Sabtu, 11 Desember 2010

AHDAFUL MUSYAROKAH




Sejak awal, musyarokah kita—keterlibatan kita dalam pemerintahan—sama sekali bukan ditujukan untuk kemenangan zhahir saja yang cenderung diisi dengan al-kibr dan al-kibriya’, merasa besar dan sombong. Kita bermusyarokah untuk mencapai kemenangan sejati, yang didefinisikan oleh Imam Ahmad ibnu Hanbal: ما لازم الحق قلوبنا

Kemenangan sejati yang paling mendasar dan substansial adalah jika kebenaran tetap bersemayam di hati kita. Tidak terkontaminasi oleh racun-racun kehidupan, tidak tergoda oleh iming-iming apapun bentuknya, yang membuat hati kita diisi oleh nilai-nilai lain selain nilai kebenaran yang bersumber dari Allah SWT.

Kemenangan sejati juga adalah jika kita berhasil menegakkan kedaulatan Allah di dalam diri kita. Berhasil menegakkan kedaulatan Allah di dalam keluarga kita. Berhasil menegakkan kedaulatan Allah di rumah kita, di bangsa kita dan di negeri kita. Sehingga orientasi hidup bangsa kita adalah mardhotllah, ridho Allah semata.

Oleh karena itu pertama-tama yang harus kita pastikan adalah ahdaful musyarokah (tujuan-tujuan musyarokah) kita. Jangan sampai berpesong sedikitpun.

Al-Musyarokah littauhiid wal binaa’ ( المشاركة للتوحيد والبناء )
Musyarokah kita bertujuan untuk berkontribusi dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkontribusi untuk membangun bangsa dan negara ini sehingga mencapai kesejahteraan, kejayaan serta kedamaian dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan internasional. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Persatuan dan kesatuan bangsa ini jangan sampai dirongrong, dirusak, dicerai-beraikan oleh agenda-agenda yang diprogram dari luar yang menghendaki perpecahan. Kita harus menjadi junudullah (prajurit-prajurit Allah) terdepan dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dan negeri ini. Karena negeri ini adalah anugerah besar dari Allah—ba’da al-iman, setelah iman—yang harus kita syukuri dengan memberdayakan, menjayakan dan mengunggulkannya. Sehingga mampu memberi kontribusi positif dalam pergaulan antar bangsa dalam kehidupan global.

Al-Musyarokah littaqwiyah wat tatsbit ( المشاركة للتقوية والتثبيت )
Selain mempersatukan dan membangun, berdaya kohesif dan menjadi penerus pembangunan bangsa dan negara ini, musyarokah kita juga harus berkontribusi dalam mewujudkan negara yang kuat dan kokoh. Jangan menjadi negeri yang dilecehkan dan dideskreditkan tetangga-tetangganya. Jangan menjadi negara dan bangsa yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain, bahkan menjadi beban dalam pergaulan internasional.

Untuk menjadi factor taqwiyah wa tastbit, memperkuat dan mengokohkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, modalnya hanya satu: bersyukur! Negeri ini menghendaki para kader, pemimpin, pejuang, dan mujahid yang pandai bersyukur. Allah sudah memberikan banyak sekali karunia-Nya kepada negeri ini. Namun banyak potensi yang belum terolah, sehingga terbengkalai dan mubadzir. Bahkan banyak potensi yang diekploitasi oleh kekuatan-kekuatan asing. Ini karena kelemahan dan kebodohan kita, terjebak oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga kekayaan yang diberikan oleh Allah ini tergadaikan kepada negeri asing dengan amat sangat murah.

Kita harus waspada dan berani mengevaluasi kebijakan-kebijakan lama yang menyiksa bangsa ini. Berani mengevaluasi seluruh produk-produk konstitusi, perundang-undangan, perda-perda, perjanjian-perjanjian dengan luar negeri yang melemahkan bangsa ini, yang menjadikan bangsa ini terpuruk. Kekayaan melimpah ruah, bukan dinikmati oleh rakyat. Tapi hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu. Bahkan mengalir setiap hari ke negeri-negeri asing. Bukan dalam kerjasama yang saling menguntungkan. Tapi kerjasama yang timpang yang mengandung unsur pelecehan, penipuan, dan konspirasi kepada bangsa ini. Semua ini harus dihentikan.

Al-Musyarokah lit taghyiir wat tajdiid ( المشاركة للتغيير و التجديد )
Kita tidak ingin bangsa ini statis, jumud dan mandeg. Oleh karena itu tujuan musyarokah kita yang ketiga adalah al-musyarokah lit taghyiir wat tajdiid. Musyarokah kita, kontribusi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah melakukan perubahan dan pembaharuan.

Setiap hari Allah SWT memberikan pelajaran kepada kita bagaimana ciptaan-ciptaannya selalu berubah dan memperbaharui diri. Selalu tumbuh dan berkembang. Lahirnya seorang anak dimulai dengan jeritan tangis yang merupakan symbol kehidupan dan mulai berfungsinya organ-organ utama tubuh, terutama paru-paru dan jantung. Mula-mula matapun tidak bisa melihat, tulang-tulangnya lembek dan lemah. Tapi dari hari ke hari kita lihat matanya semakin berbinar terang. Pertama-tama yang ia tahu hanya ibunya. Kemudian akhirnya mulai bisa tahu ayahnya. Berkembang mulai bisa membedakan warna dan ukuran-ukuran. Bahkan membedakan manfaat-manfaat. Dan mulai bisa membedakan mana yang berbahaya dan mana yang tidak.

Kita lihat pertumbuhan biji-bijian. Biji-biji mulai terbelah merekah, memunculkan tumbuhan kecil. Lalu akarnya menghunjam ke tanah secara bertahap. Sementara batang pohonnya mulai tumbuh berkembang. Berdahan rindang, berdaun hijau, akhirnya berbuah menjadi bermanfaat. Seluruhnya adalah merupakan at-taghyiir wat tajdiid.

Daun-daun yang sudah tua, menguning dan rontok. Tumbuhlah daun-daun muda berkembang menghijau. At-taghyiir wat tajdiid adalah sunnatullah. Kalau bangsa ini tidak mau berubah, statis, dan mandeg, berarti bangsa ini melawan sunnatullah. Kita kader-kader dakwah harus mendorong agar bangsa ini mengikuti sunnatullah. Mengikuti fitrahnya yaitu fitrah perubahan dan pembaharuan.

Semuanya harus berubah, mustahil tidak berubah. Jika tidak mau berubah, dia akan menjadi korban perubahan. Akan digilas oleh perubahan. Makanya kalau kita tidak mau menjadi korban perubahan, kita harus menjadi pelopor perubahan dan pembaharuan.

Semangat perubahan dan pembaharuan adalah bagian penting dari gerakan dakwah. Dari sejak awal dalam manhaj takwiniyah kita tekankan bahwa harakatud dakwah (gerakan dakwah) adalah harakatut taghyiir (gerakan perubahan) dan harakatut tajdiid (gerakan pembaharuan). Kader-kader dakwah harus menjadi :
رُوْحٌ جَدِيْدَةٌ تَسْرِي فِي جَسَدِ الأُمَّةِ

Menjadi jiwa, semangat, moral baru, dan kekuatan baru yang mengalir di tubuh umat ini. Kita harus menjadi innovator perubahan dan pembaharuan di segala sector kehidupan. Jangan sampai bangsa ini tertinggal akibat segan berubah karena malas. Atau bahkan takut berubah, akibat mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan-kepentingan kelompok/golongan. Karena perubahan dan pembaharuan berarti dinamisasi. Perubahan dan pembaharuan berarti repositioning segenap potensi bangsa.

Dengan musyarokah ini kita melakukan redinamisasi repositioning kita; politik, social, financial, budaya, sains dan teknologi. Kita harus mencapai posisi-posisi baru yang lebih maju, berdaya guna, dan berdaya saing. Juga lebih memberikan manfaat, bukan saja kepada bangsa ini, tapi juga bermanfaat kepada kemanusiaan. Karena bangsa muslim ini mengemban misi utama rahmatan lil’alamin.

Al-Musyarokah lil ishlah wal ihsan ( المشاركة للإصلاح والإحسان )
Karena kita mengemban misi rahmatan lil’alamin, maka musyarokah pun tujuannya adalah berkontribusi untuk selalu ishlah (melakukan reformasi). Ishlah berarti perbaikan dan selalu mengajak damai.
Musyarokah lil ishlah wal ihsan baru bisa kita gulirkan, kalau kita professional. Mempunyai kafaah muntijah (kesalehan kompetensi dan kemampuan produktif ) dan kafaah ijaabiyah (potensi dan kompentensi yang positif).

Kader-kader kita harus menjadi kader-kader unggulan di tengah-tengah pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tafawwuq ma’nawiy berbasiskan tafawwuq iimaniiy, keunggulan moral berbasiskan keunggulan iman. Tafawwuq fikri berbasiskan tafawwuq ‘ilmi, keunggulan idealisme berdasarkan keunggulan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Begitu juga tafawwuq ‘amaliy berdasarkan tafawwuq manhajiy, keunggulan dalam aktivitas berdasarkan keunggulan metode kerja. Sehingga seluruh lapisan masyarakat mendapatkan sentuhan ishlah wal ihsan dari kita. Seluruh lapisan masyarakat, segenap komponen bangsa, lintas partai, lintas ormas, lintas agama, lintas keyakinan, lintas suku, lintas pulau-pulau yang bertebaran beribu-ribu ini merasakan khuthuwat ishlahiyah dan khuthuwaat ihsaniyah kita.

Al-Musyarokah lit taqwiim wat tasdiid ( المشاركة للتقويم والتسديد )
Musyarokah kita bertujuan untuk berkontribusi dalam meluruskan dan mengakuratkan tujuan hidup dan perjuangan bangsa ini. Agar bangsa ini tidak menyimpang dari tujuan utamanya.
Allah memerintahkan kepada kita agar kita lurus, sesuai dengan fitrah diciptakannya.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (الروم : ٣٠)
Tidak ada bangsa atau umat atau bahkan makhluk yang bisa hidup baik, tenang, tentram dan sejahtera kecuali harus lurus dalam fitrahnya. Nilai-nilai fitrah ini adalah nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Al-Qur’an mengokohkannya dengan nilai-nilai syar’iyyah.

Sebagai kader dakwah kita harus selalu waspada terhadap kemungkinan berbagai penyimpangan, penyimpangan diri dan penyimpangan di tengah-tengah umat dan bangsa ini. Kita harus menjadi unsur muqawwim (yang meluruskan) wat tasdiid (mengarahkan) agar bangsa ini jangan disorientasi.
Seluruh kader dakwah ini harus berusaha dan mampu mengkonsolidasi, mengkoordinasi, dan memobilisasi seluruh potensi positif konstruktif di dalam bangsa ini. Siapapun mereka, partai apapun mereka, ormas apapun mereka dan agama apapun mereka, suku bangsa apapun mereka. Penghuni pulau manapun mereka. Kita harus mampu melihat potensi positif dan konstruktif untuk membangun bangsa ini mencapai kesejahteraan, kedamaian dan kejayaannya.

Selain itu kita harus selalu berupaya untuk mempersempit ruang gerak, perilaku, dan peran potensi negative destruktif. Agar kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak terprovokasi, terpecah belah, terlemahkan, terkecoh , tergadaikan, bahkan terjual oleh potensi negative destruktif itu. Sehingga kehidupan bangsa kita tetap bersatu, damai, tentram dan bersemangat untuk kerja keras mencapai tujuan-tujuan nasional, yaitu menjadi bangsa dan Negara yang diridhai oleh Allah SWT.

