Selasa, 29 September 2009

ANTARA NASEHAT & MEMBUKA AIB


Sesungguhnya memberikan nasihat kepada kaum muslimin; baik berupa bimbingan kepada kebenaran yang nyata atau pun peringatan dari kebatilan dan para pelakunya, terhitung bagian dari agama.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الدِّينُ النَّصِيحَةُ قَالُوا لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

Rasulullah saw. bersabda: “Agama adalah nasihat”, para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Rasulullah saw. bersabda: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum”. (Bukhari, Muslim dan ahli hadits lainnya)

Al-Khaththabi berkata: “Nasihat adalah sebuah kosa kata yang bersifat merangkum dan menghimpun banyak arti, maknanya adalah: mendatangkan kebaikan kepada pihak yang dinasihati”.

Tidak diragukan lagi bahwa manusia berpotensi salah dan cenderung menyimpang dari al-haq dan kebenaran. Tersebut dalam hadits:

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ اَلتَّوَّابُوْنَ

“Semua anak keturunan manusia bersifat salah, dan sebaik-baik mereka yang salah adalah yang paling banyak bertaubat”. (Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dan termasuk hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah hendaklah ia menunjukkan kepada saudaranya tentang aib dan kesalahannya, dan hendaklah ia menasihatinya dalam perkara dan urusannya. Tetapi, nasihat itu hendaklah dilakukan dengan lembut dan hikmah. Hendaklah seorang muslim berhati-hati, jangan sampai menghina saudaranya dan menuduhnya hanya berdasar kepada sekedar persangkaan saja, sebab, persangkaan itu adalah seburuk-buruk pembicaraan, dan cukuplah hal ini sebagai kejahatan. Rasulullah saw. bersabda:

بِحَسْبِ اِمْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ اَلْمُسْلِمَ

“Cukuplah seseorang itu menjadi jahat saat ia menghina saudaranya yang muslim” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jika ada mendengar – seorang muslim – tentang saudara muslim lainnya sesuatu yang tidak disuka, jangan segera membenarkan perkataan tentang saudaranya itu. Justru kewajibannya adalah untuk melakukan tatsabbut (klarifikasi) sehingga dirinya mendapatkan keyakinan tentangnya, sebab, kebanyakan manusia telah terbiasa menyebarluaskan keburukan secara bathil, dan banyak pula manusia yang suudzan (buruk sangka) nya lebih cepat daripada husnuzhan (berbaik sangka) nya, oleh karena itu, jangan membenarkan setiap perkataan, walaupun dirinya mendengarnya berulang kali sehingga dirinya mendengarnya dari yang menyaksikan secara langsung, dan jangan membenarkan orang yang menyaksikannya secara langsung sehingga dirinya memastikan kebenaran atas apa yang disaksikannya, dan jangan membenarkan orang yang telah membuktikan kesaksiannya sehingga dirinya memastikan kebersihannya dari tendensi khusus dan hawa nafsu. Untuk inilah Allah swt. memerintahkan kepada kita untuk menjauhi banyak persangkaan, dan memandang sebagian persangkaan itu sebagai dosa, sebab zhan itu bertolak belakang dengan ilmu dan ia tidak memberi arti apa-apa terhadap kebenaran. Allah swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain”. (Al-Hujurat: 12).

Firman Allah yang lain:

وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” (An-Najm: 28).

Dan jika seseorang melihat suatu urusan, atau sampai kepadanya tentang saudaranya suatu perkataan yang memiliki dua kemungkinan arti, maka, bawalah maksud perkataannya itu kepada maksud yang baik, sebab yang demikian ini lebih sesuai dengan akhlaq mulia dan lebih mencerminkan ukhuwwah yang bening. Umar bin Al-Khaththab ra. Berkata:

لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ الْمُؤْمِنِ إِلاَّ خَيْرًا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً

”Janganlah kamu menyangka satu kosa kata yang keluar dari saudara mukmin mu kecuali kebaikan, sedangkan engkau mendapati kemungkinan maksud yang baik dari perkataannya”. (Ahmad)

Puteri dari Abdullah bin Muthi’ berkata kepada suaminya Thalhah bin Abdurrahman bin Auf ra. Di zamannya Thalhah adalah orang Quraisy yang paling derma. Istrinya berkata: “Saya tidak melihat satu kaum yang lebih buruk dari saudara-saudaramu!”. Thalhah berkata kepada istrinya: “hush hush! Kenapa demikian?”. Istrinya menjawab: “Saya melihat mereka, kalau kamu sedang ada uang, mereka nempel terus kepadamu, dan jika kamu sedang tidak mempunyai apa-apa, mereka meninggalkanmu”. Maka Thalhah berkata kepada istrinya: “Ini, demi Allah, adalah bukti bahwa mereka berakhlaq mulia, mereka datang kepada kita saat kita mampu memuliakan mereka, dan mereka meninggalkan kita saat kita tidak mampu memenuhi hak-hak mereka”.

Coba kita lihat, bagaimana Thalhah men-ta’wil-kan perbuatan saudara-saudaranya terhadapnya, padahal perbuatan itu jelas buruk dan tidak kenal budi, namun demikian, ia memandangnya sebagai bentuk kesetiaan dan kemuliaan.

Jika seorang muslim melihat saudara muslim lainnya melakukan kesalahan yang tidak dapat diterima alasannya atau tidak bisa ditafsirkan lain, maka menjadi kewajibannya untuk datang kepadanya guna memberi nasihat secara rahasia, antara dirinya dan saudaranya saja, bukan di depan khalayak, sebab manusia tidak ingin aibnya diketahui oleh siapa pun, jika dirinya menasihati saudaranya secara rahasia, maka hal ini lebih berpeluang untuk diterima, lebih menunjukkan ikhlas dan jauh dari syubhat. Adapun jika dirinya menasihati saudaranya secara terbuka, di depan banyak orang, maka pada yang demikian ini terdapat syubhat dendam dan popularisasi keburukan, menonjolkan sisi kelebihan diri dan ilmu yang dimiliki. Dan hal ini merupakan penghalang yang mencegah pihak yang dinasihati untuk mendengarkan nasihat serta mengambil pelajaran darinya.

Di antara akhlaq Nabi saw. dan adabnya dalam mengingkari kemunkaran dan memperjelas kebenaran adalah bahwa jika sampai kepada beliau tentang satu atau sekelompok orang yang melakukan kemunkaran, maka beliau tidak menyebutkan nama mereka secara terbuka, beliau hanya bersabda: “Kenapa ada orang yang berbuat begini dan begini”, lalu orang yang dimaksud memahami bahwa dia lah yang dimaksud oleh nasihat itu. Dan hal ini termasuk cara memberi nasihat dan cara mentarbiyah yang paling tinggi.

Imam Syafi’i berkata:

مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلاَنِيَّةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ

“Siapa yang memberi mauizhah kepada saudara secara rahasia, maka ia telah menasihati dan memperbaikinya, dan siapa yang memberi mauizhah secara terbuka, berarti ia telah membuka aibnya dan memperburukkannya”

Jadi, seorang mukmin yang memberi nasihat, ia tidak memiliki tujuan untuk mempublikasikan aib orang yang dinasihatinya. Tujuannya tidak lain adalah menghilangkan kemaksiatan yang ia terjatuh kepadanya, sebab ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Adapun mempublikasikan dan menampakkan aib, maka hal ini termasuk yang diharamkan Allah swt. dan Rasul-Nya saw. Allah swt berfirman:

إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (An-Nur: 19).

Jadi, ada perbedaan antara orang yang bertujuan menasihati dan orang yang bertujuan membuka aib. Yang mencampur adukkan di atara keduanya hanyalah orang yang berakal tidak sehat. Hukuman bagi orang yang menyebar luaskan keburukan atas terhadap saudaranya yang beriman dan terus menerus mencari aib-aibnya serta membuka auratnya adalah Allah swt. akan mencari-cari auratnya, lalu membukanya di depan publik walaupun setelah beberapa tempo lamanya, kecuali jika ia bertaubat.

Di antara pertanda ta’yir (mencacat) dan tasyhir (mempopulerkan aib) adalah: menampakkan dan mempublikasikan keburukan dalam kemasan nasihat, ia mengklaim bahwa yang mendorongnya adalah tahdzir (memberi peringatan) atas ucapan dan perbuatannya, dan Allah mengetahui bahwa maksudnya adalah tahqir (merendahkan) dan adza (menyakiti).

Contoh hal ini adalah seseorang mencela orang lain dan menunjukkan kekurangannya serta menampakkan aibnya supaya manusia berlari darinya, namun maksudnya adalah keinginannya untuk menyakitinya karena permusuhan dirinya terhadapnya atau karena sebab-sebab tercela lainnya, dirinya tidak mampu mencapai tujuan ini kecuali dengan menampakkan celaan padanya, baik karena adanya sebab dini (agama) atau pun duniawi. Maka, siapa yang melakukan perbuatan demikian, ini merupakan pertanda adanya penyakit dalam hatinya, meskipun hal ini terjadi dari orang yang bersumpah bahwa tidak ada tujuan kecuali kebaikan, sedangkan Allah swt, menjadi saksi bahwa mereka adalah orang-orang yang bohong.

