dapat menggunakan kebijakan yang tepat untuk kepentingan dakwah.

Kedua, Al Qudrah ‘alat-takhthith at Tanzhimy, menguasai perencanaan struktural.

Perencanaan yang dipahami oleh naqib dapat mempermudah merealisasikannya serta mempercepat ke arah yang digariskannya. Karena naqib dapat melibatkan langsung kader-kadernya sebagai ujung tombak dakwah ini.

Ketiga, Al Qudrah ‘alat-ta’biah, kemampuan mengkoordinasikan elemen dakwah.

Keempat, Muhafazhah matanah at tanzhim, Membangun soliditas struktural.

Karena naqib, peran dan kedudukannya amat strategis dalam struktur dakwah ini diharapkan merekalah garda terdepan dalam menjaga soliditas struktural. Ia dapat mengarahkan kadernya akan kekeliruannya. Ia pun dapat meluruskan gossip internal yang berkembang. Ia pun dapat memberikan jawaban atas tuduhan dan fitnah yang dilontarkan pada struktur dari siapapun. Sehingga naqib amat berwenang untuk membina soliditas struktural terutama pada kader yang dikelolanya. Bahkan para naqib menjadi kekuatan komitmen pada dakwah ini.

Abul ‘Ala Al Maududi mengingatkan bahwa naqib merupakan amanah struktural yang harus mampu menjadi penggerak dakwah ini kepada seluruh lapisan masyarakatnya dengan mengerahkan seluruh potensinya. ‘Sangat ironis sekali bila orang-orang yang dianugerahi intelgensia yang unggul dari kalangan individu umat kita ini, tergila-gila meraih kedudukan duniawi dengan mencurahkan segenap kemampuannya tanpa kenal lelah sepanjang siang dan malam. Di bursa kerja mereka tidak mau menerima kecuali pihak yang mau menawar mereka dengan bayaran yang tinggi. Sedangkan keterlibatan mereka dengan dakwah ini tidak sampai pada tingkat mengorbankan kepentingan mereka untuk kepentingan dakwah, bahkan tidak pula sekedar mengorbankan jasa yang mereka miliki. Jika kalian berharap dengan mengandalkan pengorbanan yang mandul ini untuk dapat meraih kemenangan melawan orang-orang yang menimbulkan kerusakan di muka bumi ini yang rela mengorbankan jutaan uangnya setiap hari demi mencapai tujuan mereka yang batil maka harapan ini tiada lain hanyalah suatu tindakan yang bodoh’.

D. Tathwirul Qudrah Asy-Sya’biyah (Pengembangan kemampuan bermasyarakat)


Naqib juga bagian dari masyarakat. Karenanya ia harus dapat melakukan pengembangan kemampuan bermasyrakat. Karena masyarakat akan menjadi bagian dari kerja dan obyek dakwah pada mihwar ini. Masyarakat yang mendukung dakwah akan sangat mengokohkan eksistensi dakwah dan akhirnya dapat berdiri tegak. Maka naqib perlu menyadari akan perannya di tengah-tengah masyarakatnya. Yakni:

pertama, Bina al Ittishal as Sya’by, yaitu membangun hubungan dengan masyarakat.

Kedua, Mir’atul Ishlah lil mujtama’
, yakni mampu tampil dan menjadi representasi dari masyarakat.

Ketiga, Tashawwurul ‘Am,
Membangun public opinion.

Keempat, As Syakhshiyah Barizah
, Mampu tampil sebagai pemimpin public.

Pada akhirnya naqib dapat membangun perubahan yang mendasar pada masyarakat. Dan dialah yang memulainya sehingga masyarakat dapat mencontohkan langsung.

Imam Hasan Al Banna mengingatkan seluruh kadernya untuk menjadi penggerak perubahan dan menjadi kekuatan yang hidup mengusung perbaikan dan kemashlahatan. Katanya, ‘Kita adalah ruh baru yang mengalir ke seluruh jasad umat umat ini’.

Wallahu ‘alam bishshawwab.

My Blog List