Sejak awal, ikhwan dan akhwat digembleng diantaranya untuk misi amar ma’ruf nahi munkar. Dalam musyarokah lit taqwiim wat tasdiid inilah peran amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dimanapun antum berada. Apakah di lembaga legislative, lembaga eksekutif atau yudikatif. Dalam mengelola jama’ah, kehidupan bermasyarakat, lembaga-lembaga social, pendidikan, kebudayaan, dan perekonomian. Tetap taqwim dan tasdiid adalah merupakan refleksi dari misi amar ma’ruf nahi munkar kita.

Minggu, 07 November 2010

DOA PENUTUP MAJELIS

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ ٭﴿ثلاثًا﴾٭


“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
(tiga kali)

Sabtu, 30 Oktober 2010

INTIMDAD AD DA'WAH (امتداد الدعوة)

Agar al-imtidadud da’awi (penyebaran pertumbuhan da’wah) semakin berpengaruh dalam perubahan, pembinaan, dan siyaghatu al-binaai al-ijtima’i (penataan struktur kemasyarakatan), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadu tanzhimi (penyebaran pertumbuhan struktur dakwah). Begitu pula agar struktur kemasyarakatan ini semakin dekat dengan siyaghatu al-binaai al-Islamiy (tatanan struktur masyarakat islami), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadud tanzhimi, memperluas dan memperlebar struktur kita.

Respon-respon structural itu harus ditindaklanjuti dengan al-imtidad at-tarbawi (pengembangan pembinaan). Hajman wa waznan, baik kapasitas ataupun bobotnya. Pengembangan tarbiyah yang sudah merupakan pekerjaan kita sehari-hari dan merupakan basis operasional, harus kita kembangkan kapasitas daya tampungnya. Sudah banyak yang menunggu untuk ditarbiyah. Sekarang tidak terbatas pada level mahasiswa, pemuda, atau akademisi. Para professional, pengusaha, praktisi bisnis, banyak yang menunggu untuk ditangani secara tarbawi. Sehingga kapasitas tarbiyah kita harus meningkat. Efeknya, tuntutan kepada pengembangan manhaj tarbiyah pun harus meningkat.

Pendekatan tarbiyah untuk pemuda dan mahasiswa berbeda dengan pendekatan tarbiyah kepada alim ulama dan mubaligh. Berbeda pula dengan para professional, praktisi bisnis, dan lain-lain. Oleh karena itu, fann at-tarbawi, penguasaan teknis operasional tarbiyah harus semakin meningkat. Agar kapasitas tarbiyah daya tampungnya semakin luas.

Untuk menjaga kapasitas, daya dan bobot tarbiyah, jangan sampai tarbiyah kita berkembang nuansanya menjadi ta’lim, apalagi tabligh. Karena ta’lim itu tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah, tashihul akhlaq, dan tashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujihnya harus sangat menyentuh mafatihul uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufus. Harus membuka kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih menggugah, lebih berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan talqinul ulum.

Lapisan pendukung dan simpatisan dakwah menunggu penanganan kita. Kalau mereka merasakannya sama dengan majelis ta’lim umum, bahkan naudzubillah dirasakan sama dengan dakwahtainment, maka itu tidak akan menghasilkan potensi dakwah. Ini harus ditata. Karena tarbiyah itu merupakan kerja pertama dan utama jama’ah dakwah kita untuk membangun potensi SDMnya.

Walaupun begitu, tarbiyah, sebagai upaya manusia, bisa saja—naudzubillah—terjadi infilath tarbawi/falatan tarbawi. Artinya hasil tarbiyah yang tidak terkontrol. Hasil kerja keras dan pengorbanan kita, bisa saja natijahnya jelek. Tidak saesuai dengan yang kita inginkan. Infilat tarbawi biasanya berbentuk:

1. Munculnya tasyaddud, sikap eksklusif, ekstrim, dan merasa benar sendiri. Ini harus dipantau. Padahal kita memiliki pandangan ijabiyah ru’yah (memandang sisi positif). Pada hakekatnya kebaikan itu ada di mana-mana. Cuma ada yang terkonsolidasi oleh kita dan ada yang belum.
2. Bersikap kamaliyat (perfeksionis). Seolah-olah tarbiyah itu targetnya menciptakan insan malaki, manusia berkualitas malaikat. Ini juga bentuk infilat tarbawi, bentuk penyimpangan.
3. Bentuk infilath tarbawi yang lain adalah juz’iyyah. Hanya menukik di sector tertentu saja. Misalnya ruhiyah saja, sementara fikriyah kurang berkembang. Sehingga pertumbuhan cara berfikirnya ketinggalan. Tidak mampu menghadapi komunikasi fikriyah seperti yang kita jumpai di lapangan setelah musyarokah ini. Atau hanya menukik di bidang fikriyah atau siyasah saja. Padahal yang kita harapkan adalah tarbiyah yang integral dan terpadu.

Selain imtidad tarbawi, pertumbuhan dakwah kita juga menuntut imtidad tsaqofy. Kita harus belajar dan belajar, terus menerus. Kita harus mau membaca dan membaca. Baik bacaan yang tertulis di buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, radio atau TV. Juga membaca kehidupan masyarakat. Ini semua penting. Sehingga tsaqofah kita berkembang, tidak ketinggalan di segala sector.

Kita bergaul dengan mereka yang beraneka ragam keyakinan, beraneka ragam latar belakang ideology, pendidikan, budaya, dan bahkan kepentingannya. Supaya kita tidak gagap, kekurangan modal ketika menghadapi mereka, maka tsaqofah kita harus ditingkatkan. Bagi yang masih mempunyai kesempatan belajar formal, silahkan tingkatkan. Apakah S1, S2, S3, kalau ada S4 kita masuki. Bagi yang pendidikan formalnya sudah tertib, maka informalnya harus iqro’, terus membaca. Memang kalau kita tidak pandai memenej waktu, tazwidul tsaqafah (pembekalan wawasan) ini akan merosot.

Imtidad tsaqofiy—hazman waznan—harus ditingkatkan. Apalagi ajaran Islam mengajarkan bahwa thalabul ‘ilmi itu minal mahdi ilal lahdi. Menuntut ilmu itu dari bauaian hingga liang kubur. Uthlubul ‘ilma walau bi shin. Walaupun di Cina. Padahal waktu itu dakwah Islam belum sampai ke Cina. Tapi kata Rasul carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina.

Jama’ah kita ini, di mana pun, terkenal sebagai madrasah, di mana di dalamnya selalu belajar dan meningkatkan diri, sudah menjadi shibghoh yaumiyah, warna keseharian kita.

Imtidad fanni, penguasaan teknik operasional sesuai bidang dan tugas kerja kita, baik kerja tanzhimiyah atau kerja professional. Penguasaan teknis secara lebih mengerucut sesuai dengan latar belakang tugas kita semakin penting.

Berikutnya adalah imtidad idari. Organisasi kita semakin besar, memerlukan manajerial yang tangguh. Sesuai dengan karakter organisasi jama’ah kita, adalah bukan karakter birokrasi, tapi karakter mutathowwi’in (sukarela). Oleh karena itu kita harus membagi pendelegasian wewenang, tugas-tugas secara lebih merata dan lebih meluas. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandang birokrasi—perusahaan atau pemerintahan—organisasi kita amat bengkak. Karena kita ini tidak ada keterkaitan antara penugasan dengan standar gaji. Kalau pun ada, itu sifatnya hanya ta’awun. Itu pun jauh dari standar untuk ma’isyah. Karena kaitannya bukan ma’isyah, tapi lebih kepada muwasholah (penyambung) saja.

Karakter organisasi yang mutathowwi’in, sukarelawan ini, tugasnya harus terbagi. Kewenangan didelegasikan d I dalam bidang-bidang. Kalau ada pos-pos yang kurang berjalan, kita tingkatkan agar lebih mampu berjalan dan memikul tugas secara lebih baik. Bukan dengan cara ditekel/diambil. Kita berusaha untuk meningkatkan para penjaga pos agar bertugas secara bertahap. Agar terbagi secara baik, terlaksana melalui proses ta’awanu ‘alal birri wat taqwa. Ini karena tanzhim kita adalah tanzhim mutatowwi’in, bukan birokrasi.

Karakter organisasi lain, yang terkenal sibuk dan bekerja adalah ketua dan sekretaris. Di organisasi kemasyarakatan itu hal biasa. Mudah-mudahan, insya Allah, itu tidak akan merembes kepada kita. Kita sudah terbagi, semua bekerja, yang penting adalah tanasuq dzaatii. Singkronisasi antar komponen organisasi dalam bidang tertentu, dan singkronisasi antara bidang dengan bidang yang lain. Setiap potensi kader harus termanfaatkan. Dengan begitu semakin meningkat kapasitas, bobot, dan kompetensinya.

Selanjutnya al-imtidad al-iqtishodiy (perkembangan ekonomi). Sampai sekarang pembiayaan dakwah kita masih dalam level konvensional melalui tadhiyyah dari ikhwan dan akhwat, dari ta’awun ikhowi yang luar biasa. Tentu berkahnya tidak diragukan. Tapi kalau diakaitkan dengan tugas berat ke depan, pengembangan ekonomi dakwah harus semakin professional. Basis ta’awun dan tadhiyyah harus selalu terpelihara, karena itu adalah modal awal. Tapi kalau modal awal itu tidak berkembang menjadi professional, maka akan banyak pembiayaan-pembiayaan dakwah yang tidak tertangani secara konvensional.

Sudah barang tentu, Allahu Ghaniyyun Karim. Semua sumber kekuatan, termasuk sumber ekonomi adalah dari Allah SWT. Tapi Allah memerintahkan kita bekerja. Rasulullah SAW pernah melihat seseorang yang setiap hari nongkrong terus di masjid. Beliau bertanya, “Siapa yang member nafkah dia?”. Sahabat menjawab, “Saudaranya”. Kata Rasulullah: “Saudaranya itu lebih baik dari dia”.

Umar bin Khattab juga melihat fenomena serupa. Ada orang terus menerus berdo’a di masjid. Kata beliau, “Alaa ta’khudzu fa’san, litahtathibu?” Mengapa kamu tidak ambil kampak, agar kamu mencari kayu. “Fa innas samaa la tumthiru dzahaban wa la fidhdhoh”, sesungguhnya langit tidak akan pernah hujan emas atau perak. Allah akan menurunkan rizki—apalagi rizki untuk dakwah, yang penting kita tampil di hadapan Allah dengan kerja keras.

Sudah tentu ini untuk para ikhwan dan akhwat yang mempunyai bakat di bidangnya. Kalau tidak mempunyai bakat jangan di dorong-dorong. Karena ada dua kerugiannya: bisnis rusak, dakwah rusak.

Disinilah kemudian peran takaful-ta’awun. Kita bakatnya berbeda-beda. Ada yang tumbuh dengan bakat ekonomi, bakat politik, bakat budaya, bakat kerja di charity. Dari semua bakat yang tumbuh ini terjadi ta’awun dan takaful, saling menopang.