Dan siapa saja yang terkena bencana makar ini, yaitu saat ia dihina, dicacat, ditampakkan sisi kekurangannya, maka hendaklah ia bertakwa dan bersabar, sebab kesudahannya pasti milik yang bertakwa,

وَلاَ يَحِيْقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلاَّ بِأَهْلِهِ

“Dan makar buruk itu tidak menghancurkan kecuali pelakunya” (Fathir: 43)

Ketahuilah bahwa sebagian pemberi nasihat dan pengkritik dalam berbagai majlis, juga sebagian penulis di koran dan semacamnya, terperosok dalam sebagian kesalahan dan kekeliruan yang menyebabkan merenggangnya hubungan, di mana nashihah (memberi nasihat tanpa membuka aib) berubah menjadi fadhihah (membuka aib), tadzkir (memberi pengingatan) berubah menjadi tasyhir (publikasi keburukan). Dan hal ini bukanlah sesuatu yang diridhai Islam.

Ibnu Rajab berkata: ketahuilah bahwa menyebut manusia dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram, jika maksudnya sekedar mencela, mencacat dan menampakkan kekuarangan. Adapun jika dalam hal ini terdapat kemaslahatan umum bagi kaum muslimin atau kemaslahatan khusus bagi sebagian mereka, dan maksudnya adalah menghasilkan kemaslahatan ini, maka hal ini tidaklah diharamkan, bahkan disunnatkan. Hal ini telah ditetapkan oleh para ulama hadits dalam kitab mereka dalam pembahasan al-jarh wat-ta’dil. Mereka menyebutkan perbedaan antara melakukan tajrih terhadap para perawi dan dengan ghibah. Mereka membantah orang-orang yang menyamakan di antaranya keduanya, baik yang menyamaratakan itu dari kalangan ahli ibadah maupun dari kalangan lainnya dari orang-orang yang belum luas ilmunya, dan tidak ada perbedaan antara orang yang diterima riwayatnya dari mereka yang yang tidak diterima

Jika tujuannya adalah memperjelas kebenaran, maka hal ini masuk dalam pengertian nasihat. Dan jika tujuannya adalah menunjukkan kekurangan yang berkata, menampakkan kebodohan dan kelemahannya dalam ilmu, maka hal ini adalah perbuatan haram, baik bantahan itu dilakukan dihadapan orang yang dibantah atau pun dilakukan tidak dihadapannya, baik dilakukan semasa hidupnya maupun dilakukan sepeninggalnya, dan hal ini tercakup dalam hadits nabi saw.:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوْا اَلْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ اِتَّبَعَ عَوْرَاتِهِ يَتَّبِعُ الهُه عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحُهُ وَلَوْ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman dengan mulutnya, sementara keimanan belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian melakukan ghibah terhadap kaum muslimin, dan jangan pula mencari-cari auratnya, sebab, siapa saja yang mencari-cari auratnya, maka Allah swt. akan mencari-cari auratnya, dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah swt. niscaya Dia akan membuka kartunya walaupun ia berada di dalam rumahnya” (HR. Abu Daud dan lainnya. Lihat Aun al-Ma’bud 13/224).

Sangat bagus kalau seorang muslim menjadi benteng yang kokoh yang membela dan melindungi harga diri saudara muslim nya dan menjaga citranya, terlebih lagi jika dihadapannya disebutkan keburukan saudaranya sesuatu yang tidak disukainya. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ اَلْمُسْلِمِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ اَلنَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang membela harga diri saudaranya yang muslim, niscaya Allah swt. menjaga wajahnya dari neraka pada hari kiamat” (HR. At-Tirmidzi, shahih)

Dan hHendaklah kita semua tsiqah terhadap saudara kita dan berhati tenteram kepadanya, dan janganlah kita men-ta’wil-kan omongannya kecuali dengan baik, selama omongan itu masih memungkinkan ditafsirkan baik, supaya kita berbahagia dalam urusan agama dan dunia kita, dan supaya kita selamat pada hari kiamat,

يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ

“Yaitu hari dimana harta dan anak lakui-laki tidak memberi manfaat, kecuali yang datang kepada Allah swt dengan hati selamat” (Asy-Syu’ara: 88 – 89).

Kita memohon kepada Allah swt. agar Dia mensucikan hati kita dari ghill (dengki), dendam dan iri, dan semoga Dia memberikan kepada kita hati yang selamat, mulut yang jujur, ilmu yan bermanfaat dan amal yang shalih.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيم

“Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

Sumber: http://alminbar.net/alkhutab/khutbaa.asp?mediaURL=1327

Alam Metafisik Dalam Al-Qur’an


Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya
hingga hari kiamat.

Ikhwanku tercinta…

Saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, salam yang baik dan diberkahi:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Dalam pembicaraan kita yang lalu, kita telah berbicara tentang manusia dalam Al-Qur’an. Saya telah mengemukakan bahwa Al-Qur’an berkisah tentang manusia dalam banyak ayat dan dalam banyak surat.

Al-Qur’an mengemukakan unsur materi dan tanah serta unsur ruh dalam komposisi diri manusia serta tentang hubungannya dengan makhluk-makhluk lain. Al-Qur’an menyeru manusia agar meningkatkan kualitas ruh yang ada pada dirinya dengan amal shalih, membersihkannya dengan ma’rifah kepada Allah swt. dan menyucikannya
dengan mengarahkan kepada kebaikan. Dalam pembicaraan yang baru lalu, kita juga telah membahas pandangan Al-Qur’an tentang alam fisik atau alam materi. Saya telah menjelaskan bahwa AI-Qur’anul Karim mengemukakan dan memaparkan banyak fenomena alam dalam banyak ayat. Di sana ada penjelasan tentang langit, bumi, matahari, bulan,
hujan, tumbuhan, laut, sungai, dan gunung.

Ikhwan sekalian….

Ini semua adalah fenomena alam yang dikemukakan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an mengemukakan dan menjelaskan
tentang awal penciptaan alam, tentang fenomena-fenomena yang terjadi di alam, dan tentang akhir dari kehidupan. Saya telah mengatakan bahwa Al-Qur’an mengemukakan semua ini bukan dengan analisis ilmiah supaya menjadi sebuah buku astronomi, botani, atau zoology, tetapi Al-Qur’an mengemukakannya lantaran ia merupakan bukti-bukti
kekuasaan Allah swt., tanda-tanda penciptaan-Nya yang sempurna dan bijaksana, serta indikasi-indikasi dari tindakan Allah swt. yang luar biasa. Al-Qur’anul Karim mengemukakannya agar menjadi pelita yang menerangi manusia untuk mengenal Allah.

Saya juga telah mengemukakan bahwa Al-Qur’an berbicara tentang hal itu tidak dari aspek ilmu pengetahuan. Sebab, akal manusia itu senantiasa berkembang dan maju secara bertahap. Karena itu, akal harus diberi kebebasan supaya mengenal sendiri benda-benda dan bentuk-bentuknya, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kesempurnaan
akal itu sendiri. Semakin sempurna akal manusia, maka ia semakin mampu menyingkap hal-hal yang musykil dan sulit dipahami. Tidak ada jalan untuk membukakan pengetahuan tersebut kepadanya secara sekaligus dalam fase-fase kehidupannya.

Saya juga telah menjelaskan bahwa keterangan Al-Qur’an mengenai benda-benda ini tidak bertentangan sedikit pun dengan fakta-fakta ilmiah yang benar, baik mengenai awal penciptaannya, fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya, atau akhir kehidupan di alam semesta ini. Ini merupakan bukti nyata bahwa kitab ini berasal dari sisi Allah swt.

“Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa’: 82)

Kemudian kita telah menemukan pelajaran bahwa kita wajib melakukan perenungan dan penelitian tentang alam supaya sarana yang benar ini bisa kita jadikan sebagai jalan untuk menguatkan iman.

Adapun kajian kita pada malam ini, Ikhwan sekalian, adalah mengenai Alam Metafisik dalam Pandangan Al-Qur’anul Karim.

Ikhwan sekalian…

Ketika kita memperhatikan kitab Allah swt. kita menemukan bahwa ia berbicara tentang banyak alam. Alam-alam
tersebut tidak masuk dalam batas-batas dunia materi yang unsur-unsurnya bisa kita deteksi dengan indra: dengan menyentuh, melihat, merasakan, mencium, atau mendengar.

Al-Qur’anul Karim menyebutkan bahwa masih ada alam-alam yang lain selain alam yang bisa kita raba, kita rasakan, kita lihat, dan kita dengar dengan indra fisik. Al-Qur’an berbicara tentang alam-alam ini. Di antaranya adalah ruh. Al-Qur’an membicarakan masalah ruh ini. Al-Qur’an juga berbicara tentang malaikat. Al-Qur’an juga berbicara tentang jin. Al-Qur’an juga berbicara tentang Al-Malaul A ‘la. Al-Qur’an mengatakan:

“Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku.” (Al-Hijr: 29)

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kalian
diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
(Al-Isra’: 85)

Jadi, ada sesuatu yang bernama ruh. Ia adalah urusan Allah swt. Dalam surat Yusuf, Al-Qur’an juga berbicara tentang tafsir mimpi. Ia menjelaskan bahwa Allah swt. telah mengajari Yusuf tentang penafsiran mimpi. Dua orang sahabat Yusuf di penjara bermimpi dan Yusuf as. menafsirkan mimpi mereka dengan penafsiran yang benar. Yusuf ketika itu berkata:

“Wahai dua penghuni penjara. Salah seorang di antara kalian berdua akan memberi minum tuannya dengan khamr; adapun yang seorang lagi maka ia akan disalib, lalu burung memakan sebagian dari kepalanya. Telah diputuskan perkara yang kalian berdua menanyakannya kepadaku.” (Yusuf: 41)

Yusuf juga menafsirkan mimpi raja setelah para penasihat raja berkata:

“Dan kami sekali-kali tidak mengetahui ta’bir mimpi itu.” (Yusuf: 44)

“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya, ‘Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) menafsirkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).’ (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf, dia berseru), ‘Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemukgemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering, agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.’ Yusuf berkata, ‘Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.’ (Yusuf: 45-49)

Ikhwan sekalian…

Selain itu kita juga bisa membaca firman Allah swt.,:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (Az-Zumar: 42)

Kemudian Al-Qur’anul Karim berbicara tentang para malaikat dan tradisi yang berlaku di alam malaikat ini:

“Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.” (Fathir: 1)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (Al-Baqarah: 30)

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam.’” (Al-Baqarah: 34)

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (Al-Qadar: 4)

Ikhwan sekalian…

Anda juga menemukan dalam kitab Allah swt. bahwa para malaikat melaksanakan tugas-tugas tertentu. Mereka bertasbih dan beristighfar. Mereka juga melaksanakan sebagian tugas yang berkaitan dengan balasan amal.

“Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).” (Al-Muddatsir: 30)

“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat…” (Al-Mudatsir: 31)

Mereka juga menyampaikan ucapan selamat kepada para penduduk surga.

“Sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. (Sambil mengucapkan) ‘Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.’ Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar-Ra’d: 23-24)

Mereka juga melaksanakan beberapa tugas berkenaan dengan ruh, misalnya mereka menerima ruh-ruh itu.

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang zhalim (perada) dalam tekanantekanan
sakaratul maut, sedangkan para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawa kalian! Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kalian selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri terha-dap ayat-ayat-Nya.’”
(Al-An’am: 93)

Ikhwan sekalian…

Selain itu Al-Qur’anul Karim juga berbicara tentang para malaikat dan beberapa bentuk interaksi mereka dengan manusia:

“(Ingatlah) ketika kamu mengatakan kepada orang-orang mukmin, ‘Apakah tidak cukup bagi kalian bahwa Allah telah membantu kalian dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (Ali Imran:124)

Al-Qur’an juga berbicara tentang jin, bahkan ada satu surat Al-Qur’an yang khusus membicarakan mereka, yakni surat Jin:

“Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an), lalu mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan.’ (Yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami. Dan bahwasanya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak pula beranak. Dan bahwasanya orang yang kurang akal di antara kami dahulu selalu mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah. Dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan kalian (orang-orang kafir Makkah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun. Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengarkan (berita-berita). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang shalih dan di antara kami ada pula yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Al-Jin: 1-11)

Wahai Akhi…

Dari ayat-ayat ini Anda mengetahui bahwa jin telah mengatakan tentang diri mereka sendiri bahwa mereka pernah mencuri-curi berita, tetapi kemudian mereka dihalangi dari perbuatan itu; di antara mereka ada yang shalih dan di antara mereka ada pula yang jahat. Mereka juga mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk melakukan suatu perbuatan daripada kemampuan manusia.

“Ifrit yang cerdik dari golongan jin berkata, Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu, sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sesungguhnya aku benar-benar kuat lagi dapat dipercaya.’” (An-Naml:39)

Anda juga tahu, wahai Akhi, di kalangan jin terdapat satu golongan setan, yang melakukan godaan terhadap manusia serta menghiasi perbuatan-perbuatan jahat dan maksiat yang membinasakan supaya tampak indah dalam pandangan manusia, sehingga mereka terjerumus ke dalamnya. Adapun hubungan mereka dengan iblis adalah: iblis merupakan
pembesar mereka. Al-Qur’an juga menceritakan bahwa bangsa jin mengenal tentang kitab-kitab lama yang diturunkan oleh Allah dan mereka membanding-bandingkan antara kitab-kitab samawi tersebut dengan teliti.

Jika Anda memperhatikan kitab Allah swt. wahai Akhi, Anda pasti juga menemukan bahwa ia berbicara tentang Al-MalaulA’la:

“Aku tidak mempunyai pengetahuan tentang Al-mala’ul A’ la ketika mereka berbantah-bantahan.” (Shad: 69)

Di antara keadaan Al-Malaul A ‘la adalah sebagai berikut:

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan. Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas dan menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedangkan ia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian ia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (kepada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kalian (musyrikin Makkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di dekat Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya.”
(An-Najm: 1-17)

Anda tahu, wahai Akhi, bahwa di antara alam-alam tersebut terdapat Al-Malaul A’la, yakni Sidratul Muntaha, Arsy, Kursiy, Lauhul Mahfuzh, Baitul Makmur, dan benda-benda lain yang hanya diketahui oleh Allah swt. semata.
Kebiasaan Al-Qur’an yang bisa Anda ketahui dan Anda rasakan, wahai Akhi, ketika berbicara tentang alam metafisika ini, ia senantiasa membicarakannya dengan ungkapan yang sangat singkat. Ia tidak memaparkan hakikat-hakikat dari keadaan alam ini, tetapi hanya mengemukakan beberapa kekhususannya. Contohnya, ia tidak menyebutkan bagaimana Allah menciptakan para malaikat dan tidak menyebutkan dari apakah asal usul ruh, tidak pula tentang struktur Al-Mala’ul A’la ini.

Dari sini, wahai Akhi, kita bisa mengambil dua pelajaran.

Pelajaran pertama

Kita berkewajiban untuk menggunakan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan berhenti sebatas keterangan yang diberikannya. Jika kita hendak melakukan pembahasan mengenai masalah-masalah ini, maka kita tidak boleh melakukan berbagai dugaan dan kita juga tidak boleh membiarkan akal berkelana bebas mengenainya.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’: 36)

Pelajaran kedua

Wahai Akhi, adalah sebuah hakikat yang kita ketahui melalui pertanyaan-pertanyaan ini: Mengapa Al-Qur’anul
Karim tidak membicarakan alam metafisik ini secara luas dan terperinci? Jawaban pertanyaan ini adalah: Al-Qur’an datang untuk memberikan manfaat, sedangkan kita tidak akan memperoleh manfaat dari keterangan semacam ini. Kita, manusia ini, wahai Akhi, diajak berbicara sesuai dengan bahasa kita dan sesuai dengan kadar pengetahuan dan pemahaman kita. Sedangkan bahasa kita wahai Akhi, hanyalah meliputi apa yang ada, baik secara empiris maupun secara nonempiris, di lingkungan orang-orang yang berbicara dengannya.

Ambillah misal, wahai Akhi, seseorang yang dilahirkan dalam keadaan buta. Kemudian ia ditanya tentang hakikat berbagai benda. Betul bahwa Anda telah memberitahukan berbagai benda itu kepadanya. Tetapi, mana bisa ia memahami penjelasanmu itu?

Anda, wahai Akhi, tidak mungkin bisa memahamkannya, karena bahasa adalah penggambaran tentang makna-makna dan benda-benda yang ada di lingkungan pemakainya. Sebagaimana yang telah saya katakan, ini adalah alam metafisika, alam yang tidak terlihat. Artinya, ia adalah alam yang tidak bisa dideteksi dengan indra kita, sehingga mana mungkin bahasa kita bisa menggambarkannya? Tetapi karena kita mempunyai hubungan dan keterkaitan dengan alam ini, maka Al-Qur’anul Karim memberikan isyarat tentang adanya hubungan ini. Orang-orang yang mendapatkan sedikit pengetahuan tentang alam ini, mereka mengetahui sebagian dari aspek-aspeknya dan hal-hal yang berhubungan dengannya.

Para malaikat pernah berkunjung kepada Sayidina Imran bin Hushain ketika beliau sakit. Beliau pernah mengatakan, “Para malaikat mengunjungiku dan menjabat tanganku.”

Adapun orang-orang yang hidup dalam batas-batas dunianya sendiri, mereka tidak akan bisa mengetahui sedikit pun dari keadaannya. Ia tidak mempunyai tanda-tanda pada diri mereka, tidak juga akal mereka. Kita tidak boleh banyak membicarakan aspek-aspek ini karena kita tidak akan sampai kepada sesuatu apa pun selain perdebatan.

Wahai Akhi, Al-Qur’an telah mengemukakan perkara-perkara khusus yang berkenaan dengan alam metafisika ini. Lantas, bagaimana sikap ilmu pengetahuan yang bersifat materi terhadapnya? Yang terjadi, telah datang beberapa masa kebangkitan umat manusia dalam kurun-kurun yang telah lalu, namun mereka mengingkari sama sekali adanya
alam metafisika itu. Mereka tidak percaya kepada ruh, malaikat, jin, dan Al-Malaul A’la. Mereka menggambarkan kehidupan itu seperti alat mekanik, mereka menggambarkan makan ibarat bahan bakar, darah ibarat uap. Mereka mengatakan, yang terjadi hanyalah rahim yang melahirkan dan bumi yang menelan, dan kita tidak dibinasakan oleh
apa pun selain masa.

“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan kita hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.’” (Al-Jaatsiyah: 24)

Perdebatan mengenai ini banyak terjadi di Eropa pada abad ke-I8, pada awal-awal terjadinya revolusi industri yang dibarengi dengan berkembangnya berbagai pemikiran materialisme. Tetapi aliran pemikiran ini berangsur melemah, karena pandangan-pandangannya banyak yang batil, dan karenanya tidak dapat dipertahankan. Mereka segera berpikir dan menyadari bahwa mereka berada di hadapan fenomena-fenomena baru yang sama sekali bukan merupakan fenomena-fenomena materi. Salah satu dari buah penelitian yang mereka peroleh adalah kesadaran.

Mereka mulai berbicara tentang fenomena-fenomena non materi. Di Universitas Birmingham, pada bulan Juli tahun 1927, mata kuliah tentang psikologi ditetapkan sebagai mata kuliah dasar di perguruan tinggi tersebut. Mereka mulai mengatakan, “Benar, dunia ini terbagi menjadi dua, yaitu dunia fisik dan dunia metafisik. Kita memang telah berhasil meraih banyak kemajuan di lingkungan alam fisik dan kita telah berhasil memanfaatkan banyak potensinya, dan di hadapan kita masih terbuka banyak pekerjaan yang berat. Namun kita mengakui bahwa ada dunia lain yang tidak terlihat dan kita mengakui bahwa kita baru mencapai bagian awalnya, baru melangkahkan beberapa langkah untuk memahaminya.”

Tetapi wahai Akhi, jangan membayangkan bahwa mereka akan segera mengetahui segala-galanya. Mereka akan segera memahami firman Allah swt.,:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar adanya. Apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushilat: 53)

Jadi, kitab kita yang mulia ini, wahai Akhi, telah memberikan kelapangan kepada kita sehingga kita tidak perlu berpayah-payah karena dugaan, keraguan, dan kesesatan berpikir. Ia memberitahu kita pokok-pokok pengetahuan yang memadai tentang alam metafisika itu. Ia memberitahu kita tentang apa yang bermanfaat bagi diri kita dan mendiamkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kita.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Sayidina Muhammad dan kepada keluarga serta sahabat-sahabatnya.


sumber : Al Qur'an menurut Hasan Al Banna oleh Abu ahmad


NAQIB

Dan sesungguhnya ALLAH telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah KAMI angkat diantara mereka 12 orang naqib dan ALLAH berfirman: Sesungguhnya AKU beserta kalian, Sesungguhnya jika kalian mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada Rasul-rasul-KU dan kalian bantu mereka dan kalian pinjamkan kepada ALLAH pinjaman yang baik[1] Sesungguhnya AKU akan menghapuskan dosa-dosamu. dan sesungguhnya kamu akan AKU masukkan ke dalam surga yang mengalir air di dalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir diantara kalian sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Maidah, 5:12) [2]

TAFSIR SECARA BAHASA ( معنى اللغوي ):

(النقيب) dalam bahasa Arab sinonim dari العريف (yang lebih tahu / memahami) atas suatu kaum dan bahkan ia maknanya lebih tinggi dari itu[3] dikatakan dalam kalimat: ” ” نَقَب فلان على بني فلان فهو ينقُبُ نَقْبً او نقابة; berkata yang lainnya bahwa maknanya adalah : “الأمين الضامن على القوم” (yang amat dipercaya dan penjamin suatu kaum)[4] ; berkata sebagian lagi bahwa maknanya ialah : “الشاهد على قومه” (saksi atas kaumnya) berdasarkan hadits dari Qatadah[5] ; berkata yang lainnya bahwa maknanya adalah كبير القوم ، القائم بأمورهم الذي ينقب عنها وعن مصالحهم فيها”" (tokoh & pemimpin kaum yang membela kepentingan a’dhanya dan membuat kemaslahatan urusan mereka)[6] ; berkata sebagian : نقيب لانه يعلم دخيلة أمر القوم “” (disebut naqib karena ia mengetahui seluk-beluk urusan kaumnya)[7].

TAFSIR AYAT ( تفسير الأية ) :

- Dan sungguh ALLAH telah mengambil perjanjian : Peringatan ALLAH SWT bahwa pada hakikatnya perjanjian tersebut adalah perjanjian dengan ALLAH SWT. Dan ALLAH SWT mengingatkan kaum mu’min agar mereka tidak melakukan sebagaimana yang telah dilakukan Bani Isra’il[8].

- Wa ba’atsna : Bahwa pengutusan & penugasan para naqib tersebut adalah juga pengutusan & penugasan dari sisi ALLAH SWT, sehingga nisbatnya adalah kepada ALLAH SWT.

- Itsna ‘asyara naqiban : Karena demikianlah jumlah qabilah/kelompok yang ada, sehingga Bahwa tiap kelompok ada 1 naqib[9]. Yaitu : Syamun bin Zakawwan (Rubil), Syafath bin Hurriy (Syam’un), Kalib bin Yufanna (Yahwizh), Yaja’il bin Yusuf (Aten), Yusyi’ bin Nun (Afra’im), Falth bin Rafun (Benjamin), Judea bin Sudea (Zabalon), Judea bin Susa (Minsya bin Yusuf), Hamala’il bin Jaml (Daan), Satur bin Malkil (Asyar), Naha bin Wafsi (Naftali), Julail bin Mikki (Jaad)[10].

- Minhum : Bahwa para naqib tersebut di utus dari kelompok Bani Isra’il itu sendiri & bukan dari kaum yang lainnya.

- Inni ma’akum : Bahwa ALLAH SWT senantiasa bersama mereka dalam pertolongan & bantuan[11] juga pencukupan[12].

- La’in.. : Syaratnya adalah : (1) Para naqib tersebut menegakkan (bukan hanya melaksanakan) shalat, (2) Mengeluarkan zakat, (3) Beriman pada para Rasul & wahyu yang dibawanya[13], (4) Membantu para Rasul tersebut dari musuh2nya[14] & menegakkan Al-Haq[15], (5) Meminjamkan uang mereka demi kepentingan fisabiliLLAH[16] sang Rasul mereka tersebut yang sebaik-baiknya (yaitu ikhlas & halal[17]).

- La’ukaffiranna.. : Maka ganjarannya adalah : (1) Dihapuskan dosa-dosanya, (2) Dimasukkan ke dalam Jannah.

- Faman kafara ba’da dzalika : Barangsiapa yang mengingkari setelah perjanjiannya tersebut, maka sungguh ia telah sesat bahwa jalan yang benar[18] dan terjauhkan dari hidayah ALLAH SWT[19].

Berkata Asy Syahid Sayyid Quthb dalam tafsirnya[20] :

“Inni ma’akum.. Ini adalah janji yang amat besar, karena barangsiapa yang ALLAH bersamanya maka tiada sesuatupun yang dapat mengalahkannya dan barangsiapa yang berusaha melawannya maka hakikatnya bagaikan debu yang tiada artinya.. Dan barangsiapa yang ALLAH bersamanya maka tiada akan pernah sesat jalannya, karena kebersamaan dengan ALLAH yang Maha Suci akan menunjukkan jalan.. Dan barangsiapa yang ALLAH bersamanya maka tiada akan pernah rusak atau celaka, karena kedekatan kepada-NYA akan selalu menentramkan dan membahagiakan.. Dan kesimpulannya maka barangsiapa yang ALLAH bersamanya maka akan dijamin, dicukupi & dibahagiakan, serta tiada lagi tambahan yang lebih tinggi dari kedudukan semulia ini..

Namun ALLAH – Yang Maha Suci — tidaklah menjadikan kesertaan-NYA kepada mereka begitu saja, dan IA tiada akan memberikan kemuliaan kepada seseorang tanpa memenuhi syaratnya, syarat tersebut adalah janji sang Hamba, untuk:

Menegakkan shalat, tiada cukup hanya dengan melakukan shalatnya saja, melainkan menegakkannya atas dasar hakikatnya yaitu hubungan yang abadi antara RABB dan ‘abd, beserta hubungan pembimbingan & pendidikan sesuai dengan manhaj RABBani yang lurus, serta pemutusan dari kekotoran & kemungkaran, karena rasa malu yang luar biasa saat berdiri dihadapan ALLAH SWT dengan membawa kekotoran & kemungkaran tersebut..

Lalu kemudian mengeluarkan zakat, sebagai pengakuan yang tulus akan nikmat-NYA dalam rizki, dan segala yang dimilikinya sebagai pemberian dari ALLAH dari berbagai benda & harta, serta ketaatan untuk mengeluarkan bagian dari hartanya untuk merealisasikan kepedulian sosial sebagai salah satu dasar kehidupan masyarakat yang beriman yang ditegakkan atas dasar agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang berpunya saja..

Lalu menolong para Rasul, ternyata ia tidak hanya cukup dengan menyatakan beriman saja kepada mereka, melainkan harus ada amal nyata yang menunjukkan kebenaran iman tersebut pada mereka, yaitu dengan pembelaan kepada mereka, maka Din ALLAH tidak hanya cukup dengan i’tikad hati atau syi’ar ta’abbudi semata, melainkan manhaj yang nyata dalam kehidupan serta sistem yang mengatur seluruh hidupnya. Manhaj & sistem tersebut membutuhkan pembelaan, penguatan & pengorbanan supaya ia dapat tegak, dan setelah tegak iapun butuh perawatan & penguatan..

Kemudian IA – SubhanaHU wa Ta’ala — selain zakat juga menekankan adanya pinjaman yang baik, padahal IA adalah Pemilik harta kita & diri kita, tetapi IA dengan halusnya meminta pada hati-hati hamba-NYA yang amat peka & suci yang berkenan untuk menambah dari yang wajib untuk “memberikan pinjaman”, SubhanaLLAH DIA adalah Yang Maha Lembut lagi Maha Penyantun pada hamba-hamba-NYA, berbahagialah mereka yang menyambut seruan ini..”