Rasa berbagi dari ikhwah yang sukses ekonominya kepada ikhwan yang menekuni bidang lain harus ditumbuh suburkan. Supoaya tidak aka nada komentar dari masyarakat, “Kasihan itu ustadz, dibiarin sama ikhwannya” Walaupun ikhwan akhwat itu ikhlas, tekun menekuni bidangnya walaupun tidak berefek secara ekonomi. Tapi masyarakat yang akan berkomentar. Banyakl komentar itu dating kepada saya. Biasanya selagi masih dapat saya tangani, saya akan tangani sendiri. Kalau tidak, biasanya saya transfer ke ikhwan lain. Tapi kita tentu tidak harus menunggu komentar dari masyarakat. Maka, ikhwah harus mempunyai semangat berbagi. Alhamdulillah, beberapa ikhwah yang ekonominya baik, mempunyai daftar kafalah untuk ikhwah lain. Kalau kebiasaan ini ditumbuh suburkan, Insya Allah semakin berkah dakwah kita.

Perkembangan ekonomi ini, baik kapasitas atau bobotnya harus meningkat. Dari dulu sering saya komentari, Alhamdulillah pertumbuhan ekonomi di liqo’at/halaqoh itu berkah. Tapi pasar itu lebih luas dari halaqoh. Ketika dating ke halaqoh ada yang bawa jilbab, yang ini bawa barang lainnya, insya Allah berkah. Tapi untuk ekonomi dakwah itu kurang. Salah satu yang dibangun Rasulullah SAW setelah hijrah itu adalah pasar. Maka semuanya harus seimbang anatara pertumbuhan tanzhimi, tarbawi, tsaqofi, fanni, idari, dan iqtishady.

Berikutnya adalah factor ijtima’i. Komunikasi social kita harus diperluas. Dalam hal komunikasi social, tidak perlu memakai taqwim nukhbawi (ukuran kader). Kita perluas komunikasi social kita, lintas partai, jama’ah, agama, dan etnis. Kita lakukan komunikasi secara luas. Karena keragaman atau pluralitas itu adalah fitrah. Rasulullah SAW juga mengembangkan hubungan secara luas. Bahkan ada komunikasi social yang jarang terungkap dari sirah nabawiyah, yang disampaikan Abu Bakar Shiddiq. Ketika menjadi khalifah pertama, beliau sangat memperhatikan kebijakan dan kebiasaan Rasulullah SAW.

Salah satunya, ternyata Rasulullah SAW melakukan komunikasi yang sangat baik dan akrab dengan seorang Yahudi yang buta matanya. Setiap pagi Rasulullah SAW datang mengantar roti dan susu. Orang Yahudi ini sudah tua dan giginya ompong. Kalau diberi roti yang kering dan ada air, roti itu dicelupkan. Kalau tidak ada, dikunyahkan Rasulullah, setelah itu disuapkan kepada orang Yahudi itu. Peristiwa itu hanya diketahui Abu Bakar.

Begitu Rasulullah wafat, Abu Bakar menggantikannya. Karena Yahudi ini buta, ia tidak tahu pada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menyuapkan roti, Yahudi itu berkata, “Siapa kamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya biasa datang setiap pagi”—maksudnya menemani Rasulullah. Orang Yahudi berkata, “Tapi rasanya tidak begini, dia lebih halus dan lebih hangat”. Abu Bakar pun menangis.Ini adalah komunikasi lintas agama, dan itu merupakan bentuk riil dari rahmatan lil alamin. Sampai orang Yahudi pun menikmati Islam dalam keyahudiannya. Orang Kristen menikmati Islam dalam kekristenannya.

Walaupun entitas non muslim minoritas di Indonesia, tetap harus terjangkau oleh komunikasi social. Di lingkungan umat Islam diperkokoh. Jangan terhambat oleh beda yayasan, beda organisasi, beda partai. Kita harus terbuka. Kalau mereka mulutnya usil kepada kita, kita maafkan. Karena kita kader dakwah. Kadang-kadang ada organisasi yang terkontaminasi oleh kepentingan partai tertentu, lalu usil kepada kita. Maka kita harus lebih dewasa meresponnya. Tidak perlu terprovokasi oleh sifat-sifat yang kita yakini bukan sifat asli dari organisasi itu. Sekedar terkontaminasi, terkotori oleh kepentingan partai tertentu. Kita jangan mudah terpancing untuk kemudian ketus atau menjadi cuek kepda organisasi itu. Mereka tetap ikhwan kita, saudara kita seiman.

Alaqoh ijtima’i diperluas. Agar kehadiran kita diterima secara baik oleh seluruh komponen masyarakat, lintas partai, agama, dan organisasi. Kalaupun masih ada resistensi, itu bagian kecil dan biasanya berwarna ideologis politik.

Dalam berkomunikasi, prinsipnya, “sayyidul qaumi khadimuhum”, selalu berkhidmat. Dalam Islam, khidmat itu sampai ke tingkat “tabassumuka fi wajhika li akhika laka shadaqah”. Murah senyum, ramah, santun, itu merupakan modal dasar bagi komunikasi social kita.

Ini bagian dari tanhidiyah kita menuju mihwar daulah. Agar tingkat resistensi kehadiran kita di tengah-tengah pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kecil. Karena masyarakat melihat realitas fenomena kesantunan, keramahan, dan keterbukaan kita dalam komunikasi, insya Allah resistensi itu semakin mengecil, ia akan selalu ada, tapi akan bisa kita kurangi.

Berikutnya. Imtidad siyasi. Ruang lingkup komunikasi politik harus diperluas. Kemampuan berkomunikasi politik sangat besar pengaruhnya. Komunikasi politik itu mencari kemungkinan-kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. Mencari titik temu bersama. Kita kelola dengan baik, supaya tidak ada benturan yang tidak perlu. Kita memerlukan peluang dan ruang pertumbuhan. Untuk menjamin keamanan, ruang dan peluang pertumbuhan, kita harus mengurangi komplikasi-komplikasi politik dengan pihak manapun agar kita mencapai posisi yang aman, bahkan sampai ke posisi dominan. Peluang-peluang kita terbuka banyak. Itu harus kita manfaatkan untuk lebih mengokohkan dakwah dan memperbesar dakwah.

Terakhir, imtidad i’lami. Pertumbuhan di sektor media massa. Memang beberapa factor yang mencuat dan dianggap kendala adalah pembiayaan. Tapi ‘ala kulli hal, masalah i’lam (media) ini perlu dikemas secara baik. i’lam yang paling mendasar dalam gerakan dakwah ini adalah performance dari setiap diri kita. Setiap kita harus memancarkan sum’ah thayyibah (aroma yang baik) bagi jama’ahnya. Itulah modal dasar i’lam.

Di tahun 50-an Sayyid Qutb pernah didatangi banyak aktivis Islam. Mereka mengeluh tentang i’lam. Ada yang berbicara kurang modal, ada yang berbicara masalah keamanan. Ada yang mengeluh majalah-majalahnya sering dibredel, diberangus, dicabut izinnya, atau kantornya digerebek. Sayyid Qutb berkata, “I’lam asasi adalah anfusuhum”. Media utama adalah diri kader itu sendiri.

Mrengelola i’lam ini terkadang gamang. Apakah ini tidak termasuk riya, apa tidak merusak zuhud kita, merusak tawadhu kita?

Kalau kita mengumumkan hal-hal yang terkait dengan pribadi, milik kita atau orang lain secara pribadi, itu baru bermasalah. Tapi kalau terkait dengan kepentingan public, yang kita kerjakan, itu justru diperlukan. Untuk merangsang orang lain mengikuti, membantu, dan mendukungnya. Sikap-sikap kita yang membela umat harus ditampilkan. Bahkan itu bisa wajib, karena mendukung eksisistensi dakwah kita, pertumbuhan dakwah kita.

Faktor-faktor tadi secara simultan bergerak, tumbuh, mutawazin, berkembang. Insya Allah dakwah ini bukan hanya berkembang, tapi pengaruhnya, suaranya mudah didengar. Komentarnya mudah diikuti. Kritiknya mudah diterima. Karena kapasitas dan bobot tanzhimi, tarbawi, tsaqofy, fanni, idari, iqtishady, ijtima’i, siyasi, dan i’lami terkelola, terkemas secara baik, simultan dan seimbang.

Insya Allah ini akan menjadi modal agar dakwah dan jama’ah kita berpengaruh. Jika berbicara didengar, Jika bertindak terasa.

Insya Allah jama’ah dakwah kita semakin berbobot. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan taufiq, ri’ayah, inayah. Memberikan tamkin kepada kita. Sehingga semakin mendekatkan diri kita kepada ridha Allah sampai pada li i’lai kalimatillahi hiyal ‘ulya.

TAMAYYUZ


Ikhwan wa akhwat fillah, saat ini gerakan dakwah kita memiliki rakizah siyasiah, yakni stressing atau titik tekan pada bidang politik. Hal ini perlu saya garis bawahi, mengingat ada beberapa hal yang kadang-kadang menyebabkan kita mengalami keterjebakan situasional. Misalnya ada yang mengatakan atau menganggap kita masuk ke dalam mihwar siyasi (era politik).

Padahal dalam manhaj kita, hanya dikenal mahawir arba’ah atau empat era yang di dalamnya tidak ada mihwar siyasi (era politik) sebagaimana halnya tidak ada mihwar tarbawi (era pembinaan). Keempat mihwar dakwah tersebut ialah mihwar tanzhimi (structural), mihwar sya’bi (masyarakat), mihwar muassasi (kelembagaan) dan mihwar daulah (negara). Di setiap mihwar dari empat mihwar dakwah tersebut terkandung amal siyasi (aktivitas politik) dengan tingkat persentase yang berbeda-beda, karena amal siyasi adalah bagian tidak terpisahkan dari amal da’wi (aktivitas dakwah) kita.
Ikhwah dan akhwat fillah, seringkali dalam menghadapi situasi, kondisi-kondisi, aksi-aksi dan tantangan-tantangan tertentu kita lupa untuk merujuk atau kembali ke manhaj (pedoman). Padahal penguasaan kita akan manhaj, insya Allah cukup baik, apakah itu di ruang lingkup manhaj asasi, yakni Alquran dan Sunah ataupun di ruang lingkup produk ijtihad jama’ah kita yang tentunya juga bersumber dari Alquran dan Sunah. Langkah-langkah perjuangan dalam bentuk manhaj amali (pedoman aktivitas) tersebut cukup untuk dapat merespon dan mengantisipasi segala perkembangan. Hanya saja kita seringkali lupa merujuk ke manhaj tersebut. Boleh jadi karena keterdesakan kita di lapangan atau kesibukan yang demikian padat.

Agar lebih jelas, saya ingin sedikit mengulang penjelasan-penjelasan tentang stressing di masing-masing mihwar. Pada mihwar tanzhimi, rakizatul amal (stressing kerja) kita berupa bina syakhshiyah islamiah dan syakhshiyah da’iyah atau mewujudkan sosok pribadi islami dan pribadi da’iah. Juga bagaimana kita berusaha mengokohkan mishdaqiyah syakhsyiah islamiyah dan mishdaqiyah syakhshiyah da’iyah atau kredibilitas pribadi islami dan kredibilitas pribadi da’iyah.