NAQIB DALAM AS-SUNNAH ( النقيب فى السنة ) :

وعن جابر بن سمرة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ” لا يزال الإسلام عزيزا إلى اثني عشر خليفة كلهم من قريش ” . وفي رواية : ” لا يزال أمر الناس ماضيا ما وليهم اثنا عشر رجلا كلهم من قريش ” . وفي رواية : ” لا يزال الدين قائما حتى تقوم الساعة أو يكون عليهم اثنا عشر خليفة كلهم من قريش ” . متفق عليه

Imam Bukhari & Muslim[21] menyebutkan hadits shahih dari Jabir bin Samurah – semoga ALLAH meridhoinya — berkata: “Tidak henti-hentinya Islam ini berjaya sehingga dipimpin oleh 12 orang Khalifah, seluruhnya dari Quraisy.” Dalam riwayat lain: “Tidak akan henti-hentinya urusan umat ini terbelakang sehingga mereka dipimpin oleh 12 orang. Semuanya dari Quraisy.[22]” Berkata Imam Ibnu Katsir[23] bahwa hadits ini merupakan kabar gembira tentang akan datangnya 12 orang khalifah yang shalih setelah Nabi SAW dan telah berlalu diantara mereka 5 orang, yaitu Khalifah yang empat dan Umar bin Abdul Aziz dan yang nanti keluar terakhir dari mereka adalah Al-Mahdi.

NAQIB DALAM AS-SIRAH ( النقيب فى السيرة ) :

Diriwayatkan dalam sirah bahwa saat Nabi SAW meminta perjanjian pada kaum Anshar pada hari ‘Aqabah, maka beliau SAW pun memilih 12 orang naqib, 3 orang dari kabilah ‘Aus yaitu: Usaid bin Hudhair, Sa’d bin Khaitsamah, Rifa’ah bin Abdil Mundzir; serta 9 orang dari kabilah Khazraj, yaitu : As’ad bin Zurarah, Sa’d bin Rabi’, AbduLLAH bin Rawahah, Rafi’ bin Malik, Barra’ bin Ma’rur, Ubadah bin Shamit, Sa’d bin Ubadah, AbduLLAH bin Amru dan Mundzir bin Amru[24] – semoga ALLAH SWT meridhoi mereka semua — ke-12 orang sahabat ini kemudian dikenal dengan gelar An-Naqib[25]

NAQIB DALAM ATSAR SALAFUS-SHALIH ( النقيب فى الأثر ) :

Selain para sahabat, beberapa ulama salaf juga disebut naqib, diantaranya Abul Barakat Al-Jawaniy An-Nasabah[26]; Syaikh Jamaluddin Abu AbduLLAH Muhammad bin Sulaiman Al-Maqdisiy Ibnun Naqib[27]; Abu Ja’far Muhammad bin AbduLLAH Al-’Alawy An-Naqib[28], dan yang disebut terakhir ini adalah salah seorang perawi hadits shahih riwayat Muslim berikut ini:

لا تحاسدوا ، ولا تباغضوا (1) ، ولا تناجشوا (2) ، ولا تدابروا (3) ، ولا يبع بعضكم على بيع بعض ، وكونوا عباد الله إخوانا ، المسلم أخو المسلم لا يظلمه ، ولا يخذله (4) ، ولا يحقره التقوى ههنا يشير إلى صدره ثلاث مرات بحسب امرئ من الشر أن يحقر أخاه المسلم ، كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL ( ما يستفاد منها ) :

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa seorang naqib hendaklah :

1. Merupakan orang yang paling mengetahui & memahami para a’dha-nya, tidak disebut naqib jika ia tidak mengetahui secara mendalam a’dha-nya baik sifat-sifat, kebiasaan, permasalahan, kesukaan, keluarga, dsb.

2. Merupakan orang yang amat dipercaya oleh a’dha-nya, maka tidak disebut naqib jika ia merupakan seorang tidak dipercaya oleh a’dha-nya apalagi jika sampai dibenci oleh para a’dha-nya.

3. Merupakan penjamin serta penanggungjawab para a’dha-nya, maka seorang naqib hendaklah benar-benar bertanggungjawab atas para a’dha-nya, jika ia lurus maka luruslah a’dha-nya & jika ia menyimpang maka menyimpang jugalah para a’dha-nya[29].

4. Merupakan saksi atas a’dha-nya, baik di dunia maupun di yaumil qiyamah kelak, ingatlah bahwa setiap naqib akan ditanya tentang yang dipimpinnya di yaumil qiyamah kelak.

5. Merupakan pemimpin dan pemuka mereka dan orang terbaik diantara mereka[30], maka hendaklah ia benar-benar melaksanakan amanah tersebut untuk memimpin, membimbing & menunjuki mereka ke jalan yang lurus & benar serta mencintai mereka lebih dari dirinya sendiri.

6. Naqib telah melakukan perjanjian yang hakikatnya ia lakukan dengan ALLAH SWT, maka ALLAH SWT akan meminta tanggungjawab atas apa yang telah dilakukan oleh para Naqib dalam menjalankan perintah-NYA, dan jika mereka berkhianat maka mereka akan diazab sebagaimana para Naqib Bani Isra’il.

7. Bahwa ALLAH SWT senantiasa bersama para Naqib selama mereka menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, membela para Nabi dan berinfaq.

8. Dan para Naqib yang shadiq akan diampuni & dihapuskan dosa-dosanya oleh ALLAH SWT dan dimasukkan ke dalam Jannah yang mengalir sungai-sungai dibawahnya.

9. Sementara para Naqib yang kadzib akan disesatkan dari jalan yang lurus.


Naqib: Jantung dan Qudwah

Dalam tanzhim jamaah muslimah, naqib menempati posisi tiang utama dalam struktur dan bangunan jamaah.

Naqib juga merupakan jantung yang terus berdenyut yang memompakan al-hayah (kehidupan), al-hayawiyah (spirit) dan al-harakah (gerakan).

Naqib adalah munaffidz (pelaksana) asasi bagi berbagai proses:

  1. Tarbawi (tarbiyah).
  2. Tanzhimi (struktural), dan
  3. Idari (manajerial).

Pada saat yang sama, naqib ibarat pusat tata surya harakah, padanya terpusat rotasi:

  1. Taujih/khithab qiyadi (pengarahan pemimpin), dan
  2. Amal tanfidzi (amal pelaksanaan).

Pada saat yang sama pula, naqib ibarat qanat (terusan, kanal) asasi yang antara qiyadah dan afrad, melalui kanal inilah:

  1. Berbagai awamir (perintah) dan taujihat (pengarahan) turun, dan
  2. Berbagai berita dan iqtirahat (usulan) naik.

Karena inilah, sesungguhnya dengan membina naqib, membina qudrah (kemampuan)-nya dan membina berbagai karakteristiknya, baik yang bersifat bawaan, maupun yang bersifat empiris merupakan pembinaan terhadap kemampuan berbagai perangkat jamaah dan terhadap kafa-ah-nya untuk berharakah dan melakukan intaj (produktivitas). Sesuai dengan kadar yang diperoleh oleh naqib, baik yang berupa sifat-sifat asasi, maupun tarbiyah yang sukses, sesuai kadar itu pula terletak:

  1. Kekuatan bangunan tanzhimi.
  2. Produktivitas ada’ idari (pelaksanaan manajerial).
  3. Kesuksesan amaliyah tarbawiyah (proses tarbiyah), dan
  4. Keberkahan ansyithah da’awiyah (berbagai aktivitas dakwah).

Mungkin posisi naqib dalam jamaah muslimah itu seperti titik ordinat sebuah lingkaran, dimana posisi qiyadah berada di bagian atas, posisi afrad berada di posisi bawah, sementara berbagai aktivitas yang berada di dalam lingkaran itu lewat melalui sang naqib yang menghubungkan antara qiyadah dengan afrad tadi, tidak mungkin bagian-bagian dari lingkaran itu sampai kepada arah yang berlawanan, di manapun posisinya, kecuali melalui titik ordinat itu. Maksudnya: apapun arah sebuah kegiatan, baik dari qiyadah kepada afrad atau sebaliknya, maka naqib merupakan titik ordinat kegiatan itu, dan ia adalah pusat tata surya gerakan ini, dan darinyalah keberadaan berbagai macam aktivitas.

Berikut ini adalah sebagian dari aktivitas-aktivitas jamaah muslimah yang asasi -yang dalam gambaran di atas merupakan isi dari lingkaran- yang tidak bisa tidak naqib pasti menjadi pusat siklus asasi dan pusat penghubungnya:

1. Al-‘Amaliyah At-Tarbawiyah (proses tarbiyah).

Hal ini mencakup:

  1. Dirasah Mabadi’ Jama’ah (kajian prinsip-prinsip jamaah).
  2. Ta’allumul Fiqhid Da’awi (pembelajaran fiqih dakwah).
  3. Thuruqud Da’wah wal Ittishal (metode dakwah dan komunikasi).
  4. As-Siyasat Al-’Ammah lil Harakah (siyasat umum harakah).
  5. Lawaihul Jama’ah (undang-undang jamaah).
  6. Al-Mafahim At-Tarbawiyah (konsep-konsep tarbiyah).
  7. Al-‘Ilmu bitarikhid da’wah al-islamiyah (pengetahuan sejarah dakwah Islam).
  8. Ma’anil Badzli wat Tadh-hiyah (nilai-nilai infaq dan pengorbanan).
  9. Tahammulul Masyaq (daya tahan dalam memikul berbagai kesulitan).
  10. Membaca Al-Qur’an, dan mengkaji makna-maknanya.
    Semua itu berjalan sesuai dengan manhaj jamaah, dan ta’limat qiyadah yang tidak mungkin sampai kepada afrad kecuali melalui naqib.
  11. At-Tarbiyah bis-Suluk (tarbiyah dengan tindak laku), dan
  12. Al-Qudwah al-‘Amaliyah (teladan amali), yang memang menjadi kewajibannya.