Di era atau mihwar tanzhimi tersebut yang selalu kita ukur dan evaluasi adalah tingkat pertumbuhan kader dalam arti pertumbuhan dan perkembangan kader-kader kita secara internal. Bahkan ketika kita mengukur, mengevaluasi diri dari segi eksternal, yang kita lihat pun sejauh mana pertumbuhan calon kader yang dapat direkrut menjadi kader. Jadi di masa itu orientasinya adalah perekrutan, pembinaan, pertumbuhan dan perkembangan kader-kader dakwah.

Kemudian dakwah kita berkembang dan memasuki mihwar atau era sya’bi. Di era ini kita mulai ber-sya’biah atau mensosialisasikan siri, kader-kader dan program-program dakwah kita di masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai di mihwar ini adalah mishdaqiyah syakhshiyah ijtima’iyah atau kredibilitas sebagai pribadi yang diterima di masyarakat. Kita berupaya keras agar kader-kader kita memiliki kredibilitas tersebut. Di mihwar sya’bi ini kita bukan hanya menerapkan tolak ukur kuantitas berupa pertumbuhan dan perkembangan kader, melainkan juga sejauh mana kader-kader yang kita miliki memberi pengaruh di masyarakat.

Ikhwah dan akhwat fillah, di mihwar tanzhimi kita sudah mulai melaksanakan program-program yang merupakan mukadimah atau pengkondisian ke arah mihwar sya’bi. Begitu pula di mihwar sya’bi, kita sudah melakukan langkah-langkah pendahuluan yang sekaligus merupakan kondisioning untuk menuju mihwar muassasi.

Alhamdulillah, Allah Ta’ala memberikan peluang yang mempercepat masuknya kita ke mihwar muassasi. Kita memang sudah membuat langkah-langkah mukadimah menuju mihwar muassasi berupa pendirian yayasan, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan lain sebagainya. Namun perubahan-perubahan cepat yang terjadi yang antara lain dipicu dan dipacu oleh globalisasi ekonomi, politik dan lain-lain serta krisis ekonomi—dan tentu saja sebab utamanya adalah tadbirullah (rekayasa Allah), membuat peluang untuk memunculkan diri dalam bentuk kelembagaan formal terbuka lebar. Maka mulailah kita memasuki mihwar muassasi dengan menampilkan diri sebagai Hizbul ‘Adalah (Partai Keadilan). Kita menyebutnya mihwar muassasi dan bukan mihwar siyasi, walaupun memang dalam mihwar muassasi sebagaimana halnya di mihwar tanzhimi dan sya’bi terkandung aspek-aspek siyasi. Dan karena di mihwar muassasi ini sudah menyentuh aspek kelembagaan politik, maka persentase amal siyasinya pun meningkat.

Upaya memantapkan langkah-langkah secara struktural dan operasional di mihwar muassasi ini juga akan menyentuh sektor amal siyasi. Sekali lagi saya tegaskan bahwa amal siyasi merupakan sektor. Sebab bila kita mengatakan mihwar kini sebagai mihwar siyasi berarti kita terjebak ke dalam amal juz’i dan sekaligus harakah juz’iah, seperti halnya kita tidak bisa mengatakan sebagai mihwar tarbawi agar tidak terjebak juga pada ke-juz’iyah-an atau keparsialan. Jadi setiap mihwar memiliki beragam amal sesuai dengan ke-syumuliah-an dan ke-takamuliah-an amal Islam.

Ikhwah dan akhwat fillah, karena itu di setiap mihwar dibutuhkan adanya ke-tawazun-an antar amal. Ke-tawazun-an adalah proporsionalitas dalam pemberian peran-peran, pendayagunaan dan pengerahan potensi-potensi SDM. Kata proporsionalitas menunjukkan adanya ketepatan atau akurasi penyaluran potensi sesuai dengan tuntutan medan dan situasi-kondisi serta aksi-aksi yang kita lakukan.

Oleh karena itu, ikhwah dan akhwat fillah, betapa pun kita dituntut untuk merespon situasi dan kondisi saat ini dengan proporsionalitas yang menuntut porsi lebih di bidang politik, tetap saja kita tidak boleh mengabaikan amal tarbawi (pembinaan), amal tsaqafi (penambahan wawasan), amal khairi (sosial), amal ijtima’i (kemasyarakatan) dan lain-lain. Masalah stressing atau penekanan di sektor tertentu pada moment tertentu adalah hal yang biasa. Misalnya di bulan Ramadhan kita meliburkan halaqah-halaqah tarbawi internal, karena kita ingin merespon amal khairi dan taabbudi (ibadah) di bulan mulia tersebut. Kita berkonsentrasi meningkatkan tadayyun sya’bi (keberagamaan masyarakat) karena terdapat katsafah furshah (peluang yang luas) di bulan Ramadhan.

Jadi bila kini menjelang pemilu kita merespon tuntutan amal siyasi yang membesar, itu merupakan masalah proporsionalitas tanpa harus mengabaikan bidang-bidang lain. Sehingga memadatnya aktivitas politik kita menjelang pemilu tidak berarti kita terjebak dalam mihwar politik. Mihwar kita adalah mihwar muassasi, artinya secara kelembagaan kita mulai menampilkan diri seluruh batang tubuh ke permukaan dengan nama Hizbul ‘Adalah.

Ikhwah dan akhwat fillah, mihwar muassasi ini akan terus berkembang ditandai dengan bertambahnya muassasah atau lembaga infrastruktur sosial politik kemasyarakatan baik yang kita bangun sendiri atau yang kita warnai (muassasah yang dibangun oleh ikhwah seperjuangan dalam Islam, yaitu ormas atau parpol lain), dan nantinya juga kita bisa melebarkan sayap dengan memasuki secara langsung lembaga-lembaga suprastruktur dan infrastruktur kenegaraan. Hal ini merupakan bagian dari mihwar muassasi dan merupakan langkah-langkah awal yang akan menjembatani masuknya kita, Insya Allah, mustaqbalan (di masa mendatang) ke dalam mihwar daulah.

Hal penting yang harus kita perhatikan di dalam mihwar muassasi ialah bahwa kita bukan sekadar memunculkan diri dalam bentuk kelembagaan partai, melainkan juga mengupayakan bagaimana aqidah, fikrah dan manhaj kita mewarnai infrastruktur sosial politik di masyarakat atau infrastruktur kenegaraan dan kemudian akhirnya supra struktur kenegaraan. Lembaga infrastruktur dan suprastruktur negara akan kita masuki jika tingkat proporsi penyebaran SDM dan pengaruh kita di ruang lingkup kelembagaan infrastruktur kemasyarakatan atau sosial politik sudah memadai. Barulah kemudian kita melangkah ke dalam mihwar daulah.

Dalam hal ini ingin saya ingatkan bahwa setiap mihwar memiliki perimbangan proporsi amal yang berbeda-beda dan dapat berubah-ubah. Hendaknya hal ini tetap dalam ruang lingkup ke-tawazun-an dan keterpaduan amal islami.

Tamayyuz
Langkah-langkah amal kita harus mutamayyiz. Kita bergaul bersama, berpacu, namun nahnu mutamayyyizun (kita berbeda). Kata tamayyuz mengandung pengertian keberbedaan yang mengandung keistimewaan. Jadi bukan asal beda, melainkan mutamayyiz ’an ghairina, berbeda yang mengandung keistimewaan dari yang lainnya. Kita mengetahui slogan yang dikumandangkan oleh Syahid Sayyid Quthb, yaitu yakhtalithun walakin yatamayyazun, kita berbaur, bergaul, bersilaturahmi, ber-tawashau bil haq, ber-tawashau bis shabri, tawashau bil marhamah dengan seluruh lapisan umat, namun nahnu mutamayyizun, kita berbeda. Tamayyuz—kespesifikan ini penting agar menjadi arahan yang memudahkan masyarakat untuk mendukung kita.

Pertama-tama tamayyuz kita adalah dalam ruang lingkup SDM. Kita harus mutamayyiz fii rijal. Kita harus sanggup menampilkan tamayyuz fii rijal, keistimewaan SDM atau personil.

Ikhwah dan akhwat fillah, dalam memasuki mihwar muassasi yang kedudukannya merupakan langkah-langkah mukadimah menuju mihwar daulah, rijalud da’wah atau SDM dakwah kita seyogianya sekaligus juga memiliki bobot dan bakat yang akan dikembangkan menjadi rijalud daulah atau sosok negarawan yang memiliki visi kenegaraan yang baik.

Kita sudah memiliki kader-kader yang berbasis akidah, fikrah dan minhaj yang baik. Kini tinggal berupaya bagaimana kita mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan diri secara atraktif. Bukan berarti kita riya, melainkan semata-mata dalam kerangka ‘isyhadu bi anna muslimin”, saksikan kami ini orang-orang Islam. Kita mencoba memperjelas, mengedepankan tampilan produk islamisasi rijal kita.

Paling tidak ada lima kespesifikan, keunikan atau keistimewaan yang—Alhamdulillah—dimiliki oleh jamaah kita, yaitu:

1. Mutamayyiz fii rijal (keistimewaan SDM)
2. Mutamayyiz fi adaa (keistimewaan penunaian tugas)
3. Mutamayyiz fii intaj (keistimewaan sentuhan produk)
4. Mutamayyiz fii khidmah (keistimewaan pelayanan)
5. Mutamayyiz fii muamalah (keistimewaan bermasyarakat)

Keistimewaan yang pertama ialah mutamayyyiz fii rijal atau keistimewaan personil dakwah. Keistimewaan personil dakwah atau SDM ini dilandasi oleh tamayyuz fii aqidah, fikrah, minhaj dan akhlaq. Modal utama berupa keistimewaan dalam akidah, fikrah, minhaj dan akhlak sangat berdayaguna dalam membangun mishdaqiyah syakhshiayah da’iyah (kredibilitas pribadi muslim dan da’iyah).

Namun keistimewaan SDM ini harus ditunjang oleh tamayyuz fii adaa atau keistimewaan dalam penunaian tugas. Jadi kita harus mutamayyiz fii adaa. Dalam menunaikan tugas, kita memiliki modal berupa motivasi yang tinggi yang dibangun oleh aqidah kita. Kemudian idealisme yang besar yang dibangun oleh fikrah kita dan langkah-langkah kerja yang tertib teratur yang dibangun oleh manhajiah kita.

Kesemuanya itu menjadi modal dalam menunaikan ruhul badzli wa tadhhiyah karena dilandasi niat yang khalishan li wajhillah ta’ala. Ruhul badzli wa tadhhiyah adalah modal motivasi, militansi dan vitalitas stamina yang dibangun oleh akidah, fikrah, akhlak dan semangat ibadah kita. Kesemuanya itu menjadi modal utama dalam tamayyuz fii adaa yang kemudian ditopang pula oleh kemampuan dalam takhtit, perencanaan/programming dan idariah/manajemen.

Kelengkapan modal tersebut membuat kita mutamayyiz fi adaa, istimewa dalam penunaian tugas. Kita tidak menjadi orang-orang yang menunaikan tugas secara infiradiyah, sekenanya, seketemunya dan seadanya di lapangan, melainkan benar-benar mutamayyiz fii adaa karena di back up oleh faktor-faktor mental, moral dan ideal serta faktor-faktor konsepsional, berupa perencanaan dan manajemen yang baik. Jika kita berhasil menampilkan adaa’ul wazhaif (penunaian tugas secara baik), insya Allah keistimewaan kita akan muncul di tengah masyarakat.

Apalagi bila diikuti dengan keistimewaan produk-produk yang kita hasilkan yang menimbulkan kesan dan pengaruh yang kuat di masyarakat karena mau tidak mau masyarakat memang menilai dan mengukur masalah produktivitas.

Karena itu, keistimewaan yang ketiga yang harus kita miliki adalah tamayyuz fii intaj. Program-program yang kita gulirkan harus terasa hasilnya di masyarakat. Sudah tentu yang dimaksudkan terasa, tidak selalu harus dalam bentuk produk materi. Bahkan sebagian besar yang kita miliki bukan berupa produk materi, melainkan pendekatan ilmi, shihhi, ijtima’i, ma’nawi dan sebagainya

Ikhwah dan akhwat fillah, sudah sewajarnyalah masyarakat mengharap dan menunggu-nunggu produk-produk nyata yang dihasilkan oleh parpol-parpol dan kelompok-kelompok organisasi yang menjamur belakangan ini. Oleh karena itu kita harus mampu menyajikan produk yang mutamayyiz kepada masyarakat jika ingin mendapatkan sambutan publik yang baik.
Tamayyuz dalam produk bukan diukur dari segi kuantitasnya, melainkan dari segi kualitas sentuhannya yang terasa di hati masyarakat.

Ikhwah dan akhwat fillah, tamayyuz yang berikutnya yang juga harus kita miliki ialah tamayyuz fii khidmatan lis muslimin (keistimewaan dalam pelayanan kepada muslimin), khidmatan lin naas (pelayanan kepada manusia), sehingga kita akan tampil mutamayyiz fii khidmah (istimewa dalam pelayanan). Ada pepatah Arab berbunyi, “An-naas yuwalluna man yakhdimuhum,” (manusia akan memberikan wala atau loyalitas kepada orang-orang yang melayaninya). Karenanya ada juga pepatah lain, “Sayyidul qaum khaadimuhum” (Pemimpin suatu kaum [bangsa] adalah pelayan bagi kaum tersebut).

Bila kita tampil sebagai lembaga yang paling piawai memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka ia pun akan mendapatkan sambutan lebih dibanding dengan yang lain. Pelayanan kepada masyarakat tidak harus selalu diartikan pelayanan fisik, materi yang bersifat langsung, simbolik, atraktif dan promotif, misalnya pemimpin datang memberikan bantuan materi kepada bawahannya. Hal itu hanya merupakan sebagian kecil dari ruang lingkup pelayanan kepada masyarakat. Memang hal itupun perlu juga sekali-kali kita lakukan, namun yang lebih penting adalah bagaimana kerja keras kita, mengupayakan terjaminnya kemaslahatan masyarakat dalam dua hal yang digariskan Allah dalam Q.S. Quraisy: (1) Terjaminnya masyarakat dari kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang asasi أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ (terbebasnya dari kelaparan) dan (2) Kebutuhan akan rasa aman atau terbebas dari ketakutan, ketidakpastian, intimidasi, kediktatoran dan kezhaliman (وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ).
Kedua hal tersebut juga berkaitan dengan لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ atau masalah qalb (hati) dan وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ atau berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan jasadiyah. Ruang lingkup pelayanan kita harus meliputi kedua aspek tersebut.

Dalam masalah pelayanan ini, hal yang perlu saya garis bawahi bahwa itu meliputi garis vertikal ke atas, yakni upaya kita mempengaruhi decision making dalam hal politik, hukum dan perundang-undangan dengan cara aktif memberikan usulan, kritik dan koreksi. Kemudian juga meliputi garis vertikal ke bawah, yakni upaya kita menggulirkan produk-produk dalam ruang lingkup ijtima’iyah, khairiyah, ilmiyah, tsaqafiyah, shihhiyah dan fanniyah di tengah masyarakat.

Produk-produk dalam ruang lingkup vertikal ke bawah akan menjadi basis dari upaya meluncurkan produk siyasah wal qanun ke atas. Dan produk siyasah wal qanun ke atas akan memayungi dan melindungi segala aktivitas pelayanan kita ke bawah. Artinya segala aktivitas kita yang menyebar di masyarakat perlu mendapat perlindungan politik dan hukum. Sebaliknya segala aktivitas yang berkaitan dengan masalah politik dan hukum perlu mendapatkan basis berupa produk dan kerja nyata kita di bidang ijtima’iyah, khairiyah, ilmiyah, fanniyah, iqtishadiyah dan sebagainya.

Akhirnya, ikhwah dan akhwat fillah, tamayyuz kelima yang harus kita miliki adalah tamayyuz fii muamalah. Cara agar kita tampil beda dan istimewa dalam bermuamalah (bergaul) adalah bila kita bermuamalah bil ihsan. Allah berfirman,

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلاَّ الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).

Dalam hadits juga disebutkan bahwa Allah menyuruh kita berbuat ihsan dalam segala urusan. Yang dimaksud dengan ihsan adalah kebaikan-kebaikan, apakah berupa kebaikan materi, sulukiyah, maupun sikap dan perilaku. Dalam menyalurkan kebaikan-kebaikan tersebut hendaknya kita membingkainya dengan akhlaqul karimah. Sebab betapa pun besar kebaikan yang diberikan, jika cara memberikannya tidak disertai dengan adab dan kesantunan, maka ia akan lebih dirasakan sebagai penghinaan dan bukan kebaikan.

Inti muamalah adalah bagaimana kita menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat dengan dibingkai akhlaqul karimah. Maka masyarakat pun akan melihat bahwa kita mutamayyiz fii muamalah, istimewa dalam berinteraksi di masyarakat. Sebab upaya menanamkan pengaruh di masyarakat, pada hakikatnya adalah bagaimana kita merebut hati orang. Selain berupaya membuka hati mereka melalui program-program yang kita selenggarakan dengan baik, juga harus dengan kekuatan ta’abudi dan taqarrub kita kepada Allah, karena miftahul qulub, kunci hati ada di tangan Allah. Dengan kekuatan ikhtiar dan doa kita berharap kepada semoga Allah membukakan hati-hati mereka.

Wallahu a’lam

Oleh Ust Hilmi Aminudin (intimagazine.wordpress.com)

Selasa, 20 Juli 2010

RISALAH DZIKIR "MA'TSUROT"


Taqdim

Ini merupakan rangkaian ta’limat ringkas yang saya himbau dari risalah Al-Ma’tsurat oleh Al-Ustadz Asy-Syaikh Hasan Al-Banna-semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya-dimana rangkaian ta’limat ini akan menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dimengerti, serta membantu para pembaca untuk memahami makna dan maksudnya. Saya juga telah men-takhrij hadits-haditsnya dari kitab aslinya., yakni dari kitab Al-Jami’ Ash-Shahih oleh Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, kitab Al-Jami’ Ash-Shahih oleh Imam Abil Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, kitab As-Sunan oleh Imam Abi Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasai, kitab As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdiurrahman Ad-Darini, kitab Amalul Yaumi wal Lailah oleh Imam Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ishad Ad-Daniri yang terkenal dengan nama Ibnus Sunni, serta kitab-kitab lainnya.

Saya benahi kekeliruan, kemudian saya modifikasi, yang mana ini tidak terdapat dalam naskah Al-Ustadz Hasan Al-Banna yang beliau tulis dengan tangan beliau sendiri.

Dengan begitu saya berharap bahwa saya telah melakukan kewajiban terhadap hadits-hadits Nabi, terhadap Al-Ustadz Hasan Al-Banna, dan para pembaca ma’tsuratnya.

Ridhwan Muhammad Ridhwan

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kami, Nabi Muhammad saw. Beliau adalah sebaik-baik ahli dzikir, pemimpin orang-orang yang bersyukur, imam para rasul, penutup para nabi, dan panglima orang-orang terbaik. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada keluarga, seluruh sahabat, dan orang-orang yang menapaki jalannya, hingga hari kiamat.

1. Dzikir di Setiap Kesempatan


Ketahuilah wahai saudaraku-semoga Allah menganugerahkan taufiq-Nya kepada kita-bahwa setiap manusia itu mempunyai tujuan asasi dalam kehidupannya, seluruh pemikiran diarahkan kesana, dan ke sana pula tertuju semua amal perbuatan serta semua angan dan cita-citanya. Tujuan asasi itulah yang banyak orang menamakannya dengan al-matsalul a’la (nilai yang tinggi). Kapan saja tujuan ini meninggi dan melambungkan nilainya, maka akan naik pula amal perbuatan yang tinggi dan agung, jiwa pemiliknya akan terformat dengan sebuah bentuk keindahan ruhani dan selalu meniti menuju kesempurnaan, sampai akhirnya tergapai apa yang diinginkan.

Islam-yang datang untuk mengislahkan, mentazkiyah jiwa-jiwa manusia, dan mengajaknya ke puncak kesempurnaan yang memungkinkan untuk diraih-telah menjelaskan kepada sekalian manusia akan tujuan yang mulia dan al-matsalul a’la- Al-matsalul a’la ini tiada lain adalah “men-taqdis-kan Allah jalla wa a’la.” Al-Qur’an sendiri mengatakan,

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ

“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu (Adz-Dzariyat: 50)

Jika anda mengetahui hal ini wahai saudaraku, janganlah mersa aneh jika seorang muslim menjadi hamba yang selalu berdzikir kepada Allah setiap waktu dan kesempatan. Jangan heran jika ia selalu berusaha mewarisi dari Rasulullah-dan beliau adalah hamba yang berma’rifat kepada Rabbnya-lafal yang indah, memiliki kedalaman makna dari dzikir, do’a, syukur, tasbih, dan tahmid dalam setiap waktu dan kesempatan, baik dzikir yang kecil maupun yang besar, atau bahkan yang kelihatan remeh. Karena Rasulullah saw. Selalu berdzikir dalam setiap kesempatan yang dimilikinya. Jangan heran jika kami menuntun Ikhwanul Muslimin agar berittiba’ dan beruswah kepada sunah Nabi dengan cara menghafal lafal-lafal dzikir ini dan bertaqarrub kepada Allah dengannya.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)

2. Keutamaan dzikir dan Orang-orang yang Melakukannya

Terdapat perintah yang memperbanyak dzikir, terdapat penjelasan akan keutamaannya dan keutamaan orang-orang yang melakukannya pada banyak ayat dan hadits Rasulullah saw. Cukuplah bagi anda mengetahui puncak martabat orang-orang yang berdzikir itu pada firman Allah berikut;

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin laki-laki dan perenpuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama kepada Allah, Allah telah menyediakan unyuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

Dan Allah telah memerintahkan kaum mukminin untuk banyak berdzikir dalam firman-Nya;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا . وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah sdengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al-Ahzab: 41-42)

Terdapat banyak hadits tentang keutamaan dzikir.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Rasulullah bersabda meriwayatkan dari Rabbnya, dimana Allah swt. Berfirman, “Aku terserah kepada persangkaan hamba-Ku terhadap Ku, jika ia menginat-Ku (baca: berdzikir) dalam diri-Nya, aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku didalam sebuah jamaah, aku akan menyebutnya di dalam jamaah yang lebih baik dari mereka.” (Muttafaqun ‘Alaihi dari hadits Abu Hurairah)

وَقَالَ الْآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَمُرْنِي بِأَمْرٍ أَتَثَبَّتُ بِهِ فَقَالَ لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا بِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Dari Abdullah bin Yusr ra. Bahwa ada seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam telah banyak ada padaku, maka beritahulah kepadaku dengan sesuatu yang aku berpegang teguh dengannya.” Rasulullah bersabda, “Hendaklah lisanmu selalu basah karena berdzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan)

3. Adab Berdzikir

Ketahuilah wahai saudaraku, yang dimaksud dzikir di sini bukanlah sebatas dzikir ucapan, tetapi taubat itu merupakan dzikir, tafakkur itu dzikir, menuntut ilmu itu dzikir, mencari rezeki-jika niatnya baik-jiga termasuk dzikir, dan segala sesuatu yang di sana ada upaya taqarrub kepada Allah dan anda selalu waspada akan pengawasan-Nya kepada anda, maka itu adalah dzikir. Oleh karena itu orang yang arif adalah orang yang bisa berdzikir di setiap waktu dan kesempatan.