Pada satu sisi, seorang naqib mengambil qudwah (teladan) yang baik dari para qiyadah, pada saat yang sama ia adalah teladan bagi saudara-saudaranya.

Dengan demikian, ia menjadi pihak yang menerima kebaikan, sekaligus menjadi penebar kebaikan tadi.

Karena gerakan Ikhwan adalah haqiqatun shufiyah (hakikat kesufian), maka naqib merupakan asas hakikat ini.

Di depan para qiyadah ia adalah seorang murid yang belajar, mempraktekkan dan meneladani, dan di hadapan saudara-saudaranya ia adalah seorang syekh yang menjadi teladan.

Dengan demikian, naqib merupakan inti tarbiyah sulukiyah, penukil tarbiyah ini dan tali pengait yang menyambungkan hubungan antar generasi dakwah.

Dan jamaah dengan izin Allah terbebas dari berbagai bid’ah tasawuf, dan manhajnya yang nyalafi mu’tadil (salafi moderat) sudah amat dikenal, dan hal ini telah disebutkan oleh Imam Asy-Syahid dengan gamblang, hanya saja, beliau meminjam istilah tasawuf dalam rangka memberikan isyarat kepada tawajjuh tarbawi al-akhlaqi (orientasi tarbiyah ke-akhlaq-an) yang sangat memperhatikan tazkiyatul qulub wal arwah (pensucian hati dan ruhani).

***

2. Al-Ansyithah Al-Idariyah (berbagai aktivitas manajerial).
Yang demikian ini karena jamaah sebagai hizb dan tanzhim memiliki berbagai aktivitas yang beraneka ragam, dengan segala konsekuensinya yang berupa:

  • Pengeluaran berbagai perintah dan penerapannya, dan
  • Pengambilan berbagai keputusan dan pelaksanaannya.

Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga sosial kemanusiaan mempunyai manajemen dan anggota, ada ketua dan ada anak buah, ada pimpinan dan ada pengikut, demikian juga halnya dengan jamaah muslimah, para qiyadah-nya tercermin pada para pimpinan manajerialnya, sementara personel jamaah ibarat anggota sebuah lembaga yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dalam menjalankan berbagai qararat (keputusan), melaksanakan berbagai rencana serta komitmen terhadap berbagai taujihat (arahan).

Mereka juga berkewajiban menyampaikan berbagai berita, mengamati berbagai fenomena dan menulis taqrir (membuat laporan).

Termasuk dalam hal ini pula bahwa masing-masing dari qiyadah dan atba’ (anggota) mempunyai berbagai hak dan kewajiban, dimana pihak yang satunya berkewajiban melaksanakan hak-hak itu, adakalanya hal itu adalah kewajiban syar’i, dan bisa pula hal itu adalah ekspresi dari ibadah, semua itu bergantung kepada berbagai kemaslahatan yang menjadi titik tujuan didirikannya tanzhim yang membantu tercapainya kemaslahatan-kemaslahatan diniyah.

Dalam aktivitas idariyah ini harus ada titik central dan titik ordinat yang menjadi penghubung antara pimpinan puncak dengan basis massanya. Titik central ini ada pada naqib yang merupakan pusat nadi mengalirnya harakah idariyah (gerakan manajerial). Ia ibarat pengikut di hadapan qiyadah, dan ia ibarat imam di hadapan afrad. Atau dengan bahasa lain, ia adalah pimpinan dan yang dipimpin sekaligus.

Masalah ini tetap akan benar sampaipun saat nasyath idari (aktivitas manajerial) berubah menjadi nasyath askari (aktifitas kemiliteran), atau tanfidz siyasi (pelaksanaan politik).

Jadi, Naqib adalah seorang jundi yang taat, dan pada saat yang sama ia adalah qaid (pimpinan) yang mengeluarkan perintah kepada saudara-saudaranya.

***

3. Al-Ansyithah Ats-Tsaqafiyah (berbagai aktivitas tsaqafiyah).

Jamaah muslimah sebagai harakah salafiyah (gerakan salaf) mengimani bahwa al-‘ilmu asasul ‘amal (ilmu adalah pondasi amal).

Jadi, di dalam usrah terdapat madrasah tsaqafiyah mutakamilah (sekolah terpadu tempat mengasah wawasan). Melalui usrah jamaah muslimah bersemangat untuk mengadakan:

  • At-tastqif asy-syar’i (pengasahan wawasan syari’ah) dengan keanekaragamannya, seperti:
  • Belajar Al-Qur’an dan melakukan kajian terhadapnya.
  • Ilmu hadits.
  • Kajian dasar-dasar fiqih.
  • Prinsip-prinsip aqidah, dan lain-lain.
  • At-tastqif bist-tsaqafah al-‘ammah (pengasahan wawasan umum), seperti:
  • Sejarah manusia.
  • Sejarah Islam.
  • Keanekaragaman skill kehidupan, dan lain-lain.

‘Amaliyah tsaqafiyah (proses pengasahan wawasan) ini –walaupun masih banyak tempat-tempat yang bisa dipilih- namun, intinya, atau minimal pelurusan dan penentuan alurnya dilakukan dalam ‘amaliyah tsaqafiyah yang diselenggarakan di usrah. Hal ini mendorong –mau tidak mau- bagi:

Berjalannya fungsi naqib sebagai ustadz dan mu’allim di hadapan saudara-saudaranya.

Keharusan untuk selalu mendapatkan bekalan-bekalan secara kontinyu dari para qiyadah da’wah dan para pemikirnya dalam menuntut ilmu, dan jadilah dia di hadapan mereka sebagai seorang siswa yang belajar.

Dengan demikian, secara otomatis, naqib juga menjadi:

Markaz wa jauhar al-‘amaliyah at-tarbawiyah (center dan inti dari proses tarbiyah),

Dia adalah titik sambung antara mengambil dan memberi.

Pihak yang secara istimrar (berkelanjutan) berkewajiban menjadi siswa yang belajar yang terus menyerap ilmu dari pihak lainnya, dan pada saat yang sama

Ia menjadi seorang yang aktif yang mampu memberi sebagai seorang mu’allim dan ustadz.

***

Salah satu kewajiban naqib yang sangat banyak itu, di samping perannya sebagai murabbi (pendidik), munazhzhim (pengorganisir), dan mudir (manajer), ia juga berperan sebagai mu’allim (guru) yang menjalankan ‘amaliyatut-ta’lim ad-da’awi wal fikri (proses pengajaran dakwah dan fikrah) dalam lingkup jamaah, melalui usrah atau di luar usrah melalui berbagai ceramah, kajian rutin dan pertemuan-pertemuan. Dan dia, saat menjalankan proses ini, berarti sedang menjalankan kewajiban syar’i yang sangat besar, sesuai dengan kemampuan dan daya dukungnya. Di hadapan saudara-saudaranya, ia adalah seorang guru, walaupun yang ia sampaikan hanya satu ayat dari Al-Qur’an, bagaimana halnya kalau dia menjadi guru pertama mereka dalam ilmu-ilmu syari’ah yang beraneka ragam itu. Ditambah lagi bahwa saudara-saudaranya juga mengambil darinya pelajaran fikr islami untuk pertama kalinya, bahkan, darinya terambil berbagai manhaj jamaah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsip dakwah dan tradisi-tradisi dakwah. Karena inilah, peran naqib sangatlah besar dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) dalam jamaah muslimah.

Karena perannya yang besar inilah, seorang naqib membutuhkan pengetahuan dan komitmen terhadap tata krama dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) ini.

Terkait dengan hal ini, kita bisa mengambil pelajaran dari aadabul muhaddits (tata krama seorang ahli hadits) yang layak bagi seorang murabbi atau naqib, khususnya dalam usrah.

“… Seorang muhaddits (baca: murabbi atau naqib) berkewajiban meluruskan niat, membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi … dan jangalah ia menolak melakukan tahdits atau proses periwayatan hadits (baca: tarbiyah dalam arti proses pembinaan) kepada seseorang dengan alasan seseorang itu tidak lurus niatnya, sebab, seseorang itu bisa diharapkan –melalui tahdits (baca: tarbiyah) kelurusan niatnya, dan hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) bersemangat menyebar luaskan hadits (baca: materi tarbiyah) dengan mengharapkan besarnya pehala yang akan didapat … hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) membuka dan menutup majlisnya dengan hamdalah, shalawat kepada nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan doa yang tepat, hendaklah ia menyiapkan seorang pembaca Al-Qur’an yang bagus suaranya untuk membaca sedikit ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam meriwayatkan hadits (baca: menyampaikan materi tarbiyah) janganlah meluncur saja yang menyebabkan tidak difahaminya hadits (baca: materi tarbiyah) itu atau sebagiannya … dan hendaklah ia memohon kepada Allah -subhanahu wata’ala- agar mendapatkan taufiq (ketepatan), tasdid (pelurusan) dan taisir (kemudahan), dan hendaklah ia komitmen terhadap berbagai akhlaq dan tata kerama mulia, kemudian, hendaklah ia mengerahkan seluruh jerih payahnya dalam rangka menguasai hadits (baca: materi tarbiyah) itu dan mengoptimalkan pemahamannya …”.