Orang yang berdzikir itu harus ada bekas dan pengaruhnya dalam hati, dengan cara menjaga adab-adabnya. Karena kalau tidak, dzikir berupa kata-kata yang terucap tanpa punya makna dan pengaruh. Para ulama banyak menyebut adab-adab dan tata cara berdzikir. Namun yang terpenting dan paling utama untuk dijaga dan diperhatikan adalah:

1. Khusyu’, menghadirkan hati dan pikiran akan makna-makna lafal yang terucap, berusaha terwarnai olehnya, serta berusaha menetapi maksud dan tujuannya.

2. Merendahkan suara sebisa mungkin, dengan konsentrasi yang penuh dan iradah yang sempurna, sehingga tidak mengganggu yang lain. Terkait dengan ini, Allah swt. Berfirman;

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 205)

3. Sesuai dengan jamaah (irama dan suaranya)
, jika kebetulan dzikirnya itu bersama jamaah. Usahakan agar tidak mendahului, terlambat, atau mengungguli bacaan mereka. Bahkan manakala ia datang sementara mereka telah memulai, hendaklah ia memulai dengan bacaan mereka, kemudian mengqadha’ apa yang belum dia baca setelah berakhir. Jika ia terlambat di tengah-tengah mereka membaca dzikir, hendaklah ia baca apa yang telah lewat dan dengan menyusul bacaan mereka. Hal ini agar tidak menyelewengkan bacaan atau mengubah tatanan. Dan yang demikian ini kalau dilanggar hukumnya haram.

4. Bersih pakaian dan tempat
, memperhatikan tepat-tempat yang terhormat dan waktu-waktu yang sesuai. Hal ini dimaksudkan agar semakin menambah pengkristalan iradah, kejernihan hati, dan ketulusan niat.

5. mengakhiri dengan penuh khusu’ dan adab
, menjauhi kesalahan dan main-main, yang hal itu bisa menghilangkan faedah dan pengaruh dzikir.

Jika seorang memperhatikan adab dan tata krama ini, niscaya ia akan bisa mengambil manfaat dari apa yang ia baca atau akan menjumpai pengaruh dan kelezatan dalam hatinya, mengais cahaya untuk ruhaninya, dan kelapangan dalam dadanya dengan limpahan (rahmat) dari Allah ta’ala, insya Allah.

4. Dzikir Berjamaah


Terdapat banyak hadits yang mengisyaratkan disunahkannya dzikir berjamaah. Dalam hadits yang ditriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah saw. Bersabda;

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum duduk-duduk (untuk) berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat mengitari mereka, rahmat memayunginya, ketenangan turun kepadanya, dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya.” (Sunan Abi Daud)

Dan anda akan menjumpai banyak hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. Keluar untuk shalat berjamaah, sementara mereka berdzikir di masjid. Lalu beliau memberikan kabar gembira dan tidak melarang mereka (melakukan hal itu).

Berjamaah dalam ketaatan itu pada dasarnya dianjurkan apabila membuahkan banyak manfaat, seperti: bersatunya hati, menguatkan ikatan, menggunakan waktu untuk sesuatu yang bermanfaat, dan mengajarkan kepada orang awam yang belum baik dalam belajar serta mengumandangkan syi’ar Allah swt.

Memang berjamaah dalam dzikir itu dilarang, jika dengannya mengakibatkan hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti mengganggu orang shalat, senda gurau dan tertawa, menyelewengkan lafal, mengungguli bacaan yang lain, atau yang sejenisnya. Maka ketika terjadi demikian, dzikir secara jama’i dilarang karena ada kerusakan-kerusakan ini, bukan karena jamaahnya itu sendiri. Khususnya jika dzikir secara jama’i itu dilakukan dengan lafal-lafal dzikir yang ma’tsur dan shahih, sebagaimana dalam wadzifah ini. Maka alangkah baiknya para aktivis Ikhwan sering berkumpul untuk membaca pada pagi dan sore di tempat-tempat berkumpul mereka, atau di masjid, dengan tetap menjauhi hal-hal yang dilarang oleh syari’at. Bagi siapa saja yang tidak bisa berjamaah, hendaknya membaca sendiri, jangan sampai meninggalkannya sama sekali.

2) Diantara hadits Abu Said Al-Khudzri ra., ia berkata,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى حَلْقَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثًا مِنِّي
وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ

“Muawiyah keluar (menuju) sebuah halaqah di masjid. Ia berkata, ‘Apa yang membuat kalian duduk (disini)?’ Mereka menjawab, ‘Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah.’ Muawiyah berkata, ‘Demi Allah, kalian tidak duduk di sini untuk hal itu.’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak duduk disini melainkan untuk itu (berdzikir).’ Muawiyah berkata, ‘Saya tidak meminta kalian bersumpah karena ketidakpercayaan saya kepada kalian. Dan tidak ada seorang pun yang setara denganku dimata Rasulullah saw., yang lebih sedikit dariku dalam menukil hadits dari beliau. Dan sesungguhnya Rasul Allah saw. Keluar (menuju) ke sebuah halaqah dari para sahabat, seraya bertanya, ‘Apa yang menjadikan kalian duduk di sini’ Mereka menjawab, ‘Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah, memanjatkan puji dan syukur kepada-nya, karena Dia telah memberikan hidayah kepada kami.’ Rasulullah bersabda, ‘Saya tidak meminta kalian untuk bersumpah karena ketidakpercyaanku kepada kalian. Namun Jibril telah datang kepadaku seraya memberitahukan bahwa Allah membanggakan kalian di depan malaikat.’” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i)

Khatimah

Amma Ba’du,

Ikhwanul Muslimin mempersembahkan wadzifah ini tidak hanya diperuntukkan bagi mereka saja, tetapi juga untuk seluruh kaum muslimin. Mudah-mudahan ia dapat membantu mereka dalamtaat kepada Allah swt. Dibaca di waktu pagi, dari shubuh hingga zhuhur; dan sore hari, dari Ashar hingga ba’da isya’, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Barangsiapa melalaikannya, hendaklah tidak meninggalkan sebagiannya, agar tidak terbiasa mengabaikanya.

Sedangkan wirid-wirid Al-Qur’an, untuk dibaca siang dan malam, juga adzkar yang lain, dibaca pada waktunya yang tepat.

Kita memohon kepada Allah-untuk kami dan mereka semuanya-taufik dan hidayah-Nya. Kami juga memohon kepada Allah untuk mereka, kiranya kebaikan do’a-do’a mereka tidak melalaikan kami.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

Pertengahan Ramadhan, 1355 H

Hassan Al-Banna

Bagian pertama

AL-WADZIFAH


أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan syetan yang terkutuk.” 1)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ . إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ . اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasasi hari pembalasan. Hanya kepada-Mulah kami menyembah dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalannya orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepadanya; bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” (Al-Fatihah 1-7)2)

بسم الله الرحمن الرحيم . الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ . الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ . وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ . أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

‘Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur’an) itu tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menunaikan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang telah mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5)3)

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ . لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ . اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آَمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Hidup Kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Siapakah yang dapt memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan mengetahui apa-apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi dan Allah tidak merasa berat mengurus keduanya. Dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam; sesungguhnya telah jelas yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Dan orang-orang kafir itu pelindung-pelindung mereka adalah thaghut, mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (Al-Baqarah 255-257)

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ . آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ . لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di langit dan ada di bumi. Jika kamu melahirkan apa yang ada ddalam harimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang di kehendaki-Nya dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Rasul telah beriman kepada AL-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,’ dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.’ (mereka berdoa), “Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan Engkaulah tempat kembali.’ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, jangnalah engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami, Engkau Penolong kami, maka tolonglah terhadap kaum yang kafir.” (Al-Baqarah: 284-286)

بسم الله الرحمن الرحيم الم. اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Alif Lam Mim. Allah tiada Tuhan melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi senantiasa berdiri sendiri.” (Al-Imran: 1-2) (4)

وَعَنَتِ الْوُجُوهُ لِلْحَيِّ الْقَيُّومِ وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا . وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا

“Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan yang Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluknya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang-orang yang melakukan kezhaliman, dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang shalih dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.” (Toha: 111-112)

حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (At-Taubah: 129) (dibaca tujuh kali)5)

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا . وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا

‘Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama mana saja kamu seru. Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama yang terbaik), janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula kamu merendahkannya dan carilah jalan tengan di antara keduannya itu.’ Katakanlah, ‘Segala puji bagi kerajaan-Nya, dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengangung yang sebesar-besarnya.” (Al-Isra’: 110-111)6)

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ . فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ . وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ . وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

‘Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan kamu tidak dikembalikan kepada kami? Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (yang mempunyai ‘Arsy yang mulia. Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada sesuatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung. Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah pemberi rahmat yang baik.” (Al-Mukminun: 115-118) (7)

فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ . وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُونَ. يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَيُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَكَذَلِكَ تُخْرَجُونَ . وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ. وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ. وَمِنْ آَيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ . وَمِنْ آَيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ . وَمِنْ آَيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ. وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ . وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ

“Maka bertasbilahlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan di waktu kamu berada di waktu shubuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hati dan di waktu kamu berada di waktu zhuhur. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan sepeti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan jadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kau yang berpikir. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lain bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah tidurmu diwaktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengar. Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akal. Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekalian panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur). Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk.” (Ar-Rum: 17-26) (8)

حم . تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ . غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِلَيْهِ الْمَصِيرُ

“Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ha Mim. Diturunkan kitab (Al-Qur’an) dari Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukum-Nya, yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluknya).” (Al-Mukmin: 1-3)9)

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ . هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja yang Mahasuci, yang Mahasejahtera, yang Mengaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Mahaperkasa, yang Mahaesa, yang Memiliki segala keagungan. Mahasuci Allah dari apa yang mereka mempersekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Mmbentuk rupa, yang Mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbilah kepada-Nya apa yang di langit dan apa yang di bumi. Dan Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Hasyr: 22-24)10)

بسم الله الرحمن الرحيم . إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا. وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا. وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا . يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا. بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا . يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ . فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya, ‘Mengapa bumi )jadi begini). Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kapadanya. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarah pun, niscaya dia melihat (balasan)nya pula .” (Az-Zalzalah: 1-8)11)

بسم الله الرحمن الرحيم. قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ . لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

‘Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kau sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak akan menjadi penyembah apa yang kau sembah, dan kamu tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku.’” (Al-Kafirun: 1-6)12)

بسم الله الرحمن الرحيم. إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ . وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا . فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

“Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (An-Nashr: 1-3)13)

بسم الله الرحمن الرحيم. قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ . اللَّهُ الصَّمَدُ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ . وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Dialah Allah yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tiada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 1-3) (tiga kali)

بسم الله الرحمن الرحيم. قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ . مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ . وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ . وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ . وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

“Dengan menyebut nama asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai shubuh dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukanh sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang-orang yang dengki apabila ia dengki.” (Al-Falaq: 1-5) (tiga kali)

بسم الله الرحمن الرحيم. قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ . مَلِكِ النَّاسِ . إِلَهِ النَّاسِ . مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ . الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ . مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

“Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Raja manusia, sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syetan yang biasa tersembunyi, yang membisikan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia.” (An-Nas: 1-6) (tiga kali) (14)

أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الُمُلْكُ للهِ وَالْحَمْدُ للهِ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَإِلَيْهِ النُّشُوْرُ / الْمَصِيْرُ

‘Kami berpagi hari dan berpagi hari pula kerajaan milik Allah. Segala puji bagi Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Tuhan melainkan Dia, dan pada-Nya tempat kembali.” (tiga kali)15)

أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ وَعَلَى كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ

‘Kami berpagi hari diatas fitrah Islam, di atas kata keikhlasan, di atas agama Nabi Kami; Muhammad saw., dan di atas millah bapak kami: Ibrahim yang hanif. Dan ia bukan termasuk golongan orang-orang yang musyrik.” (tiga kali)16)

اللَّهُمَّ إِنِّى أَصْبَحْتُ مِنْكَ فِى نِعْمَةٍ وَعَافِيَةٍ وَسِتْرٍ فَأَتِمَّ عَلَيَّ نِعْمَتَكَ وَعَافِيَتَكَ وَسِتْرَكَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berpagi hari dari-Mu dalam kenikmatan, kesehatan, dan perlindungan. Maka sempurnakanlah untukku kenikmatan, kesehatan, dan perlindungan-Mu itu, di dunia dan akhirat.” (tiga kali)17)

اللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لَا شَرِيكَ لَكَ فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ

“Ya Allah, kenikmatan yang aku atau salah seorang dari makhluk-Mu, berpagi hari dengannya, adalah dari-Mu semata; tiada sekutu bagi-Mu. Maka bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu rasa syukur.” (tiga kali)18)

يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَلِعَظِيمِ سُلْطَانِكَ

“Ya Rabbi, bagi-Mu segala puji sebagaimana seyogyanya; bagi kemuliaan wajah-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu.” (tiga kali)19)

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Aku rela dengan Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.” (tiga kali)20)

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

“Mahasuci dan puji bagi-Nya; sebanyak-banyak bilangan makhluk-Nya, serela diri-Nya, setimbangan ‘Arasy-Nya dan sebanyak tinta (bagi) kata-kata-Nya.” (tiga kali)21)

بِسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dengan nama Allah, yang bersama nama-Nya tidak selaka segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit. Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi maha Mengetahui.” (tiga kali)22)

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ

“Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami mohon ampun kepada-Mu untuk sesuatu yang tidak kami ketahui.” (tihga kali)23)

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari keburukan yang Dia ciptakan.” (tiga kali)24)

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dari tekanan hutang, dan kesewenang-wenangan orang.” (tiga kali)25)

اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَدَنِي اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي سَمْعِي اللَّهُمَّ عَافِنِي فِي بَصَرِي

“Ya Allah, sehatkanlah badanku; Ya Allah, sehatkanlah pendengaranku; Ya Allah, sehatkanlah penglihatanku;

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran; Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur. Tiada Tuhan kecuali Engkau.” (tiga kali)26)

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

“Ya Allah, Engkau Tuhanku, tiada Tuhan kecuali Engkau. Engkau ciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Berada di atas janji-Mu, semampuku. Aku mohon perlindungan dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui banyaknya nikmat (yang Engkau anugerahkan) kepadaku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau.” (tiga kali)27)

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

“Aku mohon ampun kepada Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, yang Mahahidup kekal dan senantiasa mengurus (makhluk-Nya) dan aku bertaubat kepada-Nya.” (tiga kali)28)

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberikan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Berilah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Di alam ini, Engkaulah yang Maha Terpuji lagi Mahamulia.” (sepuluh kali)29)

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ

“Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah Mahabesar.” (seratus kali)30)

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Tiada Tuhan melainkan Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji, Dia berkuasa atas segala sesuatu.” (sepuluh kali)31)

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

“Mahasuci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (tiga kali)32)

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ عَدَدَ مَا أَحَاطَ بِهِ عِلْمُكَ وَخَطَّ بِهِ قَلَمُكَ وَأَحْصَاهُ كِتَابُكَ وَارْضَى اللَّهُمَّ عَنْ سَادَاتِنَا أَبِي بَكْرٍ وَعمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِي وَعَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِيْهِمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

“Ya Allah berilah shalawat kepada Nabi Muhammad; hamba-Mu, Nabi-Mu, dan Rasul-Mu, Nabi yang ummi. Juga kepada keluarga dan para sahabatnya, serta berilah keselamatan sebanyak yang terjangkau oleh ilmu-Mu; yang tergores oleh pena-Mu; dan yang terangkum oleh kitab-Mu. Ridhailah-ya Allah-para pemimpin kami: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, serta semua sahabat, semua tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari Pembalasan.”

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Maha suci Tuhanmu, Tuhan kemuliaan dari apa-apa yang mereka sifatkan. Keselamatan semoga tercurah kepada para utusan dan segala puji bagi Allah. Tuhan sekalian alam.”33)

WADZIFAH SHUGHRA


Jika seorang akh mendapatkan waktunya sempit atau tengah terjadi degradasi keimanan (futur) pada dirinya, atau pada saudaranya yang lain jika dibaca bersama mereka, maka hendaklah ia meringkas seperti berikut ini:

Bacalah isti’adzah, Al-Fatihah, ayat kursi, tiga ayat terakhir Al-Baqarah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing tiga kali. Kemudian bacalah dzikir dan doa yang telah disebutkan di atas, sampai istighfar yang terakhir.

Lalu ikutlah secara langsung dengan istighfar dengan sighat. Demikianlah hingga akhir wadzifah.

________________________________________________________________

1) Allah swt. berfirman, “Maka jika kamu membaca Al-Qur’an, mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk. Diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dari Anas ra. dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa di waktu pagi mengatakan: a’udzubillahis sami’il alim…., dia akan dibebaskan dari gangguan syetan hingga sore.”

2) Hadits Ubai bin Ka’ab ra. menceritakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah diturunkan dalam Taurat, Zabur, Injil, atau Furqan yang se-banding dengan Al-Fatihah. Sesungguhnya ia merupakan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Qur’an yang agung yang di-anugerahkan kepadaku.” (HR. Tirmidzi dan ia mengatakan, “Hadits hasan shahih.” Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya dengan sanad dari Ubay bin Ka’ab dari Nabi saw. bahwa beliau saw. bersabda, ‘Setiap pekerjaan yang bermanfaat yang tidak dimulai dengan ‘Bismillahirrahmanirrahim’, maka perkara itu terputus.” Artinya, amal itu sedikit nilai berkahnya.

3) Diriwayatkan oleh Ad-Darami dan Al-Baihaqi dalam Asy Syu’ab dari Ibnu Mas’ud ra. bahwa dia berkata, “Barangsiapa membaca sepuluh ayat dari surat Al-Baqarah di permulaaan siang, maka ia tidak akan didekati oleh syetan sampai sore. Dan jika membacanya sore hari, maka ia tidak akan didekati oleh syetan sampai pagi dan ia tidak akan melihat sesuatu yang dibenci pada keluarga dan hartanya”. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Hakim dalam Shahih-nya, dari Ibnu Mas’ud ra., Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa membaca sepuluh ayat; empat ayat dari awal aurat Al-Baqarah, ayat kursi dan dua ayat sesudahnya serta ayat-ayat terakhir dari Al-Baqarah tersebut, maka rumahnya tidak akan di-masuki oleh syetan sampai pagi. ”

4) Dari Al-Qasim bin Abdurrahman ra., dari Nabi saw. bahwa asma Allah yang agung itu ada pada tiga surat dalam Al-Qur’an yakni: surat Al-Baqarah, Ali Imran, dan surat Thaha. Al-Qasim berkata, “Kemudian aku mencarinya, maka aku mendapatkan pada surat Al-Baqarah adalah ayat (kursi), “allahu Ia ilaha illa huwal hayyul qayyum”, pada surat Ali Imran adalah ayat, “alif lam mim, allahu Ia ilaha illah huwal hayyul qayyum”, dan pada surat Thaha adalah ayat, ‘wa ‘analil wujuhu ill hayyil qayyum.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dan belum dikomentari oleh Adz-Dzahabi

5) Dari Abu Darda ra. dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa di waktu pagi atau sore membaca: hasbiyallahu …. tujuh kali, maka Allah akan mencukupi apa yang diinginkan dari perkara dunia dan akhirat.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dan Ibmt Asakir secara marfu’ Diriwayatkan pula Oleh Abu Dawud dan secara mauquf oleh Abu Darda’

6) Dari Abu Musa Al-Asy’ari ia. berkata bahwa Rasulullah saw. : “Barangsiapa pada waktu pagi dan sore membaca: qulid’ullaha awid’urrahman sampai akhir ayat, maka hatinya tidak akan mati pada hari dan malam itu (Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Dilami dalam kitab Musna Al-Firdaus)

7) Dari Muhammad bil Ibrahim At-Taimi dari ayahnya berkata, “pada suatu Peperangan Rasulullah saw. memberikan nasehat kepada kami agar membaca: afahasibtum annama khalaqnakum….. dan ayat-ayat berikutnya. Kami pun membacanya. maka kami berhasil memperoleh ke-keselamatan dan keselamatan.” (Hadits diriwayatkan oleh lbnu Sunni, Abu Nu’aim, dan Ibnu Mandah. Al-Hafidz [Ibnu Hajar, Pent.] berkata, “Sanadnya bisa diterima.”)

8) Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa ketika pagi membaca: subhanallahi hiina…. sampai pada… wakazalika tukhrajun, maka ia akan menemukan apa-apa yang hilang pada hati itu. Dan barangsiapa membacanya pada sore hari, akan ia menemukan apa yang hilang Pada malamnya (HR. Abu Dawud)

9) Dari Abu Hurairah ra, berkata bahwa telah bersabda Rasulullah saw.,: “Barangsiapa membaca: haa-miim… dalam surat Al-Mukmin sampai ilaihil mashir dan ayat kursi, maka ia akan dipelihara oleh kedua ayat tadi sampai sore dan barangsiapa membacanya Pada sore hari. maka kedua ayat itu akan menjaganya sampai pagi hari . ” Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ad-Darimi, Ibnu Sunni, dan Al-Maruzy)

10) Dari Abu Umamah ra, bahwa beliau saw. bersabda: “Barangsiapa membaca ayat-ayat akhir surat Al-Hasyr pada waktu malam atau siang, maka Allah akan menjamin baginya surga.” (HR. Al-Baihaqi)

11) Dalam hadits riwayat Ibnu Abbas ia. –marfu’- disebutkan bahwa, “idza zulzilat” itu menyamai separo Al-Qur’an.” (Hadits riwayat At-Tirmidzi Al-Hakim dari hari hadits Yaman Bin Al-Mughirah)

12) Hadits Ibnu Abbas ra., “qul ya ayyuhal kafirun itu menyamai seperempat Al-Qur’an (Hadits riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim. Dia mengatakan, “sanadnya shahih.”)