(Taqribun-Nawawi, silakan periksa pada tadribur-rawi syarah taqribun-nawawi, juz: 2 hal. 127 – 141)

Begitu pula garis besar tata kerama seorang da’i dalam kapasitasnya sebagai mu’allim bisa dikutip dari adabul muhaddits (tata kerama seorang ahli hadits) yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali –rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa adab seorang muhaddits adalah:

“… Bertujuan shidiq (benar), menjauhi dusta, meriwayatkan hadits yang masyhur serta meriwayatkan dari orang-orang tsiqat (terpercaya) … tidak menyebutkan khilaf yang ada di antara sesama salaf, ma’rifatuz-zaman (mengenali zaman), menjaga diri agar tidak terpeleset dan salah tulis, lahn (kesalahan baca ) dan tahrif (perubahan) … tetap komitmen dengan pekerti tawadhu’ dan sebagian besar hadits yang diriwayatkannya membawa manfaat bagi kaum muslimin … dan tidak meriwayatkan hadits yang pada asalnya tidak diamalkan …”.

(Al-Adab fid-diin, karya Al Ghazali hal. 5)

Harap diperhatikan bahwa termasuk dalam pengertian al hadits al masyhur dalam perkataan Imam Al-Ghazali (dengan menggunakan metode qiyas (analogi) adalah segala hal yang bermanfaat dan dikenal oleh masyarakat, bukan:

  • Masalah-masalah yang aneh-aneh.
  • Hadits-hadits fitnah.
  • Mencari berita-berita yang meresahkan.

Termasuk dalam pengertian komitmen untuk tidak menyebutkan khilaf antar sesama salaf –meskipun hal ini merupakan tuntutan- adalah:

  • Menceritakan hal-hal yang masih khilaf.
  • Hadits-hadits fitnah.
  • Khilaf dan pertikaian antar sesama qiyadah da’wah.

Sedangkan yang dimaksud dengan ma’rifatuz-zaman adalah:

  • Memperhatikan al-wa’yu al-hadhari al-‘am (kesadaran peradaban umum).
  • Mengenali berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
  • Mengikuti berbagai perkembangan berita politik dan sosial.

Seorang naqib hendaklah selalu mengingat bahwa dia adalah seorang mu’allim murabbi (guru yang mendidik) yang menjalani peran sebagai ad-da’iyah al-qudwah (dai teladan), yang mentarbiyah dengan suluk (prilaku), sebagaimana mentarbiyah dengan kata-kata, bukan sekedar mentarbiyah dengan ilmu yang melaksanakan risalatul ‘ilmi (misi ilmu) tanpa disertai hararatur-ruh (kehangatan ruhani), dan melepaskan kendali tadris (pengajaran) tanpa disertai hati.

Perlu diketahui bahwa al-’amaliyah at-tarbawiyah (proses tarbiyah) dalam jama’ah muslimah adalah ‘amaliyah tarbawiyah yang menuntut adanya iltizam biqawa’idi rabbaniyyatit-ta’lim (komitmen terhadap kaidah-kaidah ke-rabbaniyan dalam ta’lim, yang di antara kandungannya adalah:

  • Ta’allumul mawazin wal qawa’id (mempelajari timbangan-timbangan dan kaidah-kaidah).
  • Al-Bidayah bil ahamm la bil ashal (memulai dengan yang terpenting, bukan yang termudah).
  • Tathbiqul mumarasat ash-shahihah wal badzli la jam’ul ma’lumat (pengamalan praktek yang benar dan semangat memberi, bukan menginventasisasi informasi atau pengetahuan).
  • At-Tamassuk bil jawahir la bil qushur (berpegang teguh kepada inti bukan kulit).
  • Al-Iltizam bil auwlawiyat ‘inda tazahumidh-dharurat (komitmen dengan prioritas saat terjadi desakan atau kepadatan berbagai kebutuhan primer).
  • Daf’ul mafasid ‘ala maqadiri rutabiha (menolak kerusakan sesuai dengan tingkatannya).
  • Istihshalil mashalih hasba darajatiha (mengupayakan tercapainya berbagai kemaslahatan sesuai dengan derajatnya).
  • Mura’atul isti’dadat an-nafsiyah (memperhatikan potensi-potensi kejiwaan).
  • Akhdzul ‘ulum hasba maratibiha wa ahammiyyatuha (mengambil ilmu berdasarkan tingkatan dan urgensinya).
  • Dan lain-lain yang telah dijelaskan panjang lebar di tempat lain.

***

Tidak diragukan lagi bahwa termasuk akhlaq seorang da’i yang obyektif, dalam kapasitasnya sebagai mu’allim murabbi hendaklah ia menisbatkan ilmu kepada yang memilikinya, dalam rangka:

  • Menolak dugaan kesombongan.
  • Mengembalikan keutamaan kepada pemiliknya.
  • Memberikan irsyad (bimbingan) kepada para da’i untuk kembali kepada sumber-sumber ilmu.
  • Al-wafa’ (kesetiaan) kepada ahlul ‘ilmi.
  • Tatsbitul haqq (mengokohkan kebenaran), dan
  • Menolak dan menghindari bahaya hasad (iri).

Dalam hal ini Al-Imam As-Suyuthi berkata:

“… Di antara keberkahan ilmu dan syukur kepadanya adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengatakannya, demikianlah perkataan Al-Hafizh Abu Thahir As-Salafi … (kemudian Imam Suyuthi menukil perkataan Abu Ubaid yang mengatakan): Di antara bentuk menyukuri ilmu adalah engkau mengambil manfaat dari sesuatu, jika ada sesuatu disebutkan kepadamu engkau berkata: “Tidak jelas bagiku masalah ini dan ini, dan saya tidak memiliki pengetahuan dalam hal ini, sehingga si fulan memberikan faedah dalam hal ini begini dan begini” inilah bentuk mensyukuri ilmu … karena inilah engkau tidak melihat diriku menyebut sesuatu dalam tulisan-tulisan saya satu huruf pun kecuali dalam keadaan tersandarkan kepada yang mengatakannya dari para ulama’ dengan menjelaskan nama kitab yang menyebutkan hal itu …”.

(Al-Muzhir fi ‘ulumi al-lughah, karya As-Suyuthi, juz: 2 hal. 164)

Al-Imam Al-Fasi menukil sebagian kalam ini setelah memberikan prolog demikian:

“… Tidak tersamar lagi bahwa termasuk dalam al-madarik al-muhimmah fi bab ast-tashnif (pemahaman pentng dalam menulis kitab) adalah menisbatkan berbagai faedah dan masalah serta nukat (masalah penting yang tidak semua orang bisa melihat dan mengetahuinya) kepada para pemiliknya dalam rangka membebaskan diri dari mengakui sesuatu yang bukan miliknya dan dalam rangka menjauhkan diri dari labisi tsaubai az-zur (memakai dua baju kepalsuan) … inilah kaidah kami yang berhasil kami himpun …”.

(Qawa’id ast-tahdits, karya Al-Qasimi, hal. 40)

Kaidah atau akhlaq yang dulunya menjadi komitmen para ulama’ ini, sekarang mulai meredup, dan sudah menjadi semacam kebanggaan saat seseorang menyebutkan berbagai masalah indah tanpa menisbatkannya kepada para pemiliknya, atau sudah menjadi kepelitan dan kekikiran ilmiah kepada para pemiliknya, atau umumnya karena kebodohan terhadap kaidah ini. Karena inilah menjadi sebuah kemestian untuk mengingatkan hal ini sebagai salah satu akhlaq murabbi (dan naqib) saat ia menjalani al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran), baik saat berbicara maupun saat berdiskusi, atau saat menulis dan mengarang buku.

***

Sebagaimana naqib berperan sebagai titik fokus dalam al-‘amaliyyah at-tarbawiyah, karenanya ia juga menjadi markazul ‘amaliyah at-ta’limiyah (pusat proses pengajaran) dalam jama’ah, yang berarti ia berperan sebagai mu’allim (guru) bagi orang lainnya, pada saat yang sama, ia adalah muta’allim (siswa) bagi orang lainnya, baik yang dimaksud dengan “orang lain” ini adalah orang-orang yang berada di dalam grup yang ia manaj, ataupun orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, ataupun para ulama’, da’i dan fuqaha yang sama sekali tidak ada ikatan tanzhimi dengannya, bahkan sampai pun mereka mereka berasal dari luar jama’ah, dan “persiswaan” ini ada dalam salah satu cabang pengetahuan, atau salah satu bagian dari syari’ah, bahkan sampaipun hanya dalam satu masalah tertentu saja, mengingat bahwa ijtihad memang bisa juz’i. Intinya bahwa sang naqib atau murabbi belajar dalam satu bidang studi tertentu, atau salah satu ilmu dari orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, dan tidak ada malu dalam ilmu dan semua dimudahkan kepada apa yang ia dicipta untuknya.