13) Hadits dari Anas ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada salah seorang sahabatnya, “Bukankah bersamamu idza ja-a nashrullahi walfathuu?” Sahabat tadi menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, ” Ia menyamai seperempat Al-Qur’an.” (Hadits riwayat At-Tirmidzi. Dia mengatan, “ini hadits hasan.”)

14) Dari Abdullah bin Hubaib ra.. ia berkata, “(Suatu ketika) kami keluar pada malam yang gelap gulita dan sedang hujan. Kami meminta kepada Rasulullah saw. agar berkenan mendoakan kami. Maka kami pun menjumpai beliau, lalu beliau bersabda, “Katakanlah saya tidak mengatakan apa-apa. Kemudian beliau bersabda, “Katakanlah Saya tidak mengatakan apa-apa. Kemudian saya bertanya -Apa yang harus saya katakan, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, -quhuwaallahu ahad dan dua surat perlindungan (Al-Falaq dan An-Nas) tatkala sore dan pagi hari masing-masing tiga kali, niscaya ia sudah mencukupi dari segala sesuatu.” (Hadits riwayat Abu Dawud, Timidzi, dan An-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan shabih.”)

15) Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah saw. tatkala pagi hari selalu membaca: asbahna wa-asbahal mulku lillahi… dan ketika sore berkata: amsaina wa-amsal mulku lillahi….”(Hadits riwayat lbnu Sunni dan Al-Bazzar. Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini sanadnya baik.”)

16) Dari Ubay bin Ka’ab ra. berkata “Ketika pagi hari Rasulullah saw. mengajarkan kepada kami untuk membaca: asbahna ala fithratil islam… dan ketika sore hari juga dengan doa yang sama (Hadits riwayat Abdullah bin Imam Ahmad Ibnu Hanbal dalam Zawaid-nya)

17) Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah saw., ‘Barangsiapa membaca tiga kali: allahumma inni asbahtu mingka maka wajib bagi Allah untuk menyempurnakan nikmat-Nya kepadanya.” (Hadits riwayat Ibnu Sunni)

18) Dari Abdullah bin Ghannam Al-Bayadhi bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa ketika pagi membaca: allahumma ma-asbaha bi …., maka sesungguhnya ia telah menunaikan syukur pada hari itu. Dan barangsiapa membacanya ketika sore hari, maka ia telah menunaikan syukur pada malam harinya.” (Hadits riwayat Alyu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya)

19) Dari Abdullah bin Umar ra., bahwasanya Rasululah saw. bercerita kepada mereka tentang seorang hamba dari hamba Allah yang mengatakan: ya rabbi lakal hamdu…. maka dua malaikat merasa berat dan tidak tahu bagaimana harus mencatat (pahalanya). Kemudian keduanya naik ke langit seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya hamba-Mu telah mengatakan satu perkataan yang kami tidak tahu bagaimana mencatat (pahala)-nya,” Allah swt. -Dia Mahatahu apa yang dikatakan hamba-Nya- berfirman, “Apakah yang dikatakan hamba-Ku?” Kedua malaikat menjawab, Sesungguhnya ia mengatakan: ya rabbi lakal hamdu…. Maka Allah swt. berfirman. catatlah pahalanya sebagaimana. Yang diucapkan oleh hamba-Ku tadi sampai ia berjumpa dengan-Ku niscaya Aku akan membalasnya,” (Hadits riwayat Imam Ahmad. Ibnu Majah, dan para perawinya tsiqah)

20) Dari Abi Salam ra. -seorang pelayan Rasulullah- dalam hadits marfu’, ia berkata, saya. mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa ketika pagi dan sore mengatakan: radiitu billahi rabba ….., maka adalah wajib bagi Allah untuk meridhainya.” (Hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi An-Nasa’i dan Al-Hakim)

21) Dari Juwairiyah (Ummul Mukminin ra.), Nabi saw. keluar dari sisinya pagi-pagi untuk Shalat shubuh di masjid. Beliau kembali (ke kamar Juwairiyah waktu dhuha, sementara ia masih duduk di sana Lalu Rasulullah saw. bertanya “Engkau masih duduk sebagaimana ketika aku tinggalkan tadi?” Juwairiyah menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, aku telah mengatakan kepadamu empat kata sebanyak tiga kali, yang seandainya empat kata itu ditimbang dengan apa saja yaag engkau baca sejak tadi tentu akan menyamainya (empat kata itu adalah) yakni: subhanallah wabihamdihi ‘adada khalqihi……” (Hadits riwayat Muslim)

22) Dari Utsmam bin Affan ra. berkata, “Rasulullah saw. bersabda, Tidaklah seorang hamba setiap pagi dan sore membaca: bismillahilladzi layadhurru ….., kecuali bahwa tidak ada sesuatu yang membahayakannya. ” (Hadits riwayat Abu dawud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih. “)

23) Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra. berkata bahwa suatu hari Rasulullah saw. berkhutbah di hadapan kita, seraya bersabda: “Wahai sekalian manusia, takutlah kalian kepada syirik, karena sesungguhnya syirik itu lebih lembut daripada binatang semut.” Kemudian berkatalah seseorang kepada beliau, “Bagaimana kita berhati-hati kepadanya wahai Rasul, sementara dia lebih lembut daripada binatang semut?” Rasulullah saw. bersabda, “Katakanlah allhumma inna na’udzubika …..” (Hadits riwayat Ahmad dan Thabrani dengan Sanad yang baik. Juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la sebagaimana hadits tadi dari Khudzaifah, hanya saja Khudzhaifah berkata, “Beliau (Rasulullah saw.) membacanya tiga kali.”)

24) Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menjelang sore membaca: a’udzubukalimatillahi ….. sebanyak tiga kali, maka tidak akan membahayakan baginya racun yang ada pada malam itu.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya)

25) Dari Abu Sa’id Ak-Khudri ra. berkata, “Suatu hari Rasulullah saw. masuk masjid, tiba-tiba beliau jumpai seorang Anshar yang-bernama Abu Umamah. Rasulullah saw. bertanya, ‘Wahai Abu Umamah, mengapa kamu duduk-duduk di masjid di luar waktu shalat?’ Abu Umamah menjawab, ‘Karena kegalauan Yang melanda hatiku dan hutang-hutangku, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Bukankah aku telah megajarimu beberapa bacaan, yang bila kau baca, niscaya Allah akan menghilang rasa galau dari dirimu dan melunasi hutang-hutangmu?’ Abu Umamah berkata ‘Betul, wahai Rasulullah.’ Rasulullah bersabda, ‘Ketika pagi dan sore ucapkanlah: allahumma inni a’udzubika minalhammi wal hazan……’ Kemudian aku melakukan perintah tadi, maka Allah menghilangkan rasa galau dari diriku dan melunasi hutang-hutangku.” (HR. Abu Dawud)

26) Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah ra., dia berkata kepada ayahnya ‘ “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau berdoa: allahumma ‘afini fi badani . ……Engkau lakukan itu tiga kali ketika pagi dan tiga kali ketika sore,” Sang ayah berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw berdoa seperti itu, maka aku pun ingin mengikuti sunah beliau.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya)

27) Dari Syaddad bin Aus ra., Nabi saw. bersabda, “Sayyidul istighfar (doa permohonan ampunan yang terbaik) adalah: allahumma anta rabbi Ia-ilaha illaanta khakaqtani….. Barangsiapa membacanya ketika sore hari sembari yakin akan kandungannya, kemudian meninggal pada malam itu, maka ia akan masuk surga. Dan barangsiapa membacanya pada pagi hari sembari yakin akan kandungannya kemudian meninggal pada hari itu, maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dah yang lainnya)

28) Dari Zaid (pelayan Rasulullah saw.) berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang membaca: astaghfirullahalladzi la-ilaha illa huwal hayyu……., Allah akan mengampuninya, meski ia lari dari pertempuran.’ (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih berdasarkan atas syarah Bukhari dan Muslim.”)

29) Dari Abu Darda’ ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca Shalawat kepadaku sepuluh kali ketika pagi dan sepuluh kali ketika sore, maka ia akan memperoleh syafaatku pada hari Kiamat.” (HR. Thabrani)

30) Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya berkata, “Barangsiapa bertasbih kepada Allah seratus kali ketika pagi hari dan seratus kali ketika sore hari, maka ia seperti orang yang melakukan haji seratus kali. Barangsiapa bertahmid kepada Allah seratus kali ketika pagi hari dan seratus kali ketika sore hari, maka ia seperti orang yang membawa seratus kuda perang untuk berjihad dijalan Allah.Barangsiapa mengucapkan tahlil (ucapan ‘lailaha illallah’) seratus kali ketika pagi hari dan seratus kali ketika sore hari, maka ia seperti memerdekakan seratus budak dari anak cucu Ismail. Barangsiapa mengucapkan takbir (ucapan’Allalm Akbar’) seratus kali di pagi hari dan seratus kali di sore hari, maka Allah tidak akan memberi seseorang melebihi apa yang diberikan kepadanya, kecuali orang itu melakukan hal yang sama atau lebih.” (HR. Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan.” An-Nasa’i juga meriwayatkan hadits yang sama)

Dan dari Ummu Hani’ ra., Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Wahai Ummu Hani’, ketika pagi hari bertasbihlah kepada Allah seratus kali, bacalah tahlil Seratus kali, bacalah tahmid seratus kali, dan bertakbirlah seratus kali, maka sesungguhnya seratus tasbih itu (pahalanya) dengan seratus unta yang kau korbankan, dan seratus tahlil itu tidak akan menyisakan dosa sebelumnya dan sesudahnya.” (HR. Thabrani)

31) Dari Abu Ayyub ra., Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa ketika pagi hari membaca: Ia-ilaaha iliallahu wahdahu Ia-syarika lahu….. sepuluh kali, maka Allah akan mencatat setiap kali itu dengan sepuluh kebaikan dan menghapus sepuluh kejelekan, serta mengangkatnya dengan bacaan tadi sepuluh derajat. Bacaan tadi (pahalanya) bagaikan memerdekakan sepuluh budak, dan ia bagi pembacanya sebagai senajata bagi permulaan siang sampai menjelang sore, serta hari itu ia tidak akan mengerjakan pekerjaan yang akan mengalahkannya. Dan barangsiapa membacanya ketika sore hari, maka ia (pahalanya) seperti itu juga.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, Sa’id bi Mansur dan yang lainnya)

32) Dari Jubair bin Muth’im ra- berkata, Rasulullah saw. bersabda “Barangsiapa membaca: subhanalli wabihamdika asy-hadu….pada suatu majelis dzikir maka bacaan ‘Itu seperti stempel Yang dicapkan padanya. Dan barangsiapa mengucapkannya pada forum iseng, maka bacaan itu sebagai kafarat baginya. (HR. An-Nasa’i, Al-Hakim, dan Ath-Thabrani, dan Yang lainnya)

33) Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata, “Kami meriwayatkan dalam kitab Hilyatul Auliya’ dari Ali ra., ‘Barangsiapa suka mendapatkan timbangan kebajikan yang sempurna, maka hendaklan diakhir majelisnya ia membaca: subhana rabbika raabil ‘izzati amma yassifun…

My Blog List