Di atas semua itu, sang naqib atau murabbi juga berkewajiban mencari pengetahuan dan mengambilnya, dari wadah yang manapun juga, selama ia telah terbekali dengan barometer-barometer yang cukup yang mampu mencegahnya dari penyimpangan pemikiran, atau inhiraf aqidi (penyimpangan aqidah), atau al-iltiwa’ al-haraki (pembelokan harakah). Bahkan, seorang naqib atau da’i yang sukses dan kokoh, dari sela-sela belajarnya, sekaligus ia bisa menjadi guru dan murabbi terhadap guru dan syekh-nya, atau teman-teman sebayanya, melalui:

  • Dialog konstruktif.
  • Dan diskusi yang sukses.

Bahkan ia dapat mempengaruhi melalui perilakunya yang “beda” dan akhlaqnya yang komplit.

Ditambah lagi bahwa proses belajar dari para masyayikh dan ulama’ di luar jama’ah akan membuka kesempatan kepada para da’i untuk berinteraksi dengan mereka, mengulas fikrah mereka, bahkan menarik simpati orang lain terhadap mereka, mempengaruhi mereka dan pandangan-pandangan mereka, dan otomatis juga mengambil manfaat dari majlis dan murid-murid mereka dalam hal penyebaran fiqih da’wah, publikasi pemikiran haraki, penyiapan perluasan dukungan publik kepada da’wah dan menarik simpati unsur-unsur yang mengarah ke sana.

Sesungguhnya, proses belajarnya sang naqib dan sebagian da’i kepada para masyayikh dan ulama’ sangatlah penting, bukan saja karena adanya:

  • Faedah-faedah ilmiah, dan
  • Interaksi dengan banyak orang, bahkan hal ini juga merupakan

Memberikan saving tenaga besar jamaah dalam proses ilmiah, sebab, biasanya, para masyayikh itu lebih banyak mempunyai waktu, terlebih lagi bahwa mereka lebih itqan terhadap sebagian ilmu, misalnya: tajwid, tafsir, fiqih, hadits dan ilmu-ilmu bahasa, yang bisa jadi itqan seperti itu tidak dimiliki oleh personel jama’ah, dan jika ada sebagian personel jama’ah yang menguasainya secara itqan, namun, kewajibannya yang sangat banyak akan menghalanginya untuk melakukan proses pengajaran.

Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga akan berdampak kepada kasbuts-tsiqah (menggapai tsiqah) mereka secara pribadi dari satu sisi dan pada sisi lain, jama’ah juga akan mendapatkan shibghah ijtima’iyah yang akan mencegah terisolisirnya jama’ah serta menjauhnya masyarakat umum dari jama’ah.

Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga berdampak kepada adanya dukungan para masyayikh dan ulama’ itu kepada jama’ah, bahkan bisa jadi mereka juga akan bergabung dengan jama’ah yang berarti akan semakin menambah kokohnya jama’ah itu, serta mampu menolak berbagai isyu dan syubhat, dan pada saat yang sama akan mencegah ekploitasi gerakan-gerakan bid’ah, dan tasawuf yang menyimpang, atau salafi yang berlebihan untuk kepentingan dan tujuan mereka yang bisa jadi tidak sesuai dengan tujuan-tujuan amal islami yang lurus.

***

Akan tetapi, di sini ada sejumlah adab yang menjadi kewajiban para da’i untuk komitmen dengannya saat ia duduk di hadapan orang-orang yang memberikan pengajaran kepadanya.

“… Hendaklah ia mengagungkan gurunya dan orang-orang yang ia mendengar darinya, sebab hal ini termasuk pengagungan terhadap ilmu dan sebab-sebab mendapatkan manfaat dari ilmu, hendaklah ia meyakini keagungan dan keunggulan gurunya, berusaha meraih ridhanya, dan janganlah berlama-lama dengannya yang sekiranya menjadikannya tidak enak hati. Hendaklah ia berkonsultasi dengannya dalam berbagai urusan dan kesibukannya dan bagaimana cara mengoptimalnya berbagai hal tadi. Dan jika ia mendengar satu hadits, hendaklah ia membertahukan orang lain, sebab, menyembunyikan hal itu adalah sifat tercela, yang tidak terjerumus kepadanya selain para penuntut ilmu yang bodoh, dan jika menyembunyikan ilmu dikhawatirkan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat, sebab, termasuk keberkahan sebuah hadits adalah jika ia disampaikan kepada orang lain, dan mempublikasikannya adalah keberkahan. Dan berhati-hatilah jangan sampai rasa malu dan rasa besar menghalanginya untuk berupaya secara maksimal dalam belajar dan mengambil ilmu dari orang yang lebih rendah darinya, baik dalam hal nasab maupun usia maupun dalam hal lainnya. Hendaklah ia bersabar atas kekasaran urusan. Hendaklah ia memperhatikan yang penting dan janganlah menyia-nyiakan waktu dalam memperbanyak guru hanya sekedar memperbanyak saja…”.

(At-Taqrib, karya Imam An-Nawawi, silahkan periksa Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz: 2 hal. 145)


sumber : al ikhwan

Jumat, 25 September 2009

IMAM BUKHARI : Amirul-Mu'minin Fil-Hadith

Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadith yang paling terkenal diantara enam ahlul hadith adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadith (pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari , lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi."

Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-Tarikh al-Kabir.

Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.

Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:

"Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya."

Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.

Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.

Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Pengembaraannya

Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami'as-Shahih dan pendahuluannya.

Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.

Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadith."

Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap di negeri Khurasan.

Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.

Kemasyhuran Imam Bukhari

Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya.

Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan: "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadith secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya."

Imam Bukhari Difitnah

Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahawa "Al-Qur'an adalah makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."

Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini." Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.

Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadith.

Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Shahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahawa "Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majlis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahawa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.

Imam Bukhari, kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.

Kewafatannya

Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah.

Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadith muridnya ini: "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana."

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.

Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.


Guru-gurunya

Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahawa dia menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.


Keutamaan dan Keistimewaan Imam Bukhari

Kerana kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung hadithnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadith dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahawa kitab Shahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmidzi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari.

Dalam bidang kekuatan hafalan, ketazaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadith, juga dalam bidang ilat-ilat hadith, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadith lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahawa Imam Bukhari berkata: "Saya hafal hadith di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadith shahih, dan 200.000 hadith yang tidak shahih."

Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadith di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadith, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadith ini diberi sanad hadith lain dan sanad hadith lain dinbuat untuk matan hadith yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadith kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadith, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadith yang Anda sebutkan ini." Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahawa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya."

Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadith pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadith kedua isnadnya yang benar adalah beginii…"


Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadith. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadith-hadith yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai "Imam" dalam bidang hadith.

Sebahagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji cuba kemampuan" yang menegangkan ini, ia berkata: "Yang mengagumkan, bukanlah kerana Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadith yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali."Jadi banyak pemirsa yang hairan dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadith secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.

Imam Bukhari pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadith pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebahagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadith sahabat dan tabi'in, yakni hadith-hadith mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW."

Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa'id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : "Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadith dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma'il al-Bukhari."

Imam al-A'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadith, yang melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadith melebihi Muhammad bin Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Iraq yang melebihi kealimannya."

Al-Hakim menceritakan, dengan sanad lengkap. Bahawa Muslim (pengarang kitab Shahih), datang kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadith dan dokter ahli penyakit (ilat) hadith." Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi."

Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal."

Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela ialah: "Hadithnya diingkari."

Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadith yang diriwayatkan seseorang hanya kerana orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahawa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadith yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan."

Selain dikenal sebagai ahli hadith, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada darjat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan 'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadith yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadith, bukan sebagai ahli fiqh.

Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahawa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka.

Karya-karya Imam Bukhari

Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :

· Al-Jami' as-Shahih (Shahih Bukhari).
· Al-Adab al-Mufrad.
· At-Tarikh as-Sagir.
· At-Tarikh al-Awsat.
· At-Tarikh al-Kabir.
· At-Tafsir al-Kabir.
· Al-Musnad al-Kabir.
· Kitab al-'Ilal.
· Raf'ul-Yadain fis-Salah.
· Birril-Walidain.
· Kitab al-Asyribah.
· Al-Qira'ah Khalf al-Imam.
· Kitab ad-Du'afa.
· Asami as-Sahabah.
· Kitab al-Kuna.


Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SHAHIH (Shahih Bukhari)

Diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebahagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahawa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadith Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' as-Shahih."

Dalam menghimpun hadith-hadith shahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadith-hadithnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti keshahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadith-hadith yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadith selama 16 tahun." Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahawa ia mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini betul bahawa hadith itu benar-benar shahih."

Maksud pernyataan itu ialah bahawa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadith-hadith dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.

Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Kerananya tidak menghairankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai "Buku Hadith Nabi yang Paling Shahih."

Diriwayatkan bahawa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab Al-Jami' as-Shahih ini kecuali hadith-hadith yang shahih; dan ku tinggalkan banyak hadith shahih kerana khawatir membosankan."

Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadith yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith mutabi dan hadith syahid, dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi'in.

Jumlah Hadith Kitab Al-Jami'as-Shahih (Shahih Bukhari)

Al-'Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib.

Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Shahih Bukhari, menyebutkan, bahawa semua hadith shahih mawsil yang termuat dalam Shahih Bukhari tanpa hadith yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadith. Sedangkan matan hadith yang mu'alaq namun marfu', yakni hadith shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. Semua hadith Shahih Bukhari termasuk hadith yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi' sebanyak 344 buah hadith. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadith. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya.(aah/smedia)


Makam Imam Bukhari

sumber : swaramuslim


My Blog List